Jihad-Defence-Indonesia - Bulan April 2011 lalu, Satuan Kapal Patroli (Satrol) TNI AL mendapat penambahan armada kapal baru, yakni 2 unit kapal dari AL Kerajaan Brunei yang langsung dihibahkan ke TNI AL. Dua kapal tersebut adalah KRI Salawaku 642 (eks KDB Waspada) dan KRI Badau 643 (eks KDB Pejuang). Penambahan 2 kapal perang ini seolah menjadi ‘angin’ segar bagi armada patroli TNI AL Armada Timur. Maklum saja, KRI Badau kodratnya adalah Guide Missile Patrol Craft, atau di lingkungan TNI AL disebut sebagai KCR (Kapal Cepat Rudal).
Kedua kapal dibuat oleh galangan Vosper Thornycroft, dan desain senjatanya mengandalkan 2 peluncur rudal anti kapal MM-38 Exocet, kanon 30mm Oerlikon CGM-B01, dan dua pucuk senapan mesin kaliber 7,62mm. Berkat adanya rudal, kapal ini lumayan bisa memberi efek getar secara terbatas. Tapi sayangnya dalam program hibah ini Exocet sudah dipreteli oleh pihak Brunei, maka itu yang sejatinya KRI Badau dan KRI Salawaku bisa masuk ke armada KCR, terpaksa harus ‘turun peringkat’ ke armada Satrol.
Meski demikian, daya pikat kedua kapal eks AL Brunei ini tetap tinggi. Pasalnya inilah pertama kali Oerlikon 30mm twin cannon (laras ganda) hadir di etalase kapal perang RI. Kanon ini dirancang untuk membabat target di udara dan permukaan laut, dan terbilang sudah punya reputasi tempur yang cukup baik pada perang Malvinas (Falkland) di tahun 1982. Kanon ini merupakan hasil rancangan Oerlikon dan and BMARC (British Manufacture and Research Company. Dalam kerjasamanya, Oerlikon mensuplai teknologi kanon laras ganda 30mm, sedangkan BMARC merancang sistem gyro stabilized dan power pada mounting.
Basis pengembangan sistem laras mengacu pada terobosan Hipano Suiza di akhir tahun 50-an, terutama setelah pabrikan senjata asal Swiss ini berhasil meng-upgrade kanon HS820 20mm menjadi kaliber 30mm untuk anti serangan udara. Kemudian di tahun 1966, BMARC menggandeng Hispano Suiza untuk menggarap bisnis senjata untuk armada kapal perang, dan dimulailah kiprah kanon pertamanya, yakni HS 831 yang prototipe-nya rampung pada 1968. Dari yang awalnya kanon berlaras ganda, untuk memenuhi kebutuhan AL maka dikembangkanlah menjadi sosok Oerlikon 30mm berlaras ganda.
Sejak tahun 70-an, AL Inggris (Royal Navy) banyak menempatkan Oerlikon 30mm Twin Cannon pada armada frigat, destroyer, dan kapal cepat. Pembuktian tempurnya sudah dilakukan pada konflik Malvinas, salah satunya kanon ini dipercaya sebagai perisai pertahanan udara pada HMS Bristol. Adopsi kanon ini pada jenis kapal cepat pertama kali diadopsi oleh FAC (Fast Attact Craft) kelas Mamba milik AL Kenya pada tahun 1974. Ada beberapa versi yang dikembangkan dari kanon laras ganda ini, mulai dari CGM-A01, CGM-A03-2, CGM-A02, CGM-A03-1, dan CGM-A03-3. Versi CGM-A03-2 sudah lebih maju, dimana kendali kanon bisa dilakukan secara manual dan remote. Jenis A03-2 pertama kali diadopsi oleh HMS Broadsword pada Mei 1979.
Lalu bagaimana dengan performa kanon ini? Untuk jarak tembak maksimum pada target permukaan mencapai 10.000 meter, dan untuk jarak tembak maksimum pada target udara mencapai 2.750 meter. Kecepatan luncur proyektil dari ujung laras adalah 1.080 meter per detik, dimana secara teori kanon ini dapat memuntahkan 1.300 proyektil per menitnya. Dengan kemampuan serta daya gempurnya yang dahsyat, Oerlikon 30mm ini dipandang handal sebagai elemen senjata anti serangan udara. Bila dioperasikan secara manual, terdapat kompartemen juru tembak yang terletak pada sisi kanan. Untuk pengendalian tembakan, juru tembak sudah dibekali gyro stabilized guna memudahkan penembakkan pada medan laut yang bergelombang.
Untuk menggerakkan/memutar posisi kanon tentunya tidak menggunakan sistem engkol ala Triple Gun, melainkan sudah didukung oleh power driven. Selain bisa digerakkan secara manual, kanon ini juga dapat dikendalikan secara remote control dari sisi anjungan. Sudut elevasi kedua laras yakni -15 sampai 80 derajat, dimana pergerakan laras mencapai 50-75 derajat per detik. Dari performanya layak bila kanon ini menyandang gelar reaksi cepat.
Khusus Oerlikon 30mm yang ada di KRI Badau dan KRI Salawaku performanya tidak optimal, sebab sistem penembakkan tidak dikoneksikan ke radar. Jadi saat ini kanon hanya dapat ditembakkan secara manual dan semi manual (remote) dari anjungan. Seperti halnya rudal Exocet, sistem radar pengendali tembakan juga sudah dilepas oleh Brunei sebelum diserahkan ke Indonesia.
Seperti disebutkan sebelumnya, laras kanon ini bisa menembakkan 1.300 proyektil per menit, tapi untuk kapasitas magasin sayangnya tidak bisa tersedia sebanyak itu. Jumlah amunisi yang terpasang bervariasi, semisal tipe A03-2 bisa membawa 250 peluru sekali angkut, sedangkan A03-3 bisa membawa sampai 320 peluru. Bila amunisi di magasin habis, bisa dilakukan pengisian ulang secara manual.
Seiring perkembangan dan kebutuhan, di lingkungan AL Inggris kiprah Oerlikon 30mm twin cannon mulai digantikan oleh teknologi Close in Weapon System (CWIS), dalam hal ini Inggris mengadopsi Phalanx kaliber 20mm dan Goalkeeper kaliber 30mm pada akhir tahun 80-an. Dengan konsep gatling gun, 6 laras pada Phalanx dapat memuntahkan proyetil hingga 4.500 per menit, tidak cuma pesawat tempur, laju rudal anti kapal pun bisa di eliminir oleh Phalanx.
Sumber Bacaan : KLIK DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar