Jihad-Defence-Indonesia - Jakarta : Isyarat Karen Brooks, bahwa Arab Spring (Musim Semi Arab) yang melanda Tunisia, Mesir dan lain-lain sesungguhnya belajar dari aksi massa di Indonesia dekade Mei 1998-an (gerakan reformasi) yang mengakibatkan tumbang rezim Orde Baru dari tampuk kekuasaannya. Kajian Brooks di atas, selain sangat informatif juga mutlak dicermati terkait perkembangan situasi kini dan kedepan. Dengan kata lain, apakah “dalang” dan “pemilik hajatan” dari maraknya gerakan massa sekarang ini di beberapa negara juga ada link up dan satu komando? Inilah asumsi yang perlu bangunan.
Contoh lain, mengapa operasi Central Intellegence Agency (CIA), Amerika Serikat (AS) tatkala menggusur Salvador Allende di Chilie (1973) bersandi "Operasi Jakarta"? Apakah sekedar tiruan pola, atau modusnya identik ketika CIA menggusur Bung Karno dekade 1965-an tempo hari? Niscaya ada link up atas kedua peristiwa tersebut kendati secara fisik terpisahkan oleh ruang dan waktu. Buku “Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia” karya Hendrajit dkk sekurang-kurangnya mengurai teka-teki itu. Silahkan disimak sendiri. Retorika nakal pun timbul: jangan-jangan dinamika politik yang kian memanas di Bumi Pertiwi sekarang hendak disamakan pula dengan tata pola Arab Spring di Jalur Sutera?
Teringat statement Alan Weinstein (1991), salah satu pendiri National Endowment for Democracy (NED): “banyak dari apa yang kita (NED) kerjakan, secara diam-diam dilakukan 25 tahun lalu oleh CIA” . Retorika lagi: bukankah Musim Semi Arab, yakni aksi-aksi massa non kekerasan di Jalur Sutera merupakan hasil kerja NED melalui salah satu anak organisasi yang bertitel Central Applied Non Violence Action and Stategic (CANVAS); apakah gerakan NED identik dengan operasi CIA?
Pertanyaan dan beberapa retorika di atas hanya prolog artikel sederhana ini, jadi tidak harus dijawab secara jelas namun sekedar menggiring kerangka asumsi bahwa tidak ada peristiwa (politik) apapun serta dimanapun, terjadi secara kebetulan. Semua pasti ada proses bahkan by design secara konseptual.
Menyikapi geliat politik glamour namun tak bermakna apa-apa bagi kepentingan nasional RI menjelang 2014, diyakini banyak kekuatan luar (asing) turut meremot baik secara langsung maupun tak langsung terhadap dinamika politik di negeri kaya sumberdaya alam (SDA) seperti Indonesia. Konflik lokal adalah bagian dari konflik global. Asumsi jitu, kiranya tak bisa dipungkiri. Politik praktis bukanlah yang tersurat melainkan apa yang tersirat. Ini juga sering terbukti, dan seterusnya.
Pendudukan tentara Kesultanan Sulu di Sabah sebagai misal, bukanlah faktor tunggal berbasis romantisme masa lalu sebagaimana rumor selama ini, bahwa Sultan Sulu ingin Sabah kembali menjadi bagian wilayahnya --- itu hanya dalih yang membonceng dalam isue sengketa perbatasan yang kini bersemi di sekeliling Laut Cina. Akan tetapi penyerbuan Sulu (diduga) atas “undangan” Anwar Ibrahim, sosok oposisi Malaysia yang melayani hegemoni Barat serta terkait Pemilu 2013 di Negeri Jiran. Kenapa demikian, selain Anwar diinstal (dirancang) Wall Street menjadi Head of Malaysia, juga diprakirakan ---merujuk pola dan model kolonialisasi--- bahwa muara atau ujung daripada serbuan pasukan Sulu ke Sabah diduga keras adalah kontrak ulang serta re-negoisasi atas konsesi minyak dan gas di Sabah yang dimonopoli oleh Petronas, “Pertamina”-nya Negeri Jiran. Ingat teori Deep Stoat: “If you would understand world geopolitic today, follow the oil”. Ya, jika ingin memahami geopolitik dunia hari ini, ikuti aliran minyak.
Geopolitik Sabah memang menggiurkan. Free Malaysia Today memberitakan, tahun 2011 ia memiliki cadangan minyak 1,5 miliar barrel, sedangkan cadangan gas alam tercatat 11 triliun kubik. Telah diketemukan beberapa sumber minyak dan gas (migas) baru di Sabah diramalkan kian menambah tinggi cadangan migas Malaysia. Kekayaan SDA-nya dikelola Petronas, perusahaan minyak yang berdiri tahun 1974 dan dimiliki oleh pemerintah federal. Dalam sebuah perjanjian yang ditanda tangani tahun 1975, ia menerima royalti sebesar 5% dari nilai kotor produksi minyak. Di tahun 2011 saja, Petronas meraup keuntungan atas penjualan minyak Sabah senilai RM 15 miliar atau sekitar Rp 47 triliun. Luar biasa!
Lain Deep Stoat, beda pula Global Future Institute (GFI), lembaga kajian masalah-masalah internasional, Jakarta pimpinan Hendrajit awal 2013 membangun asumsi (teori yang dianggap benar) setelah menyimak, mencermati, mengkaji dan menimbang berbagai konflik di banyak belahan dunia, yakni:
“bahwa mapping konflik dari kolonialisasi yang dikembangkan Barat, hampir dipastikan segaris/satu route bahkan pararel dengan jalur-jalur SDA terutama bagi wilayah (negara) yang memiliki potensi besar atas minyak, emas dan gas alam”.
Asumsi GFI jelas tersirat makna, apakah konflik-konflik yang terjadi di “jalur basah” sengaja dibuat oleh para adidaya terkait kepentingan geopolitik selaras kajian Deep Stoat, memang tergantung seberapa tajam pisau dan sejauhmana analisa insight(menyelam) dalam rangka mencermati konflik di permukaan. Lihatlah ethnic cleansing di Rohingya, atau konflik antar suku di Lampung Selatan, cermati konflik aliran dalam agama di Sampang, Madura, dll kenapa dipicu oleh modus-modus sama yaitu pelecehan seksual serta berujung relokasi penduduk (‘terusir’) yang hidup di atasnya. Sejauh ini, adakah kajian menyelam hingga bawah permukaan? Lagi - lagi pertanyaan ini harus dikubur dalam-dalam.
Dalam diskusi terbatas (22/3/2013) di Forum KENARI (Kepentingan Nasional RI) yang dimentori Dirgo D Purbo, pakar geopolitik dan dosen di berbagai perguruan tinggi Indonesia, terkuak pointers bahwa Sabah – Philipina -- Kalimantan Utara (Kaltara) disebut Hot Triangel dan diplot sebagai daerah yang memiliki potensi minyak dan gas alam 'seabrek-abrek' (banyak sekali). Dan tampaknya Ambalat masuk pada plot tersebut. Layak diwaspadai dikemudian hari adalah, selain ancaman Malaysia terhadap Ambalat semata-mata karena what lies beneath the surface (apa yang terkandung di bawah permukaan) pulau dimaksud, juga adanya hipotesa bahwa pemekaran Kaltara ialah langkah permulaan dari modus kolonialisasi memindah konflik Moro, atau konflik Sabah ke Kaltara. Siapa dulu mengawali konflik di Moro? Malaysia pun mengakhiri.
Ingat pola kolonialisme baik asimetris (non militer) maupun simetris (militer) yang sering dimainkan oleh Barat. Urut-urutannya, pasca ditebar isue aktual bakal timbul tema, baru setelah itu skema kolonial muncul belakangan. Dan lazimnya skema kolonialisasi dimanapun ujungnya adalah: "penguasaan pilar ekonomi dan pencaplokan SDA". Perang Irak (2003) misalnya, setelah ditebar isue senjata pemusnah massal, dilanjut dengan tema “invasi militer” oleh Paman Sam dan sekutu, sedang skema yang terlihat adalah kapling-kapling SDA oleh negara yang terlibat invasi militer ke Negeri 1001 Malam. Ini pola simetris. Sedangkan model asimetris biasanya lebih soft lagi halus. Misal disebar dahulu isue flu burung di sebuah wilayah (negara), maka tema yang akan dimunculkan daging mahal atau daging langka, kemudian skema yang ditancapkan ialah jerat impor bagi negara target.
Contoh paling populer barangkali Arab Spring di Jalur Sutera. Tatkala Wikileaks dulu sukses menyebar isue terkait kemiskinan, korupsi, pemimpin tirani, dan lainnya maka tema yang diangkat adalah gerakan massa non kekerasan menentang rezim berkuasa, sedang skemanya adalah tata ulang elit dimana aksi massa mampu membuat lengser Ben Ali di Tunisia, Abdullah di Yaman dan Mobarak di Mesir. Pola inilah yang menurut Brooks, meniru gerakan reformasi di Indonesia dekade Mei 1998.
Konteks dinaikkan sebentar untuk mengantar topik. Ya, bahwa adanya “arus kecil” atau semacam isue bertitel sengketa perbatasan yang kini berserak di Laut Cina Selatan, bukanlah faktor tunggal yang tiba-tiba, namun semata-mata karena dorongan “arus besar” yang berupa geopolitical shift atau pergeseran geopolitik global dari Jalur Sutera (Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara) berpindah ke Laut Cina Selatan pada umumnya dan Asia Tenggara khususnya. GFI mengendus bahwa “arus besar” itu berupa:
1. Selain AS tengah berproses membangun sistem pertahanan rudal di Asia guna melawan manuver Korea Utara dan Cina tentunya, ia juga menyatakan memperluas militernya di Asia Tenggara dan Samudera Hindia, termasuk peningkatan kerja sama dengan Australia dan penempatan kapal-kapal perang di Singapura, Philipina dll. Dan sungguh mengejutkan ialah pergeseran 60% armada tempurnya ke Asia Pasifik;
2. Paman Sam mendukung pembentukan ASEAN Security Community pada 2015, dan terkait dengan isue Laut China Selatan, dan melalui Menhan Leon Panetta, menganjurkan agar ASEAN melakukan “tindakan seragam” sekaligus menyusun kerangka aksi yang memiliki kekuatan hukum;
3. Kompleksitas pertikaian wilayah di Laut China Selatan, disinyalir bukan sebatas klaim kepemilikan pulau-pulau, melainkan ada “persoalan lain”, artinya selain diantaranya hak berdaulat atas Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), penggunaan teknologi baru terkait exploitasi dan explorasi minyak dan gas bumi oleh negara tertentu, yang utama sejatinya faktor geostrategy possition dan potensi SDA pulau-pulau yang disengketakan;
4. Ketegangan antara negara-negara di kawasan tersebut secara politis cenderung meningkat karena miskinnya win-win solution. Urgensi geografis Laut China Selatan yang cukup vital dalam pergeseran geopolitik global, memungkinkan terus terkendalanya upaya penyelesaian sengketa, bahkan diduga keras bahwa isu konflik teritorial itu akan menjadi trigger dalam benturan militer secara terbuka, dan lain-lain.
Sekilas telah diulas di atas, bahwa pola kolonialisme dimanapun, senantiasa menempatkan isue-isue sebagai langkah awal memasuki daerah sasaran, baru kemudian disusul tema gerakan dan skema sebagai tujuan pokok. Ketika isue yang ditebar ialah sengketa perbatasan, maka boleh ditebak bahwa tema-tema yang bakal diangkat niscaya KONFLIK PERBATASAN, baik intrastate (konflik internal negeri) maupun bersifat interstate (antar negara) dan lainnya. Dalam konteks ini, penyerbuan Sulu ke Sabah merupakan pagelaran perdana di tahun 2013 dalam kerangka “tema” kolonialisme. Artinya silahkan tunggu kelanjutan SKEMA yang hendak dimainkan di Sabah: “Kontrak ulang konsesi minyak di Sabah, atau konflik interstate antara Malaysia versus Philipina?”.
Melihat perkembangan konstalasi politik baik tingkat nasional, regional dan global yang semakin memanas, maka terkait isue yang berkembang di kawasan hendaknya para elit politik, pengambil kebijakan dan segenap tumpah darah Indonesia mewaspadai isue-isue di perbatasan terutama wilayah “konflik” dan/atau “rawan konflik”, atau daerah-daerah yang belum selesai proses kebangsaannya pasca gejolak politik di masa lalu.
Skenario Papua pun sebenarnya bisa ditebak, artinya ketika isue yang ditebar ialah kemiskinan, atau pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh aparat, dll maka menjadi keniscayaan bahwa tema yang diangkat ialah: "Hadirnya pasukan asing ke Papua, atau referendum?". Tinggal pilih. Demikian pula Aceh pasca perjanjian Helsinki, kini mulai ditabur “isue bendera” yang tidak sesuai nafas kebangsaan. Tengok nanti temanya apa. Demikian juga Kaltara, Ambalat, dll yang masuk lingkup Hot Triangel karena potensi minyak yang luar biasa, mutlak harus diwaspadai.
Pada akhirnya, bangsa ini membutuhkan bukan sekedar political will tetapi political action dalam rangka melakukan kontra isue maupun kontra tema secara konseptual baik simetris maupun asimetris sejak kolonialisasi muncul di tataran hilir. Para elit dan pengambil kebijakan jangan malah larut dalam lingkaran isue dan tema yang dimainkan oleh pihak luar, sementara SKEMA kolonialisme yang berupa penguasaan ekonomi dan pencaplokan berbagai SDA oleh asing justru kian mengakar namun tidak ada gugatan sama sekali oleh anak segenap bangsa, karena elitnya sibuk di koridor (hilir) isue-isue dan tema.
Sumber : KLIK DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar