Tragedi Situjuh Batur
PERISTIWA SITUJUH BATUR DALAM SEJARAH INDONESIA
15 Januari 1949
1 Chatib. Sulaiman, MPRD
2 Arisun St Alamsyah, Bupati Militer
3 Munir Latif, Letkol
4 Zainuddin Mayor
5 Tantawi, Kapten
6 Azinar, Lettu
7 Syamsul Bahri, Letda
8 Rusli, Sopir
9 Syamsudin, PMT
Yang dimakamkan di Situjuh Banda Dalam adalah :
1 M. Zein, BPNK
2 Ramli, BPNK
3 Syamsul Kamal, BPNK
4 Kamasyhur BPNK
5 Nakuman, BPNK
6 Mangkuto, BPNK
7 Ahmad, BPNK
8 Rajiman, BPNK
Yang dimakamkan di Situjuh Gadang adalah :
1 Raudani, Letda
2 Abdudis, Letda
3 Agus Yatim, Lettu
4 Azis Junaid, Lettu
5 Abas Hasan, Serma
6 Daruhan, Serma
7 Rasyid Sirin, Koptu
8 Y. Maliki, BPNK
9 Hasan Basri, BPNK
10 Burhan, BPNK
11 Ali Amran, BPNK
12 Syafwaneff, BPNK
13 A. Malik, BPNK
Tragedi Situjuh Batur. Rapat Besar Pimpinan Sumatera Barat di Situjuh Batur digrebek Patroli Belanda. Banyak Korban jatuh termasuk beberapa Tokoh Paling Terkemuka di Sumatera Barat (antara lain Ketua MPRD, Chatib Soelaiman) dan Puluhan Prajurit dan BNPK di Nagari itu.
Antara lain yang dimakamkan di Situjuh Batur yaitu :
Antara lain yang dimakamkan di Situjuh Batur yaitu :
1 Chatib. Sulaiman, MPRD
2 Arisun St Alamsyah, Bupati Militer
3 Munir Latif, Letkol
4 Zainuddin Mayor
5 Tantawi, Kapten
6 Azinar, Lettu
7 Syamsul Bahri, Letda
8 Rusli, Sopir
9 Syamsudin, PMT
Yang dimakamkan di Situjuh Banda Dalam adalah :
1 M. Zein, BPNK
2 Ramli, BPNK
3 Syamsul Kamal, BPNK
4 Kamasyhur BPNK
5 Nakuman, BPNK
6 Mangkuto, BPNK
7 Ahmad, BPNK
8 Rajiman, BPNK
Yang dimakamkan di Situjuh Gadang adalah :
1 Raudani, Letda
2 Abdudis, Letda
3 Agus Yatim, Lettu
4 Azis Junaid, Lettu
5 Abas Hasan, Serma
6 Daruhan, Serma
7 Rasyid Sirin, Koptu
8 Y. Maliki, BPNK
9 Hasan Basri, BPNK
10 Burhan, BPNK
11 Ali Amran, BPNK
12 Syafwaneff, BPNK
13 A. Malik, BPNK
Meletusnya PDRI
Peristiwa Situjuh Batur berkaitan dengan agresi Belanda ke-2, peristiwa itu ditandai dengan dibomnya Yogyakarta dan Bukittinggi oleh Belanda pada tanggal 19 Desember 1948. Rentetan peristiwa itu adalah ditangkapnya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M. Hatta beserta pemimpin lainnya. Soekarno dan Hatta kemudian Dwitunggal itu pun diasingkan ke Bangka.
Peristiwa pemboman terhadap Bukittingi dan daerah sekitarnya tentu menjadi pengalaman yang tragis, romantik sekaligus heroik bagi para pelaku dan masyarakat pada masanya. Diketahui pada tangga 18 Desember 1948 pesawat tempur Belanda, meraung di udara Bukittinggi , awalnya aksi pesawat itu dikira pesawat yang membawa Presiden Soekarno yang singgah di Bukittingi untuk selanjutnya pergi ke India.
Kiranya pada pukul 08.00 pagi tanggal 19 Desember Belanda menyerang kota Bukittinggi, Pusat Pemerintahan Sumatera. Selain itu beberapa tempat seperti Pariaman dari arah laut, Padang Panjang, dan Payakumbuh juga diserang oleh Belanda dengan Mustangnya. Akibatanya berbagai fasilitas pemerintahan dan masyarakat hancur. Serangan itu dikuti oleh penyebaran pamplet oleh Belanda. Isinya yang penting antara lain Presiden Soerkano dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap oleh Belanda.
Selain itu Belanda mengajak semua pihak untuk bekerja sama menghancurkan para “teroris-teroris”, tak lain adalah para pejuang Republik Indonesia.
Dibomnya Bukittinggi sebagai Pusat Pemerintahan Sumatera menimbulkan inisiatif dari beberapa pimpinan yang ada di Sumatera.
Pertama inisiatif, Tengku M. Hasan CS. Segera setelah pemboman ia mengadakan pertemuan bersama antara Tengku Muhamammad Hasan (Komisariat Pemerintahan Pusat), Mr. M. Nasroen (Gubernur Sumatera Tengah) dan Mr. Sjafruddin Prawira Negara (Menteri Kemakmuran) yang kebetulan sedang berada di Sumatera. Pertemuan itu diadakan di gedung kediaman Wakil Presiden M. Hatta. Karena tidak tuntas, pertemuan juga dilakukan di rumah Mr. Tengku Mohammad Hasan.
Ada dua hal yang penting digariskan dalam dua pertemuan itu, yaitu ide untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan segera menghimbau rakyat untuk mengungsi. PDRI perlu didirikan untuk menjaga agar jangan terjadi vakum kekuasaan .
Kedua inisiatif dari St. M. Rasjid, yang kebetulan pada waktu pemboman yang dilakukan tentara Belanda terhadap Bukittinggi sedang berada di Pariaman untuk menjenguk tiga buah kapal barang yang datang dari Singapura.
Ia dengan penuh bahaya melewati Sicincin dan Padang Panjang menuju Bukittingi kira-kira pukul 11.00 wib pagi tanggal 19 Desember. Sementara itu tentara Belanda didengar sudah diterjunkan di Singkarak. Sesampainya di Bukittinggi Rasjid langsung mengadakan rapat dengan mengundang Dewan Pertahanan Daerah (DPD) dan beberapa pejabat daerah untuk bersidang. Karena kesibukan menyelamatakan keluarga untuk mengungsi maka banyak di antara undangan yang tidak hadir.
Pada tanggal 20 Desember Mr S.M. Rasjid kembali mengundang kepala-kepala jawatan untuk mengadakan rapat, namun rapat ini gagal karena Bukittinggi terus dibom oleh tentara Belanda. Rapat itu baru terlaksana malam tanggal 20 Desember tersebut.
Beberapa instruksi yang penting dari Residen Rasjid yang dirumuskan malam itu adalah: menyelamatkan barang-barang penting kepunyaan pemerintah, mengamankan penduduk, mengusngi keluar kota, tidak boleh bekerjasama dengan Belanda serta membumi hanguskan kota sebelum ditinggalkan. Selain itu, Rasjid selaku Residen Sumatera Barat juga menghimbau seluruh penduduk untuk memperlambat gerak musuh dengan menumbangkan pohon-pohon ke jalan yang kemungkinan dilewati kenderaan patroli Belanda, merusak jembatan dan sebagainya.
Rapat terakhir Residen Sumatera Barat adalah pada jam 11.00 tanggal 21 Desember, rapat ini diadakan sebelum Rasjid bersama keluarga meninggalkan Bukitttinggi menuju Payakumbuh.
Sampai di Payakumbuh jam 01.00 malam, Rasjid pun berkumpul dengan jajaran sipil dan militer untuk mensosialisasikan kebijakan Pemerintahan Sumatera Barat atas terjadinya serangan Belanda sejak tanggal 19 Desember. Ironisnya menurut Rasjid pertemuan itu diadakan di rumah Dr. Anas, yang oleh masyarakat Payakumbuh dianggap sebagai kaki tangan Belanda. Tetapi menurut Rasjid, Dr. Anas tidak membocorkan hasil pertemuan itu
Pada tanggal 22 Desember 1948 beberapa pejabat Republik yang ada di Sumatera sudah berkumpul di Halaban, Payakumbuh. Saat itu pula tentara Belanda sudah menguasai Bukittinggi. Segera pada tanggal tersebut PDRI disusun dan kemudian diumumkan ke seluruh pelosok Nusantara bahkan ke mancanegara. Struktur PDRI bisa dilihat sebagai berikut:
Dari struktur dan personal yang menjabat itu perlu dipahami bahwa PDRI bukanlah pemerintahan masyarakat Sumatera apalagi Sumatera Barat, karena ia dijabat dari berbagai unsur. Dan tujuannya juga untuk melanjutkan tugas pemerintahan pusat yang sedang vakum.
Hal yang penting dalam konteks ini adalah bagimana kondisi perjuangan PDRI di sekitar Limapuluh Kota dan korelasinya dalam keberadaan Republik Indonesia. Perlu diketahui bahwa PDRI adalah mobiler, dan dua pusat pemerintahan yang agak menonjol adalah di Kototinggi (Limapuluh Kota) dan Bidar Alam (Solok Selatan).
Dipilihnya Kototinggi sebagai salah satu pusat pemerintahan Sumatera Barat dan PDRI tentu dengan alasan bahwa nagari Koto Tingi dianggap aman dan srategis. Sementara Bidar Alam strategis untuk pertahanan dan tidak begitu jauh dari sumber kebutuhan pangan. Kedua daerah ini berada di pinggiran dan lebih mudah untuk berhubungan keluar.
Peristiwa pemboman terhadap Bukittingi dan daerah sekitarnya tentu menjadi pengalaman yang tragis, romantik sekaligus heroik bagi para pelaku dan masyarakat pada masanya. Diketahui pada tangga 18 Desember 1948 pesawat tempur Belanda, meraung di udara Bukittinggi , awalnya aksi pesawat itu dikira pesawat yang membawa Presiden Soekarno yang singgah di Bukittingi untuk selanjutnya pergi ke India.
Kiranya pada pukul 08.00 pagi tanggal 19 Desember Belanda menyerang kota Bukittinggi, Pusat Pemerintahan Sumatera. Selain itu beberapa tempat seperti Pariaman dari arah laut, Padang Panjang, dan Payakumbuh juga diserang oleh Belanda dengan Mustangnya. Akibatanya berbagai fasilitas pemerintahan dan masyarakat hancur. Serangan itu dikuti oleh penyebaran pamplet oleh Belanda. Isinya yang penting antara lain Presiden Soerkano dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap oleh Belanda.
Selain itu Belanda mengajak semua pihak untuk bekerja sama menghancurkan para “teroris-teroris”, tak lain adalah para pejuang Republik Indonesia.
Dibomnya Bukittinggi sebagai Pusat Pemerintahan Sumatera menimbulkan inisiatif dari beberapa pimpinan yang ada di Sumatera.
Pertama inisiatif, Tengku M. Hasan CS. Segera setelah pemboman ia mengadakan pertemuan bersama antara Tengku Muhamammad Hasan (Komisariat Pemerintahan Pusat), Mr. M. Nasroen (Gubernur Sumatera Tengah) dan Mr. Sjafruddin Prawira Negara (Menteri Kemakmuran) yang kebetulan sedang berada di Sumatera. Pertemuan itu diadakan di gedung kediaman Wakil Presiden M. Hatta. Karena tidak tuntas, pertemuan juga dilakukan di rumah Mr. Tengku Mohammad Hasan.
Ada dua hal yang penting digariskan dalam dua pertemuan itu, yaitu ide untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan segera menghimbau rakyat untuk mengungsi. PDRI perlu didirikan untuk menjaga agar jangan terjadi vakum kekuasaan .
Kedua inisiatif dari St. M. Rasjid, yang kebetulan pada waktu pemboman yang dilakukan tentara Belanda terhadap Bukittinggi sedang berada di Pariaman untuk menjenguk tiga buah kapal barang yang datang dari Singapura.
Ia dengan penuh bahaya melewati Sicincin dan Padang Panjang menuju Bukittingi kira-kira pukul 11.00 wib pagi tanggal 19 Desember. Sementara itu tentara Belanda didengar sudah diterjunkan di Singkarak. Sesampainya di Bukittinggi Rasjid langsung mengadakan rapat dengan mengundang Dewan Pertahanan Daerah (DPD) dan beberapa pejabat daerah untuk bersidang. Karena kesibukan menyelamatakan keluarga untuk mengungsi maka banyak di antara undangan yang tidak hadir.
Pada tanggal 20 Desember Mr S.M. Rasjid kembali mengundang kepala-kepala jawatan untuk mengadakan rapat, namun rapat ini gagal karena Bukittinggi terus dibom oleh tentara Belanda. Rapat itu baru terlaksana malam tanggal 20 Desember tersebut.
Beberapa instruksi yang penting dari Residen Rasjid yang dirumuskan malam itu adalah: menyelamatkan barang-barang penting kepunyaan pemerintah, mengamankan penduduk, mengusngi keluar kota, tidak boleh bekerjasama dengan Belanda serta membumi hanguskan kota sebelum ditinggalkan. Selain itu, Rasjid selaku Residen Sumatera Barat juga menghimbau seluruh penduduk untuk memperlambat gerak musuh dengan menumbangkan pohon-pohon ke jalan yang kemungkinan dilewati kenderaan patroli Belanda, merusak jembatan dan sebagainya.
Rapat terakhir Residen Sumatera Barat adalah pada jam 11.00 tanggal 21 Desember, rapat ini diadakan sebelum Rasjid bersama keluarga meninggalkan Bukitttinggi menuju Payakumbuh.
Sampai di Payakumbuh jam 01.00 malam, Rasjid pun berkumpul dengan jajaran sipil dan militer untuk mensosialisasikan kebijakan Pemerintahan Sumatera Barat atas terjadinya serangan Belanda sejak tanggal 19 Desember. Ironisnya menurut Rasjid pertemuan itu diadakan di rumah Dr. Anas, yang oleh masyarakat Payakumbuh dianggap sebagai kaki tangan Belanda. Tetapi menurut Rasjid, Dr. Anas tidak membocorkan hasil pertemuan itu
- Mr. Sjafruddin Prawiranegara: Ketua PDRI/Mentri Pertahanan dan Penerangan/ Mewakili Menteri Luar Negeri.
- Mr. Tengku Mohammad Hassan : Wkil Ketua PDRI/Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan/mewakili menteri dalam Negeri dan Mentri Agama.
- Mr. Lukman Hakim : Menteri Keuanga/ mewakili Menteri Kehakiman.
- Ir. Mananti Sitompul : Menteri Pekerjaan Umum/mewakili Menteri Kesehatan
- Ir. Indratjaja : Menetri Perhubungan/mewakili Menetri Kemakmuran
- Mr. Sutan Muhammad Rasjid : Menteri Perburuhan dan Sosial / mewakili Menteri Pembangunan dan Pemuda serta mengurus soal-soal kemanan.
Dari struktur dan personal yang menjabat itu perlu dipahami bahwa PDRI bukanlah pemerintahan masyarakat Sumatera apalagi Sumatera Barat, karena ia dijabat dari berbagai unsur. Dan tujuannya juga untuk melanjutkan tugas pemerintahan pusat yang sedang vakum.
Hal yang penting dalam konteks ini adalah bagimana kondisi perjuangan PDRI di sekitar Limapuluh Kota dan korelasinya dalam keberadaan Republik Indonesia. Perlu diketahui bahwa PDRI adalah mobiler, dan dua pusat pemerintahan yang agak menonjol adalah di Kototinggi (Limapuluh Kota) dan Bidar Alam (Solok Selatan).
Dipilihnya Kototinggi sebagai salah satu pusat pemerintahan Sumatera Barat dan PDRI tentu dengan alasan bahwa nagari Koto Tingi dianggap aman dan srategis. Sementara Bidar Alam strategis untuk pertahanan dan tidak begitu jauh dari sumber kebutuhan pangan. Kedua daerah ini berada di pinggiran dan lebih mudah untuk berhubungan keluar.
Pemerintah dan Masyarakat Lima Puluh Kota Memperjuangkan Republik dari Nagari
Selain Yogyakarta dan Bukittinggi beberapa kota kecil di Sumatera juga diserang oleh Belanda, salah satunya adalah Payakumbuh. Beberapa nagari yang dekat dengan kota Payakumbuh diserang dari udara dengan pesawat Catalina sehingga mengakibatkan hancurnya beberapa fasilitas dan mengenai beberapa penduduk.
Seperti yang diungkapkan oleh Bekas Sekretaris Kapupaten Limapuluh, Anwar ZA:
“tembakan dari pesawat udara yang dilancarkan Belanda mengenai 2 (dua) buah bis yang bermuatan penuh: sebuah bis terkena tembakan di Piladang (arah barat kota payakumbuh) dan seluruh penumpangnya korban’ dan satu lagi di Batang Tabit juga mengorbankan seluruh penumpang bis itu. Semua korban itu diangkat ke RSU Payakumbuh dan dibaringkan di kamar jenazah. ....ada yang pontong badannya, pecah kepalanya, putus kaki dan sebagainya.”
Memperhatikan perkembangan kondisi, pada tanggal 20 Desember Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota yang berpusat di Payakumbuh langsung mengadakan koordinasi dan membicarakan mengenai kemungkinan langkah-langkah yang mesti diambil untuk menyelamatkan pemerintahan dan keselamatan masyarakat.
Dua hari setelah itu Pemerintah Darurat Republik Indonesia terbentuk di Halaban. PDRI dan Belanda pun ibarat berkejaran dengan maut. Tak lama setelah anggota petinggi PDRI melewati kota Payakumbuh, maka Belanda pun menguasai penuh kota tersebut.
Kondisi Pemerintahan Lima Puluh Kota tercerai berai, kecuali dikabarkan bahwa Bupati Alifudin Saldin masih berada dalam kota. Sebahagian pegawai terpencar ke Payakumbuh Utara seperti Koto Tinggi dan sebahagian lagi terpencar ke selatan seperti ke arah Situjuh dan sebagainya.
Akibat keterpencaran itu maka sulit bagi Bupati untuk mengkoordinasikan Pemerintahan. Untuk menyelamatkan pemerintahan Gubernur Militer Sumatera Barat di Kototinggi maka diangkat Arisun St Alamsyah sebagai Bupati Militer. Dalam pemerintahan yang baru Arisun mencoba untuk mengorganisasi wilayah kecamatan di Lima Puluh Kota. Namun belum berapa lama memerintah Arisun gugur di Situjuh Batur
Berbeda dengan Bukittinggi, ketika dilancarkan Agresi Militer kedua , Kabupaten Limapulupuh Kota menjadi lebih sibuk. Karena daerah itu menjadi pusat administratif Sumatera Barat dan basis bagi perjuangan PDRI. Sejak dijadikan Kototingggi sebagai salah satu pusat aktivitas PDRI dan Pusat Pemerintahan Sumatera Barat, tak kurang 700 orang pegawai dan pejabat Sumatra Barat beraktivitas di sana.
Konsumsi pegawai itu selama PDRI menjadi lebih ringan karena adanya dukungan dari masyarakat dan di-back up oleh kebijakan Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota.
Pengakuan Rasjid:
“Bukan hanya yang berwujud materi saja yang dikorbankan rakyat kecamatan Gunung Mas. Bahkan jiwa pun ikut mereka korbankan dengan ikut pergi ke front di sekitar Payakumbuh untuk bertempur dengan Belanda. Tidak kuat rasanya saya menuliskan bagimana menanggung beban utang budi dan pengorbanan dari semua rakyat seluruh kecamatan itu. Sampai nyawa bercerai dengan badan tak akan saya dapat melupakan kebaikan hati mereka”.
Seperti yang diungkapkan oleh Bekas Sekretaris Kapupaten Limapuluh, Anwar ZA:
“tembakan dari pesawat udara yang dilancarkan Belanda mengenai 2 (dua) buah bis yang bermuatan penuh: sebuah bis terkena tembakan di Piladang (arah barat kota payakumbuh) dan seluruh penumpangnya korban’ dan satu lagi di Batang Tabit juga mengorbankan seluruh penumpang bis itu. Semua korban itu diangkat ke RSU Payakumbuh dan dibaringkan di kamar jenazah. ....ada yang pontong badannya, pecah kepalanya, putus kaki dan sebagainya.”
Paratrooper Belanda nyangkut di pohon... |
Dua hari setelah itu Pemerintah Darurat Republik Indonesia terbentuk di Halaban. PDRI dan Belanda pun ibarat berkejaran dengan maut. Tak lama setelah anggota petinggi PDRI melewati kota Payakumbuh, maka Belanda pun menguasai penuh kota tersebut.
Kondisi Pemerintahan Lima Puluh Kota tercerai berai, kecuali dikabarkan bahwa Bupati Alifudin Saldin masih berada dalam kota. Sebahagian pegawai terpencar ke Payakumbuh Utara seperti Koto Tinggi dan sebahagian lagi terpencar ke selatan seperti ke arah Situjuh dan sebagainya.
Akibat keterpencaran itu maka sulit bagi Bupati untuk mengkoordinasikan Pemerintahan. Untuk menyelamatkan pemerintahan Gubernur Militer Sumatera Barat di Kototinggi maka diangkat Arisun St Alamsyah sebagai Bupati Militer. Dalam pemerintahan yang baru Arisun mencoba untuk mengorganisasi wilayah kecamatan di Lima Puluh Kota. Namun belum berapa lama memerintah Arisun gugur di Situjuh Batur
Berbeda dengan Bukittinggi, ketika dilancarkan Agresi Militer kedua , Kabupaten Limapulupuh Kota menjadi lebih sibuk. Karena daerah itu menjadi pusat administratif Sumatera Barat dan basis bagi perjuangan PDRI. Sejak dijadikan Kototingggi sebagai salah satu pusat aktivitas PDRI dan Pusat Pemerintahan Sumatera Barat, tak kurang 700 orang pegawai dan pejabat Sumatra Barat beraktivitas di sana.
Konsumsi pegawai itu selama PDRI menjadi lebih ringan karena adanya dukungan dari masyarakat dan di-back up oleh kebijakan Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota.
Pengakuan Rasjid:
“Bukan hanya yang berwujud materi saja yang dikorbankan rakyat kecamatan Gunung Mas. Bahkan jiwa pun ikut mereka korbankan dengan ikut pergi ke front di sekitar Payakumbuh untuk bertempur dengan Belanda. Tidak kuat rasanya saya menuliskan bagimana menanggung beban utang budi dan pengorbanan dari semua rakyat seluruh kecamatan itu. Sampai nyawa bercerai dengan badan tak akan saya dapat melupakan kebaikan hati mereka”.
Sebelum peristiwa Situjuh Batur 15 Januari 1949
Masuk kota Palembang |
Beruntunnya serangan Belanda sejak tanggal 19 Desember tampaknya membuat tidak berdaya tentara, polisi dan barisan perjuangan. Semuanya sudah lari menyelamatkan diri dan keluarga ke nagarai-nagari. Kelemahan itu kelihatan saat terjadinya patroli bermotor Belanda ke Koto Tinggi tanggal 10 Januari 1949. Artinya beberapa instruksi dari Gubernur Militer dan Pemerintahan Kabupaten Lima Puluh Kota tidak terlaksana.
Peristiwa patroli bermotor ke Kototinggi tanggal 10 Januari mendapat perhatian serius dari Gubernur Militer, S.M. Rasjid. Malam setelah patroli Belanda mundur ke Payakumbuh, Rasjid mengundang seluruh elit perjuangan di Kototinggi untuk rapat.
Selain Rasjid, beberapa orang yang ikut rapat malam itu antara lain, Komandan teritorum Sumatera Barat, Letkol. Dahlan Ibrahim, Mayor A Thalib, Ketua MPRD, Chatib Sulaiman, Djuir Muhammad dan Anwar St Saidi. Rapat itu telah memutuskan untuk membentuk koordinasi yang lebih baik baik antara tentara, BPNK dan Wali Perang, perusakan jalan dan mengadakan pertemuan yang lebih luas di Situjuh Batur untuk mengadakan kordinasi . Hal yang juga penting dan diagendakan adalah memecahkan masalah pasukan Batalyon Singa Harau yang pindah ke Payakumbuh.
Peristiwa patroli Belanda tanggal 10 Januari ke Koto Tinggi juga menjadi catatan penting bagi pemerintah Limapuluh Kota. Untuk itu, beberapa strategi yang diinstruksikan oleh Pemerintah Limapuluh Kota sebelum perisitiwa Situjuh Batur pun dikeluarkan.
Intruksi itu antara lain, rumah-rumah yang berada di pinggir jalan jangan dikunci pada siang hari, sebab musuh biasanya lewat pada siang hari, karena itu sebaiknya ada anggota keluarga yang tinggal untuk memata-matai musuh.
Kemudian diharapkan di setiap 500 meter pada jalan-jalan besar diharuskan merebahkan pohon ke jalan untuk merintangi musuh. Kemudian diharuskan membunyikan tontong bila diketahui ada musuh yang masuk nagari. Setiap Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) hendaklah meningkatkan aktivitasnya siang dan malam. Instruksi lain adalah meruntuhkan beberapa jembatan penting di sekitar kota, sehingga Belanda tidak bisa patroli ke luar kota.
Tragedi dan Problematika Perjuangan
Mencari para pejuang (Foto Balrock) |
Namun secara lebih jernih dan luas peristiwa Situjuh mesti ditempatkan di atas krisis yang lebih luas, baik di tingkat pemerintahan PDRI maupun di Lima Puluh Kota. Tidakkah beberapa faktor sebelum peristiwa Situjuh Batur membuka peluang untuk terjadinya tragedi?
Dari arsip-arsip Limapuluh Kota sebelum peristiwa Situjuh Batur, tidak banyak koordinasi yang berarti untuk perjuangan di daerah ini. Terakhir sekali Bupati Arisun hanya memberikan pembagian tugas sebagai ganti dari Susunan Organisasi pemerintahan, seperti bidang Politik, Pertempuran, Keamanan, Propaganda Siasat dan persenjataan. Susunan ini tentu lemah dan tidak effektif untuk perjuangan.
Sementara dalam bidang militer terjadi perselisihan dan salah paham di antara kelompok militer. Kembalinya 2 pasukan Singa harau dari Sawahlunto masuk dalam agenda rapat yang akan dibicarakan di Lurah Kincir, sehingga dua pasukan itu tidak diikutkan dalam mengawal rapat. Pengawalan rapat lebih mengandalkan perusakan jalan. Pada hal rapat yang sangat penting itu dihadiri oleh Ketua MPRD Sumatera Barat.
Di kalangan tentara terjadi gap-gap yang bermuara pada konflik. Ada diantara tentara yang saling bunuh. Sebelum rapat besar di Situjuh Batur, sudah terjadi pertengkaran mengenai tempat rapat antara Syofyan Ibrahim (Kepala Intelijen Divisi IX Sumbar dengan Kamaluddin tambiluak anggota perlengkapan Divisi IX.). Gejala-gejala seperti itu merupakan sinyal tidak kuatnya pertahanan dan keamanan.
Rencana rapat besar di Situjuh Batur sudah tersiar dari mulut ke mulut, baik antara masyarakat maupun antara para pejuang. Isu rapat itu tentu mudah diketahui oleh Belanda yang pendidikan intelijennya jauh lebih baik dari tentara Republik.
Rapat itu seperti disambut dengan begitu semangat, initerlihat dari aktivitas masyarakat meruntuhkan jembatan, menumbangkan pohon dan sebagainya. Aktivitas seperti ini mudah diketahui Belanda, apa lagi sehari sebelum rapat pesawat capung Belanda sudah melintas-lintas di angkasa Situjuh. Ini tentu bahagian dari tanda-tanda yang kurang kondusif. Tetapi rapat terus dilangsungkan, dan diserang oleh Belanda.
Peristiwa Situjuh pada suatu sisi memang merenggut puluhan nyawa, dan melukai banyak orang. Namun Peristiwa Situjuh Batur telah menjadi titik tolak untuk melakukan perjuangan di basis PDRI. Konsolidasi tentara dan pemerintahan dilakukan setelah itu. Tentara yang sebelumnya tidak terkoordinasi kini dipimpin dalam satu Komando Pertempuran Limapuluh Kota, di bawah pimpinan Kapten M. Syafei.
Di bawah koordinator Syafei, Payakumbuh yang dikuasai Belanda diserang pada tangal 3 Januari secara serentak. Serangan itu telah memberikan rasa gembira, meningkatkan kepercayaan di hati rakyat kepada pemerintah dan tentara. Peristiwa penyerangan yang menghancurkan beberap pos Belanda itu cukup memberikan keyakinan bahwa Republik Indonesia masih ada, karena itu kerjasama antara masyarakat dan pemimpin pun dirasakan.
Tiap tahun peringatan Peristiwa Situjuh terus dilakukan, tiap peringatan itu ada saja cerita baru mengenai peristiwa, baik yang dituliskan di media massa maupun dalam kelisanan. Tentu, Kabupaten Limapuluh Kota sebagai salah satu basis Republik, khusunya PDRI menyimpan banyak kenangan. Tetapi sayang pelaku sejarah sebagai penyimpan kenangan itu satu per satu meninggalkan kita. Sayang jika tidak ada rekaman jejak sejarah, atau tepatnya penulisan sejarah yang agak baik mengenai berbagai peristiwa itu. Karena itu penulisan sejarah yang masih belum digali itu akan menjadi penting dan mendesak untuk mengungkapkan sejarah yang utuh. Hanya dengan itu setiap peristiwa bisa diwariskan. Juga akan ironis, bila sejarah hanya dituliskan dengan orientasi “hero” dan sebagai legitimasi dan politis. Jika tidak ada bacaan sejarah yang ditinggalkan maka sejarah itu akan bisu pada generasi berikutnya.***
sumber dan foto diposkan oleh mgzone dan balrock
Tidak ada komentar:
Posting Komentar