Ditulis Oleh Dr. Iwan Gardono Sujatmiko, MA, Ph.D
Pengantar
Makalah berusaha untuk mencoba melihat peristiwa kehancuran PKI tahun 1965-1996 dalam perspektif perbandingan disertai dengan ilustrasi kasus Jawa Timur dan Bali. Selama ini terdapat pertanyaan-pertanyaan seperti: “Siapa aktor peristiwa 30 September 1965?” “Mengapa PKI begitu mudah dihancurkan?” “Apakah yang sebenarnya terjadi di pedesaan?” “Bagaimanakah kita menafsirkan peristiwa tersebut?”
Jika dilihat dalam gambar besar sejarah maka kehancuran PKI merupakan suatu revolusi sosial yang gagal (a failed social revolution) yang mempunyai aspek universal dan khas. Revolusi sosial didefinisikan sebagai ”rapid, basic transformations of a society’s state and class structures, accompnied and in part carried through by class-based revolts form below “ (Theda Skocpol 1979:33). Dalam hal ini PKI dengan ideologi komunisme dan pola Peking sejak 1963 menghasilkan suasana revolusioner dan mengalami tentangan dari pihak non-PKI. Dalam dinamikanya terdapat peran berbagai faktor seperti pemimpin, militer dan agama serta faktor kesejarahan politik yang mewarnai proses tersebut. Kehancuran PKI dilihat dari aspek sistemik untuk sebab jangka panjang (underlying cause) yaitu apakah masyarakat Indonesia memang mudah menerima pola komunisme yang ditawarkan PKI. Selain itu diteliti pula penyebab jangka menengah yakni perubahan pola PKI yang menjadi lebih agresif pada 1963. Penyebab langsung kehancuran PKI adalah tuduhan terhadap mereka bahwa mereka terlibat dalam peristiwa 30 September 1965. Makalah (dan disertasi) tidak meneliti untuk mengetahui siapa aktor dibalik peristiwa 30 September 1965.
Disertasi menunjukkan bahwa keadaan di daerah sangat tergantung dengan keadaan di pusat (Jakarta). Tanpa dukungan dari pimpinan di Jakarta (Sukarno) maka pihak PKI (dan pendukungnya) mengalami kelumpuhan dan bersifat menunggu sehingga dapat dihancurkan oleh pihak non-PKI. Selain peran pemimpin nasional dan regional (propinsi), disertasi juga membahas faktor militer dan agama (Islam dan Hindu) dalam menghadapi upaya komunisasi oleh PKI.
Analisis yang Ada
Sebenarnya analisis ilmiah yang berusaha obyektif tentang kehancuran PKI cukup banyak. Analisis tersebut berusaha menganalisis kehancuran PKI sebagai suatu topik maupun membahas kisah pembunuhan PKI secara khusus (misalnya, Pipit Rochijat, 1985; Robert Cribb, 1990) atau dalam kaitannya dengan topik lain (lihat misalnya John Bowen, 1991; Robert Hefner, 1990). Sementara itu analisis mengenai misteri peristiwa 30 September 1965 memang menimbulkan kontroversi tentang keterlibatan pihak PKI atau pihak-pihak lainnya. Dalam hal ini sangatlah sulit untuk menghasilkan analisis ilmiah untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Peristiwa kehancuran PKI tahun 1965-1966 merupakan suatu gejala sosial yang penting dilihat jumlah korbannya. Dari 39 artikel yang dikumpulkan oleh Robert Cribb (1990:12) banyaknya jumlah korban berkisar dari 78,000 sampai 2,000,000 dan rata-ratanya adalah 430,590. Jumlah ini tidak berbeda dengan pernyataan Sudomo (Kopkamtib) yang menyebut 450,000-500,000. Dilihat dari dampaknya maka peristiwa tersebut menghasilkan perubahan yang besar dengan hilangnya PKI—partai komunis terbesar ke 3 di dunia--sebagai organisasi.
Berbagai analisis kehancuran PKI dapat dikelompokkan menjadi dua: pertama; analisis yang menekankan aspek sistemik atau perubahan sosial makro dan kedua, analisis yang menekankan pada aspek perilaku (behavioral) PKI. Menurut penjelasan kelompok makro, kehancuran PKI disebabkan oleh “terjadinya polarisasi panjang yang menghasilkan masa transisi dari masyarakat tradisional ke modern yang tidak dapat dikendalikan sehingga terjadi konflik antara PKI, PNI, NU dan TNI (Reuven Kahane, 1973: 31).Analisis lain dikemukakan oleh Stephen Sloan (1971: 74) yang menekankan ketidak mampuan sistem politik Indonesia untuk menselaraskan pusat/capital (Jakarta) dan daerah/hamlet (desa). Analisis yang menekankan aspek keagamaan dikemukakan oleh Clifford Geertz yang melihat dikotomi santri dengan abangan (1973: 255-310). Penjelasan dengan menekankan kontradiksi antara negara yang berusaha untuk terus meningkatkan kekuasaannya dengan upaya pencarian identitas nasional dikemukakan oleh Michael van Langenberg (1990: 56). Konflik 1965 diterangkan oleh Margo Lyon (1970:71) dengan menekankan peran perubahan mendasar pada agama, budaya dan politik dalam konteks perubahan ekonomi. Kelima analisis tersebut menekankan aspek jangka panjang dimana konflik 1965 terjadi dan kekuatan analisis mereka adalah menjelaskan wadah konflik dari berbagai aspek. Walaupun demikian kelemahannya adalah terlalu melebih-lebihkan aspek yang mereka teliti seperti dikotomi masyarakat tradisional dengan modern (Kahane); capital dengan hamlet(Sloan); santri dengan abangan (Geertz); negara dan masyarakat (van Langenberg); dan pemisahan agama, budaya dan politik.
Kelompok penjelasan kedua lebih menekankan aspek perilaku (behavioral) yaitu strategi PKI menjelang 1965 sebagai penyebab dari kehancuran PKI. Rex Motimer (1974:33) menjelaskan perubahan pola PKI dari yang pro Soviet menjadi pro-Peking.” Pergeseran strategi PKI menjadi pola Peking ditekankan pula oleh Guy Puker (1965: 257) dan .Olle Tornquist (1984: 53) yang menyatakan bahwa PKI menerapkan strategi Peking dan meninggalkan pola “peaceful coexistence” ala Moscow. Demikian pula Justus Van der Kroef (1965:292) menyatakan orientasi PKI ke Peking yang dicanangkan oleh CC PKI pada 23-26 Desember 1963 erat kaitannya dengan ketegangan dan kerusuhan di daerah pedesaan. Demikian pula Frank Cibulka (1989: 303) menganalisis strategi militan PKI selama 1963-65 yang mengawali kehancurannya. Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa kegiatan PKI dalam melaksanakan “land reform” dan pelecehan agama melalui ludruk dan wayang menjelang 1965 menjadi penyebab polarisasi dan konflik sebelum tahun 1965 (1984: 68-80). Masalah kekerasan di pedesaan Jawa dan Bali juga telah dianalisis oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM (dalam Cribb, 1990).
Penjelasan kelompok analisis yang menekankan pergeseran pola PKI lebih tajam dalam melihat kehancuran PKI. Analisis mereka dapat menjelaskan mengapa hanya PKI dan hanya setelah tahun 1963 (sejak perubahan pola) terjadi kerusuhan yang semakin meningkat setelah peristiwa 30 September 1965. Sebaliknya kelompok analisis pertama hanya melihat konteks sosial karena perubahan namun mereka tidak secara khusus mengidentifikasi penyebab kerusuhan yakni perubahan pola PKI.
Analisis yang menekankan aspek sistemik yang bersifat jangka panjang maupun aspek perubahan pola PKI yang berjangka waktu lebih pendek (sejak 1962-3) saling melengkapi sehingga dapat membantu memperjelas pemahaman mengenai kehancuran PKI.
Strategi PKI Dalam Perbandingan
Pembahasan strategi PKI perlu dilihat dalam kaitannya dengan pola strategi partai komunis di dunia. Strategi partai komunis mencakup pola revisionisme (United Front/Front Nasional) atau pola Rusia dan pola revolusioner atau pola RRCina. Dalam pola revisionisme partai komunis bekerja sama dengan pihak lain untuk merebut kekuasaan dari “dalam” dan “atas” baik melalui kudeta atau parlemen. Strategi ini mengalami kegagalan di Cina (Shanghai, 1927), Jerman (1933), Indonesia (1948) dan Singapura (1950an). Namun pola ini berhasil di Rusia (1917), Vietnam-Utara (1941-46), Cekoslovakia (1948), Laos (1975) dan Afganistan (1973). Keberhasilan-keberhasilan tersebut untuk sebagian didukung pula dari luar (aspek imperialisme) sehingga tidak murni sebagai revolusi sosial. Sementara itu pola revolusioner, utamanya di daerah pedesaan, ditandai dengan terjadinya konflik bersenjata dan berakhir sukses seperti di RRCina (1949), Camboja (1975), dan Nicaragua (1979), namun mengalami kegagalan seperti di British-Malaya (1948-55), Bolivia (1966), dan Peru (1980an). (Perang Gerilya Castro di Kuba tahun 1956-60 bukanlah gerakan komunisme; Castro baru menguasai dan menggunakan partai komunis setelah ia berkuasa).
Strategi PKI pada 1948 berpola Soviet bahkan Muso berencana membentuk Republik Soviet Indonesia dengan melakukan kup dari “dalam” ketika Indonesia sedang disibukkan menghadapi Belanda. Saat itu Sukarno dan Hatta menantang PKI-Musso dan berakibat gagalnya kup PKI tersebut. Pada masa 1950an dan awal 1960 periode revisionisme ini diterapkan lagi oleh PKI karena kekuatannya yang memang masih terbatas. Pada bulan Agustus 1951 PKI mengalami “Razia Sukiman” dimana 2000 pimpinan dan aktivisnya di penjara namun mereka dibebaskan karena jatuhnya kabinet. Setelah itu pada bulan Juli 1960 anggota politbiro diinterograsi dan ditahan selama seminggu karena Harian Rakyat melakukan evaluasi negatif pada program ekonomi, keamanan dan luar negeri kabinet. Peristiwa ini diikuti dengan dihentikannya kegiatan PKI oleh para Pangdam di Sumsel, Kalsel dan Sulsel (“Peristiwa Tiga Selatan”).
Pada tahun 1963 Central Committee PKI memutuskan untuk menerapkan strategi revolusioner ala RRC (Maoisme) dengan melakukan radikalisasi massa. Strategi ini dijalankan dengan aksi sepihak dimana massa petani (BTI) menduduki tanah-tanah. Aksi sepihak ini merupakan “senam revolusi” dan “gladi resik” yang diharapkan oleh PKI untuk meningkatkan militansi pendukung mereka sehingga siap ketika saat revolusi telah tiba. Namun bagi pihak non-PKI, aksi sepihak ini merupakan provokasi untuk konflik. Radikalisasi ini disertai dengan kegiatan senibudaya,utamanya ludruk, yang melecehkan agama Islam. Berbagai surat kabar di Jawa Timur (Suara Rakyat, Obor Revolusi dan Trompet Masyarakat) dan di Bali (Suara Indonesia) memberitakan konflik lokal menjelang 30 September 1965 yang telah memakan korban baik di pihak PKI maupun non-PKI.
Strategi baru PKI ini dianggap brilian karena mengkombinasikan berbagai pola. PKI masih melaksanakan pola Soviet atau mengembangkan Front Nasional namun disertai dengan upaya inflitrasi pada Parpol dan Ormas. Selain itu PKI membonceng pada Sukarno dan infiltrasi militer. Beberapa ilmuwan dan pelaku politik pada saat itu menganggap bahwa kombinasi strategi ini memperbesar kemungkinan keberhasilan PKI untuk merebut kekuasaan. Apalagi pada saat itu pihak RRCina menjanjikan bantuan senjata bagi buruh dan tani seperti yang diajukan oleh PKI. Selain itu PKI gencar mendukung konfrontasi dengan Malaysia (Dwikora) dimana pasukan di konsentrasikan di Sumatera dan Kalimantan. Keadaan ini akan memperbesar peluang keberhasilan revolusi PKI. Dalam revolusi Rusia 1917 dan Cina 1949 melemahnya negara/militer karena perang merupakan faktor penting bagi keberhasilan pihak komunis (Theda Skocpol, 1979). Namun strategi kombinasi PKI tersebut selain mempertinggi keberhasilan juga mempertinggi resiko kegagalan karena memaksa pihak non-PKI untuk mempersiapkan diri.
Pergeseran kearah pola revolusioner yang terjadi secara nasional ini telah menghasilkan polarisasi masyarakat menjadi pihak yang pro PKI dan mereka yang non-PKI. Pada saat itu masyarakat berada dalam situasi konflik total yang terpendam. Setiap peristiwa dapat menjadi pemicu untuk munculnya konflik total terbuka. Dalam polarisasi ini Sukarno berperan sebagai pihak ketiga yang menjaga keseimbangan tersebut.
Menjelang tahun 1965, PKI menganggap bahwa komunisme merupakan ideologi yang benar dan universal. Keberhasilan beberapa negara menjadi komunis seperti dalam teori domino membuat mereka (dan pengamat-pengamat) berpendapat bahwa Indonesia akan segera menjadi negara komunis yang ke 15. Strategi revolusi PKI yang hanya mempunyai alternatif menghancurkan atau dihancurkan dimana hanya terdapat alternatif sukses total (100%) atau gagal total (100%). Pola “kontradiksi dan negasi” untuk memonopoli kekuasaan dengan kekerasan oleh PKI mendapat tentangan dari non-PKI yang lebih mengutamakan pola kerjasama, toleransi dan kompetisi dimana masih terdapat mekanisme kompromi. Strategi kombinasi PKI tersebut selain mempertinggi keberhasilan juga mempertinggi resiko kegagalan karena memaksa pihak non-PKI untuk mempersiapkan diri. Seandainya PKI hanya berperan seperti parpol biasa yang berkompetisi dalam pemilu (seperti pada Pemilu 1955), bukan strategi revolusi maka ia akan tetap selamat sebagai suatu partai seperti partai komunis nominal/“KTP” di Finlandia yang memperoleh suara 20.6%, Perancis (23.4%) dan Itali (25.4%).
G-30-S Sebagai Pemicu
Perimbangan kekuasaan diantara dua kubu ini akhirnya pecah karena peristiwa 30 September 1965. Berbagai versi menyatakan bahwa peristiwa tersebut didalangi oleh PKI, kelompok Aidit, kelompok perwira AD, CIA, Sukarno, Suharto atau kombinasi antara pihak-pihak tersebut. Pelurusan sejarah—yang tidak mudah ini—tentantg peristiwa 30 September 1965 (seperti juga Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Super Semar 1966) merupakan hal yang penting.
Namun terlepas versi mana yang akan lebih meyakinkan, peristiwa G-30-S pada saat itu dinyatakan dan diyakini sebagai kup yang dilakukan oleh “Dewan Revolusi” yang didalangi oleh PKI beserta Biro Khusus mereka yang membina militer. Dengan kata lain, peristiwa G-30-S berfungsi sebagai pemicu yang memunculkan dan meledakkan konflik terpendam antara PKI dan non-PKI. Tanpa peristiwa G-30-S, polarisasi antara PKI dan non-PKI tetap akan meledak karena telah diciptakannya suasana—bukan hanya retorika--revolusioner oleh PKI.
Tuduhan bahwa PKI terlibat dalam persitiwa 30 September (penculikan dan pembunuhan 6 Jenderal) merupakan pemicu nasional yang dengan cepat menjalar kesemua daerah di Indonesia. Dalam hal ini Agitasi Propaganda (Agitprop) PKI kalah oleh non-PKI. Bagi daerah yang telah mengalami konflik (seperti Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara) pemicu ini merupakan kesempatan emas bagi non-PKI untuk menghancurkan PKI. Pada saat itu, Sukarno sebagai penyeimbang tidak dapat berdiri ditengah lagi. Oleh pihak non-PKI, ia dianggap terlalu melindungi PKI dan oleh pihak PKI sendiri dianggap kurang melindungi mereka. Berbeda dengan konflik total tertutup, dalam konflik total terbuka pihak penyeimbang hanya dapat berperan nyata jika ia mempunyai kekuatan tersendiri yang lebih kuat dan terpisah dari kedua belah pihak yang berkonflik.
Sementara itu di daerah-daerah tidak terdapat pihak ketiga--seperti Sukarno di Jakarta/Pusat--yang menengahi polarisasi PKI dengan non-PKI. Kecepatan dan kekerasan pihak non-PKI yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Suharto dalam penghancuran PKI tersebut dimaksudkan sebagai jalan pintas untuk melumpuhkan PKI. Pihak non-PKI takut bahwa PKI dapat saja dilindungi kembali oleh Sukarno seperti dalam pertistiwa tahun 1960. Apalagi mereka menafsirkan pada saat itu bahwa PKI yang menurut mereka jelas-jelas telah terlibat dalam G-30-S tidak segera dibubarkan oleh Sukarno yang terobsesi dengan Nasakom. Pihak non-PKI berpendapat bahwa sepertinya Sukarno tahun 1965 yang tidak menindak PKI berbeda dengan Sukarno tahun 1948 yang menantang PKI.
Pada saat itu, Sukarno sebagai penyeimbang tidak dapat berdiri ditengah lagi. Oleh pihak non-PKI, ia dianggap terlalu melindungi PKI dan oleh pihak PKI sendiri dianggap kurang melindungi mereka. Berbeda dengan konflik total tertutup, dalam konflik total terbuka ini pihak penyeimbang hanya dapat berperan jika ia mempunyai kekuatan nyata yang dapat mengatasi kedua belah pihak.
Tuduhan bahwa PKI terlibat dalam persitiwa 30 September (penculikan dan pembunuhan 6 Jenderal) merupakan pemicu nasional yang dengan cepat menjalar kesemua daerah di Indonesia. Berkaitan dengan hal ini Agitasi Propaganda (Agitprop) PKI kalah oleh non-PKI. Bagi daerah yang telah mengalami konflik (seperti Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara) pemicu ini merupakan kesempatan emas bagi non-PKI untuk menghancurkannya. Apalagi di daerah-daerah polarisasi PKI dengan non-PKI tidak ditengahi oleh pihak ketiga seperti Sukarno di Pusat. Kecepatan dan kekerasan yang digunakan dalam penghancuran PKI tersebut dimaksudkan sebagai jalan pintas untuk melumpuhkan PKI. Pihak non-PKI mengetahui bahwa PKI dapat saja dilindungi kembali oleh Sukarno seperti dalam pertisitwa tahun 1960. Apalagi mereka menafsirkan pada saat itu bahwa PKI yang menurut mereka jelas-jelas telah terlibat tidak dibubarkan oleh Sukarno.
Kehancuran PKI dikritik oleh sisa PKI pro Peking yang menyalahkan Aidit yang menerapkan Revisionisme (Front Nasional) ala Moscow dan menganjurkan melaksanakan strategi gerilya ala Mao. Sebaliknya, sisa PKI yang pro Moscow mengkritik petualangan Aidit dan PKI yang menerapkan strategi ala Mao tanpa “situasi revolusioner” dan menyarankan untuk menerapkan kembali strategi Front Nasional (Cibulka, 1989). Namun pola Front Nasional tidak dapat diterapkan karena PKI dibubarkan pada tanggal 12 Maret 1966. Demikian pula pelaksanaan strategi ala Mao di Blitar (1968) mengalami kegagalan pula.
Revolusi Sosial yang Gagal
Berbagai teori dan analisis mencoba untuk menjelaskan mengapa suatu revolusi sosial dapat berhasil atau gagal. Skocpol (1979) mengidentifikasi tiga faktor yang dapat menjelaskannya yaitu: tekanan internasional, ketahanan negara dan konflik kelas. Dengan menggunakan ketiga faktor diatas, Skocpol mengambil kasus revolusi yang sukses (Perancis 1789; Rusia 1917 dan Cina 1911) dan revolusi yang gagal (Inggris 1640-60; Jepang 1868-73; dan Jerman, 1848-50). Pendekatan Skocpol sangat bersifat struktural dan dikritik kurang memperhatikan faktor kelompok dan budaya dalam revolusi seperti yang terbukti berperan penting dalam kasus Iran 1979.
Penggunaan model Skocpol dalam menganalisis kegagalan PKI menghadirkan berbagai masalah :
Pertama, dalam kasus revolusi yang berhasil di Perancis, Cina, dan Rusia tekanan internasional (termasuk perang) menghasilkan kelemahan pada ke tiga negara tersebut. Sebaliknya kasus Indonesia pada 1965 yang menghadapi kasus Irian (Trikora 1960) dan Malaysia (Dwikora) telah menghasilkan terjadi tekanan sekaligus dukungan yang intinya memang menguatkan negara (dan militer) Indonesia. Namun kuatnya negara atau militer tidaklah otomatis akan menghambat keberhasilan upaya revolusi, terutama revolusi yang dimulai dari “dalam” dan “atas” dan mendapat bantuan dari luar (seperti Cekoslovakia dan Laos). Jika sebagian dari aparat negara dan militer yang kuat berhasil diinfiltrasi dan membelot pada pihak revolusi maka kemungkinan suksesnya revolusi akan lebih besar.
Kedua, aspek konflik kelas memang dapat memperlancar atau menghambat keberhasilan suatu revolusi. Namun yang perlu lebih diperhatikan adalah peran pemilik tanah dan elit lokal yang memperkuat kekuatannya dengan bergabung pada partai politik. Dalam studi perbandingan Skocpol peran partai politik memang belum menonjol. Ilustrasi Jawa Timur dan Bali menunjukkan bagaimana partai politik yaitu NU dan PNI di Jawa Timur dan PNI dan bekas PSI di Bali dapat melakukan konsolidasi vertikal.
Ketiga, kelemahan analisis Skocpol adalah kurangnya penekanan pada faktor tokoh baik nasional maupun regional (aspek “non-struktural”) serta faktor budaya termasuk agama. Peran NU karena aspek keagamaan (Islam) di Jawa Timur dan peran PNI karena aspek tokoh (Sukarno) di Bali menunjukkan bahwa konflik kelas yang hanya didasarkan oleh faktor ekonomi tidaklah sesederhana yang diduga. Faktor tokoh berperan dalam menentukan mobilisasi dan keberhasilan suatu revolusi. Sebelum 1965 PKI mendapat keuntungan dari perlindungan Sukarno dan retorika revolusi Sukarno. Namun PKI menjadi pasif begitu Sukarno tidak memberi perlindungan setelah peristiwa 30 September. Peran tokoh ini selain mempengaruhi massa juga berperan pada birokrat dan militer sehingga sangat menentukan dalam berhasil atau gagalnya upaya revolusi. Keadaan ini berlaku pula pada birokrasi dan miltier pada tingkat regional (propinsi).
Ilustrasi Kasus Jawa Timur dan Bali
Model yang digunakan untuk menganalisis potensi suksesnya revolusi terdiri dari faktor penantang negara (challengers, Charles Tilly, 1978: 213-216) yang dihitung dengan persentase pendukung PKI; dukungan militer (Army disloyalty, D.E.H. Russel, 1974: 74) berupa dugaan jumlah militer yang bersimpati pada PKI; dan dukungan tokoh (“sentiments of social ranking’, Vilfredo Pareto, 1935: 686-7) terhadap PKI. Selain itu dianalisis pula peran agama dalam menghadapi proses komunisasi. Keempat faktor ini berperan pada tingkat nasional; regional (propinsi) dan tingkat lokal (dukuh).
Perbandingan studi Jawa Timur dan Bali secara umum menunjukkan potensi kemenangan PKI yang lebih besar di Bali karena tiadanya tentangan dari pimpinan birokrasi dan militer serta dukungan masa yang relatif besar karena berpindahnya sebagian pengikut PSI yang dibubarkan tahun 1960 ke PKI. Selain itu peran sebagian veteran sebagai reference group (Robert Merton, 1968: 304) yang bersimpati pada PKI dapat mempengaruhi publik untuk mendukung PKI Dilihat dari segi agama, maka Hindu Bali membentuk komunitas yang sangat kuat pada tingkat lokal (banjar) namun pada tingkat supra lokal tidak menghasilkan konsolidasi vertikal sehingga mempermudah konsolidasi horizontal oleh PKI. Sementara itu, konsolidasi Islam pada tingkat supra lokal terjadi melalui pesantren (dan parpol) dan pemisahan antara santri dan abangan yang berperan dalam identifikasi dan loyalitas politik.
Secara lebih khusus maka proses komunisasi di Jawa Timur beragam di daerah dimana PKI kuat (Magetan); sedang (Kediri) dan lemah (Jember). Di Magetan, PKI cukup agresif dan pengaruh pesantren tidak meluas dan kader PKI berani menantang para kiyai. Selain itu golongan santri tinggal mengelompok di dukuh tertentu. Tentangan terhadap PKI terjadi pula dari pihak PNI yang masih dapat mempergunakan pola patron untuk memobilisasi para petani. Di daerah Kediri konfrontasi antara PKI dan golongan Islam sangat kuat karena adanya pesantren-pesantren dan pabrik gula yang menjadi basis PKI. Di daerah ini hubungan antara pemilik tanah santri dengan penggarap/buruh tani dapat berjalan karena mereka menganggap bahwa masalah kerja terpisah dari politik. Di Magetan, hubungan antara pemilik dan penggarap lebih bersifat ekonomi sebelum radikalisasi dan politisasi oleh PKI tahun 1963. Setelah redikalisasi maka terjadi pengelompokkan dimana pemilik tanah NU lebih banyak menarik penggarap NU demikian pula dengan petani dan penggarap PNI.
Proses komunisasi di Bali berbeda dengan di Jawa karena masih terdapatnya konsentrasi tanah pada pihak puri. Demikian pula peran kerajaan dan puri yang dari awal telah memilih PSI dan PNI menghasilkan basis masa yang cukup kuat. Namun dalam perkembangan selanjutnya PKI memperoleh dukungan karena aktifitas veteran yang bersimpati padanya dan mereka inilah yang dapat mempengaruhi warga (banjar) sehingga mendukung PKI pula. Keadaan ini dipermudah dengan adanya massa mengambang bekas PSI yang ingin melanjutkan persaingannya dengan PNI.
Demikian pula dalam proses pembunuhan PKI terdapat pola dimana massa lebih aktif (Jember, Kediri, Buleleng, Klungkung), atau didominasi oleh aparat militer (Magetan, Tabanan). Keberadaan militer yang kuat menyebabkan mereka mengambil inisiatif dan proses seleksi korban lebih teratur. Demikian pula sebaliknya di daerah dimana non-PKI lebih atau sama kuat maka mereka memulai pembunuhan terhadap pihak PKI. Namun dalam pembunuhan tersebut terjadi pula perlindungan bagi warga yang dianggap hanya ikut-ikutan seperti yang terjadi di Tabanan
Secara umum, kasus di pedesaan Jawa dan Bali yang diteliti mempunyai aspek khusus namun dalam kerangka besarnya perisitwa tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan regional (propinsi) dan pusat (Jakarta). Pasifnya Sukarno membuat pimpinan propinsi Jawa Timur yang anti PKI menjadi aktif dan pimpinan di Bali menjadi pasif. Sementara itu masyarakat lokal, terutama yang non-PKI nya dominan mengambil tindakan pembunuhan setelah mendapat dorongan oleh tokoh lokal yang mempunyai hubungan (organisasi) dengan organisasi atau tokoh kabupaten.
Masalah Moral
Masalah yang sekarang muncul adalah seandainya PKI tidak terlibat dalam peristiwa G-30-S apakah mereka boleh dihancurkan seperti yang telah terjadi selama ini? Pertanyaan ini tetap harus dilihat dalam gambar besar situasi masyarakat pada saat itu. Ada pihak yang berpendapat bahwa penghancuran PKI dianggap telah melanggar asas kemanusiaan (holocaustatau genocide). Sebaliknya terdapat pendapat bahwa penghancuran tersebut sah secara moral karena tidak terdapat alternatif lain. Pendapat terakhir ini sering dikemukakan oleh pihak non-PKI yang berada di daerah dan mengalami langsung konfrontasi hidup-mati dengan PKI. Menurut mereka, pilihannya hanya menghancurkan atau dihancurkan dan cepat atau lambat hal tersebut akan terjadi.
Penghancuran PKI bukanlah genocide atau holocoust dalam arti PKI sebagai pihak yang tidak bersalah (innocence), tidak berdaya serta tidak mengancam. Justru sebaliknya, PKI lebih tepat dianalogikan sebagai pihak yang berpotensi besar sebagai Nazi/Hitler atau Pol Pot yang akan melakukan holocaust dan genocide. Dengan kata lain, kasus Indonesia berbeda dengan Kamboja. Di Kamboja pembunuhan dilakukan untuk melaksanakan ideologi komunis yang totaliter sedangkan di Indonesia justru untuk mencegah pelaksanaan ideologi tersebut. Hanya orang yang naif saja (utamanya sebagian publik luar negeri atau generasi muda Indonesia) yang percaya bahwa pada saat itu PKI merupakan pihak yang naif dan pasif serta menjadi korban.
Untuk membahas apakah penghancuran PKI dapat dibenarkan secara moral atau tidak, dapat digunakan teori “just war” yang dikembangkan oleh Michael Walzer (1977) yang dapat diterapkan pada penghancuran PKI yang lebih merupakan “Internal Civil War.” Suatu perang dianggap sah dan benar secara moral jika dilakukan untuk: pertama, mengusir pihak yang melakukan agresi; kedua, dilakukan demi intervensi kemanusiaan; dan ketiga, merupakan suatu pre-emptive strike dan bela diri terhadap musuh yang sudah siap dan pasti akan menyerang.
Berdasarkan definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa tindakan non-PKI untuk menghancurkan PKI merupakan pre-emptive strike yang didasarkan oleh ancaman nyata atau strategi revolusioner PKI sejak 1963 (tuntutan untuk mempersenjatai buruh dan tani, utamanya dari pihak PKI, pelaksanaan aksi sepihak) yang telah menghasilkan korban. Sebaliknya, penghancuran PKI dapat disebut unjust internal war jika mereka tidak melakukan konsolidasi dan mengancam pihak non-PKI, misalnya penghancuran PKI pada pemilu 1955. Demikian pula penghancuran partai komunis non-revolusioner di Finlandia, Perancis dan Itali yang menganut pola peaceful road to socialism dapat dikategorikan sebagai unjust internal war.
Jelaslah bahwa pihak PKI merupakan pihak yang salah dan kalah. Sebagai akibatnya pihak yang salah harus siap menanggung akibatnya. Hal serupa dialami pula oleh pihak Jerman dan Jepang dalam Perang Dunia ke 2 yang diadili sebagai pihak yang salah dan kalah. Jelaslah yang diadili dan dihukum (termasuk membayar pampasan perang) bukanlah pihak sekutu yang juga telah membunuh pihak Jerman dan Jepang. Bahkan pihak sekutu (Amerika) telah membunuh penduduk sipil (Hiroshima dan Nagasaki) yang bukan peserta perang. Sebaliknya, tuntutan secara hukum dapat diajukan pada pihak yang dianggap salah namun (pernah) menang seperti yang terjadi pada kasus Pinochet atau Pol Pot/Khmer Rouge (1975-1978). Singkatnya, pihak yang kalah dan menjadi korban maupun pihak yang menang dapat dituntut jika mereka dianggap sebagai pihak yang salah.
Berdasarkan pembahasan ini, pihak non-PKI tidak perlu meminta maaf apalagi ideologi komunisme yang dipaksakan PKI ternyata salah seperti yang telah terbukti dengan runtuhnya komunisme. (Indonesia juga tidak meminta maaf pada Jepang dan Belanda sebagai kolonialis yang salah). Permintaan maaf justru harus diajukan oleh pimpinan PKI terhadap pihak non-PKI karena mereka telah mencoba memaksakan ideologi yang ternyata salah yang jika diterapkan akan menghasilkan masyarakat totalitarian dengan Kamboja sebagai contoh terburuk. Dalam hal ini pihak non-PKI perlu memberi maaf kepada pihak PKI dan keturunannya sehingga pencapaian Masyarakat Indonesia Baru pada masa depan menjadi lebih mudah. Selain itu para bekas pimpinan PKI harus meminta maaf pada (bekas) anak buah mereka sendiri (anggota, simpatisan dan keluarga PKI) yang telah menjadi korban sebagai akibat salahnya strategi revolusioner PKI.
Penutup
Secara singkat dapat dikatakan bahwa alternatif rute sejarah yang dipaksakan PKI bagi bangsa Indonesia pada tahun 1965 seperti juga tahun 1948 telah mengalami kegagalan. Pada tahun 1948 penolakan dilakukan oleh Sukarno-Hatta dan aparat negara di Madiun dan sekitarnya. Sedangkan penolakan pada tahun 1965/1966 dipimpin oleh Suharto serta telah melibatkan mayoritas non-PKI di seluruh Indonesia. Pada saat itu hanya terdapat dua alternatif: kehancuran PKI atau kehancuran non-PKI. Kedudukan PKI sebagai pihak yang salah dan kalah dalam sejarah Indonesia ini perlu diketahui oleh generasi muda serta publik di luar negeri. Lembaran sejarah Indonesia juga mencatat peran pemimpin yang paradoks: Sukarno 1948 berbeda dengan Sukarno 1965, sementara itu Suharto 1965 berbeda dengan Suharto 1998.
Dr. Iwan Gardono Sujatmiko, MA, Ph.D
Dr. (Department of Sociology Harvard University); MA. (Department of Sociology Harvard University); Drs. (FISIP-UI). Sosiologi Politik, Statistik Sosial, Studi Demokrasi Lahir Maret 1956 di Bandung. Memperoleh gelar Sarjana Sosiologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia tahun 1982. Pernah menjabat ketua Laboratorium Sosiologi dan saat ini menjabat sebagai ketua jurusan Sosiologi. Hingga kini aktif mengajar pada jurusan Sosiologi untuk program studi S1, S2 dan S3 di FISIP-UI.
Sumber : KLIK DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar