Kapal Cepat Rudal (KCR) KRI Klewang bernomor lambung 625, meluncur di Selat Bali, Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (31/8). KRI Klewang tersebut mempunyai panjang 63 meter, berbahan dasar vinylester carbon fiber (infused), menggunakan teknologi maju di bidang pembuatan kapal perang antara lain kemampuan tidak terdeteksi oleh radar, tidak mengandung unsur magnet, serta tingkat deteksi panas dan suara yang rendah. (Foto: ANTARA/Seno S./ss/mes/12)
1 Oktober 2012,
1 Oktober 2012,
Jihad-Defence-Inddonesia - Surabaya: Para pakar perkapalan dan kelautan ITS Surabaya menilai terbakarnya KRI Klewang (28/9) akibat kurang didukung dengan uji sistem dan prosedur baku secara laboratoris, karena itu ITS siap membantu kelanjutan program itu.
"Kami memiliki tim konsorsium kapal perang yang bekerja sama dengan Kemhan sejak 2012 dan tim investigasi yang mendapat sertifikasi KNKT," kata pakar transportasi laut ITS Dr RO Saut Gurning ST MSc di Surabaya, Senin.
Dalam diskusi pakar di Rektorat ITS Surabaya itu, ia menjelaskan pihaknya siap membantu untuk melakukan uji sistem kapal dan prosedur baku secara laboratoris serta juga desain kapal ke depan untuk kelanjutan program itu.
"Ke depan, program itu harus dilanjutkan, tapi jangan semata-mata program, melainkan program itu harus berdampak pada dua hal yakni peningkatan kemampuan teknologi bangsa dan penguatan industri perkapalan di sektor hulu," katanya.
Senada dengan itu, anggota Konsorsium Kapal Perang ITS Dr Subchan menegaskan bahwa terbakarnya KRI Klewang hendaknya tidak membuat pemerintah dan TNI menjadi patah arang.
"Yang namanya tahap awal itu selalu ada kecelakaan, karena itu program itu harus terus dilanjutkan, apalagi teknologi yang dimiliki KRI Klewang itu hanya dimiliki 3-4 negara," katanya.
Namun, katanya, terbakarnya KRI Klewang itu harus memberi pelajaran berharga yakni pentingnya "SOP" sejak dari tahap desain, pemilihan material, pengerjaan, hingga uji coba kapal itu.
"Saya yakin prosedur mungkin sudah benar, tapi prosedur yang dilakukan itu kurang didukung uji laboratoris secara memadai, sehingga ada tahapan atau bagian yang tak sesuai standar," katanya.
Hal itu dibenarkan ahli permesinan kapal ITS Ir Surjo Widodo Adji MSc FIMarEST yang juga praktisi galangan kapal. "Kapal non-sipil memang memiliki tingkat kerahasiaan tertentu, tapi saya kira proses pengerjaannya harus sesuai `SOP`," katanya.
Ia mencontohkan bahan komposit karbon pada KRI Klewang yang memiliki keunggulan tidak terdeteksi oleh radar musuh itu memang "flammable" (mudah terbakar), tapi kalau proses pembuatannya sesuai "rules" maka tidak mungkin api akan cepat menjalar hingga ludes dalam waktu kurang dari dua jam.
Pandangan senada diungkapkan Ketua Pusat Studi Kelautan ITS Aries Sulisetyono ST MA Sc PhD. "Belum ada kebakaran kapal secepat itu, karena sebelumnya memang rasanya tidak mungkin badan kapal bisa terbakar begitu cepat," katanya.
Oleh karena itu, katanya, seharusnya dipastikan bahwa pemilihan material sudah sesuai "rules" dan diuji sebelumnya. "Kalau diminta, kami dari ITS siap melakukan uji material dan kelaikan, karena kami memiliki laboratorium untuk itu," katanya.
Tidak hanya itu, peneliti Laboratorium Kehandalan dan Keselamatan Kapal ITS Dr Trika Pitana menilai kebakaran yang terjadi juga menunjukkan tidak adanya koneksi antarkabel dari darat ke galangan dan dari galangan ke kapal.
"Koneksi air dari galangan ke kapal juga tidak cepat, karena itu SOP untuk perencanaan keselamatan dalam pengerjaan kapal itu tidak jalan," katanya, didampingi ahli keselamatan dan kebakaran ITS, Ir Alam Baheramsyah MSc FIMarEST.
"Kami memiliki tim konsorsium kapal perang yang bekerja sama dengan Kemhan sejak 2012 dan tim investigasi yang mendapat sertifikasi KNKT," kata pakar transportasi laut ITS Dr RO Saut Gurning ST MSc di Surabaya, Senin.
Dalam diskusi pakar di Rektorat ITS Surabaya itu, ia menjelaskan pihaknya siap membantu untuk melakukan uji sistem kapal dan prosedur baku secara laboratoris serta juga desain kapal ke depan untuk kelanjutan program itu.
"Ke depan, program itu harus dilanjutkan, tapi jangan semata-mata program, melainkan program itu harus berdampak pada dua hal yakni peningkatan kemampuan teknologi bangsa dan penguatan industri perkapalan di sektor hulu," katanya.
Senada dengan itu, anggota Konsorsium Kapal Perang ITS Dr Subchan menegaskan bahwa terbakarnya KRI Klewang hendaknya tidak membuat pemerintah dan TNI menjadi patah arang.
"Yang namanya tahap awal itu selalu ada kecelakaan, karena itu program itu harus terus dilanjutkan, apalagi teknologi yang dimiliki KRI Klewang itu hanya dimiliki 3-4 negara," katanya.
Namun, katanya, terbakarnya KRI Klewang itu harus memberi pelajaran berharga yakni pentingnya "SOP" sejak dari tahap desain, pemilihan material, pengerjaan, hingga uji coba kapal itu.
"Saya yakin prosedur mungkin sudah benar, tapi prosedur yang dilakukan itu kurang didukung uji laboratoris secara memadai, sehingga ada tahapan atau bagian yang tak sesuai standar," katanya.
Hal itu dibenarkan ahli permesinan kapal ITS Ir Surjo Widodo Adji MSc FIMarEST yang juga praktisi galangan kapal. "Kapal non-sipil memang memiliki tingkat kerahasiaan tertentu, tapi saya kira proses pengerjaannya harus sesuai `SOP`," katanya.
Ia mencontohkan bahan komposit karbon pada KRI Klewang yang memiliki keunggulan tidak terdeteksi oleh radar musuh itu memang "flammable" (mudah terbakar), tapi kalau proses pembuatannya sesuai "rules" maka tidak mungkin api akan cepat menjalar hingga ludes dalam waktu kurang dari dua jam.
Pandangan senada diungkapkan Ketua Pusat Studi Kelautan ITS Aries Sulisetyono ST MA Sc PhD. "Belum ada kebakaran kapal secepat itu, karena sebelumnya memang rasanya tidak mungkin badan kapal bisa terbakar begitu cepat," katanya.
Oleh karena itu, katanya, seharusnya dipastikan bahwa pemilihan material sudah sesuai "rules" dan diuji sebelumnya. "Kalau diminta, kami dari ITS siap melakukan uji material dan kelaikan, karena kami memiliki laboratorium untuk itu," katanya.
Tidak hanya itu, peneliti Laboratorium Kehandalan dan Keselamatan Kapal ITS Dr Trika Pitana menilai kebakaran yang terjadi juga menunjukkan tidak adanya koneksi antarkabel dari darat ke galangan dan dari galangan ke kapal.
"Koneksi air dari galangan ke kapal juga tidak cepat, karena itu SOP untuk perencanaan keselamatan dalam pengerjaan kapal itu tidak jalan," katanya, didampingi ahli keselamatan dan kebakaran ITS, Ir Alam Baheramsyah MSc FIMarEST.
Sumber : KLIK DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar