Ada sebuah tradisi kekesatriaan yang luar biasa. Bisa dijadikan teladan oleh Bangsa Indonesia untuk menghadapi ancaman dan rongrongan dari bangsa lain serta untuk membela Negara. Tradisi ini berasal dari etnis Dayak di Kalimantan.
KONSEP PERTAHANAN PERTAMA ADALAH ADANYA PEMIMPIN YANG DIPERCAYA OLEH MASYARAKAT MAMPU MENGAYOMI, MELINDUNGI DAN KHARISMATIK.
Pemimpin yang berjiwa kesatria ini dipercaya sangat sakti yang menghuni gunung di pedalaman Kalimantan, bersinggungan dengan alam gaib. Wujudnya bisa pemimpin spiritual, panglima perang, guru, dan tetua yang diagungkan. Dia disebut Pangkalima oleh orang Dayak pedalaman atau dikenal oleh masyarakat luas sebagai PANGLIMA BURUNG.
Ia telah hidup selama ratusan tahun dan tinggal di pedalaman Kalimantan. Panglima Burung juga bisa berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan. Bisa jadi dia dulu merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.
Selain sakti mandraguna, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan penjaga perdamaian. Dia adalah tipe ideal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang sedikit pemalu.
Orang Dayak bukan orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bahkan cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual.
Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang.
Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun pemimpin, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam.
Panglima Burung jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.
Tidak ada kamus dalam masyarakat dayak agar melanggengkan budaya kekerasan dan keberingasan. Sebab Panglima Burung adalah sosok yang penyabar. Namun saat kesabaran demi kesabaran sudah habis maka dia akan turun gunung dan berubah menjadi seorang dewa syiwa.
Panglima Burung yang akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Dia pun menggelar sebuah ritual yang dinamakan Mangkok Merah. Ritual yang dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka terhipnotis dan siap perang.
Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak sebenarnya hanyalah untuk MEMBELA DIRI. Pembunuhan JELAS tak boleh dilakukan, tetapi HANYA OPSI UNTUK MEMPERTAHANKAN DIRI.
KONSEP PERTAHANAN KEDUA ADALAH GOTONG ROYONG BAHU MEMBAHU, MERASA SENASIB SEPENANGGUNGAN.
MANGKOK MERAH adalah alat komunikasi mistis yang berfungsi sebagai pembawa pertanda bahwa ada sekelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan dari seluruh masyarakat sehingga seluruh masyarakat harus bahu membahu dan bergotong royong memberikan bantuan.
Selain sebagai alat komunikasi, Mangkok Merah juga berfungsi sebagai penghubung dengan roh nenek moyang. Orang Dayak percaya bahwa melalui Mangkok Merah roh para leluhur akan membantu mereka dari serangan pihak luar.
Roh leluhur dalam adat Dayak Kanayatn (sub-etnik mayoritas di Kalbar) disebut Dewa Sakti yang terdiri atas tujuh roh bersaudara. Mereka bernama Bujakng Nyangko Samabue, Kamang Muda Santulangan, Sarukng Sampuro, Sansa Lalu Samarawe, Bujang Gila Palepak, Nyaro Nyantakng Pajamuratn dan Bensei Sampayangan. Tujuh roh leluhur ber saudara ini tinggal di tujuh tempat yang berlainan. Untuk memanggil roh-roh Dewa Sakti ini, hanya Panglima Adat yang berwenang melakukannya.
Sejumlah perangkat harus disiapkan oleh Panglima Adat sebelum upacara pemanggilan roh Dewa Sakti. Mangkok yang terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Mangkok Merah dibawa Panglima ke panyugu yakni sebuah tempat yang dianggap keramat pada saat matahari terbenam. Di panyugu, Panglima meminta petunjuk roh Dewa Sakti. Roh Dewa Sakti akan menjawab dengan tanda-tada alam yang oleh Panglima akan diterjemahkan apakah Mangkok Merah sudah saatnya atau belum untuk diedarkan.
Jika Panglima turun ke kampung dengan teriakan-teriakan magis tertentu yang diteriakkan dengan suara nyaring, maka Dewa Sakti sudah mengijinkan Mangkok Merah diedarkan. Roh salah satu tujuh bersaudara Dewa Sakti tadi mempengaruhi tubuh sang Panglima dan masyarakat segera merespon. Mereka berkumpul di lapangan memegang mandau, perisai dan senjata lantak dengan kain merah terikat di kepala, siap untuk berperang.
Dalam sekejab, Panglima menularkan roh Dewa Sakti kepada prajurit. Pangarah (kurir) ditunjuk Panglima untuk mengantarkan bungkusan kain merah itu ke kampung lain. Pangarah terbang dan dalam waktu sekejab disertai teriakan ritual sampai di kampung lain.
Panglima kampung tetangga, dengan kekuatan supranaturalnya, akan mengetahui kedatangan pangarah dan menjemputnya bersama masyarakat. Pangarah mengabarkan siapa musuh yang harus dihadapi. Panglima kampung tersebut kemudian menularkan roh Dewa Sakti kepada masyarakat yang telah berkumpul.
Upacara seperti itu terus berlangsung di seluruh wilayah yang bisa dijangkau hingga dianggap cukup untuk menghadapi musuh. Jika perang dianggap selesai upacara pengembalian Roh Dewa Sakti yang disebut Nyaru Semangat akan dilakukan. Dengan sejumlah upacara adat induk roh (induk Tariu) tersebut dikembalikan ke tempat asalnya.
Mangkok Merah di kalangan suku Dayak Kanayatn juga dipercaya menambah kesaktian. Dengan ikat kepala warna merah, orang-orang Dayak yang merasa roh para leluhur itu telah berkarya di dalam tubuhnya bisa mengenali mana lawan dan kawan hanya dengan indra penciumannya.
Dampak beredarnya Mangkok Merah ini memang dasyat. Ribuan orang Dayak, laki-laki dan perempuan yang terkena pengaruh magis Mangkok Merah bergerak di bawah komando panglima perang. Para panglima perang biasanya menggunakan nama-nama alam seperti Panglima Burung, Panglima Halilintar atau Panglima Angin. Panglima perang tertua dan terkenal dari suku Dayak Kanayatn bernama Panglima Burung.
Daya magis Mangkok Merah membuat prajurit Dayak tak mempan dibacok, tahan lapar hingga sebulan dan bisa melesat cepat di dalam hutan. Hampir tiap hari, pasukan ABRI menemukan sekelompok orang Dayak di sebuah tempat yang jaraknya ratusan kilometer dari tempat asal mereka. Dengan sejumlah truk ABRI mengembalikan para prajurit Dayak yang “terdampar” di suatu tempat ke tempat asal mereka.
Mangkok Merah biasanya digunakan jika orang Dayak benar-benar terpaksa. Segala macam akibat yang akan ditimbulkan akan dipertimbangkan masak-masak karena korban jiwa dalam jumlah besar sudah pasti akan berjatuhan.
Tradisi Mangkok Merah pernah digunakan untuk menangkap tokoh komunis yang dipimpin Sofyan tahun 1967, pasukannya berhasil mengenali dan membunuh kaum komunis.
KESIMPULAN
SEBELUM BANGSA INDONESIA MENGANUT SISTEM PERTAHANAN DAN KEAMANAN RAKYAT SEMESTA, TERNYATA TRADISI BUDAYA SUKU BANGSA DAYAK TELAH MENGENALNYA SEJAK RATUSAN TAHUN SILAM. KEARIFAN INI BISA DIJADIKAN TELADAN BANGSA KITA UNTUK MEMBELA NEGARA.
BUDAYA DAYAK MENGAJARKAN AGAR NEGARA KITA TIDAK BOLEH KEHILANGAN SEMANGAT JUANG UNTUK MEMBELA TANAH AIR.
PARA PAHLAWAN KITA YANG TELAH GUGUR TIDAK AKAN SIA-SIA BILA DI DALAM DADA SETIAP WARGA NEGARA MEMILIKI SEMANGAT JUANG UNTUK MEMBANGUN BANGSA INDONESIA AGAR LEBIH BAIK DAN SEJAHTERA.
Sumber : http://rixco.multiply.com/journal/item/624/MENGADOPSI-DUA-KONSEP-KESATRIAAN-PERANG-SUKU-DAYAK-DALAM-PERTAHANAN-DAN-KEAMANAN-NEGARA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar