Selasa, 06 November 2012

WAWANCARA DENGAN CONNIE R. BAKRIE SOAL PERTAHANAN (BAGIAN 1)

Sipil tidak komitmen terhadap profesionalisme militer

Jihad-Defence-Indonesia - JAKARTA : Meski masih berbentuk rancangan, beleid soal keamanan nasional sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat sudah menuai protes. Banyak kalangan khawatir militer bakal kembali ke dalam kehidupan politik dan warga sipil. 

Menurut Connie Rahakundini Bakrie, analis pertahanan keamanan dari Institute for Defense and Security Studies, undang-undang itu nantinya tidak hanya berfokus pada keamanan, tapi juga mengenai sistem pertahanan nasional. 

Dia menepis kecemasan pelbagai pihak jika Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional jika disahkan. Berikut penuturannya kepada Islahuddin dari merdeka.com saat ditemui di sebuah kafe di Mal Pondok Indah 2, Jakarta Selatan, Kamis (1/11) siang. 

Sejauh mana pentingnya Undang-undang Keamanan Nasional untuk Indonesia saat ini?


Kalau pertanyaan untuk saat ini, itu salah, harusnya dari kemarin. Kita menjadi satu-satunya negara di dunia tanpa memiliki sebuah undang-undang pertahanan. Kalau saya menyebut Undang-undang Pertahanan Keamanan Nasional.

Kenapa saya bilang begitu, karena saat reformasi 1998 dengan memisahkan polisi dan tentara. Kita dengan sengaja atau tidak memilah antara pertahanan dan keamanan. Padahal dalam konteks bahasa internasional, keamanan mencakup pertahanan. Kita harus konsekuen, kalau bicara undang-undang pertahanan keamanan nasional harus dirumuskan ulang namanya.

Namanya harus Undang-undang Pertahanan Keamanan Nasional, kenapa ini perlu? Ini untuk mengantisipasi segala bentuk ancaman, baik geologi, geografi, demografi, perdagangan tradisional, malah bahkan perdagangan transnasional yang terkait politik, sosial, hukum, keamanan, budaya dan lainnya.

Jadi tanpa undang-undang itu, negara kita berjalan tanpa peta, tanpa navigasi jelas. Pertanyaan kemudian sekarang ini menjadi isu politik. Saya baca kemarin di sebuah media, dipaparkan dalam dua halaman penuh, undang-undang keamanan itu dianggap digunakan oleh beberapa orang atau untuk kepentingan segelintir orang. Pertanyaannya begini, kalau kita melihat pada 23 Oktober lalu di DPR, sebenarnya siapa paling protes? Kontras, Imparsial, Komnas HAM. Sekarang saya tanya balik apa kekhawatirannya?

Misalnya, tentara akan kembali ke politik seperti pada zaman Orde Baru?

Hari ini, pengertian mengembalikan tentara ke barak itu adalah membuat TNI menjadi profesional. Sekarang jangan lihat Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Profesionalnya Angkatan Darat Laut, dan Udara itu ada di mana coba? Udara dan laut setidaknya mampu melindungi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) keluar. Itu profesionalisme militer yang benar.

Itu berarti 200 mil laut. Artinya profesionalisme udara dan laut harus bisa menghadapi ancaman memasuki area itu. (Kemudian dia mengilustrasikan zona itu dalam kertas sambil mencoret-coret dengan tangan kirinya dan menjelasan tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE 200 mil laut). Jangankan memenuhi profesionalisme itu, sipil kita sendiri tidak memenuhi undang-undang mereka buat.

Apa contohnya?

Apakah sekarang Angkatan Laut dan Angkatan Udara kita bisa tersebar dan menyebar ke seluruh Indonesia sepanjang wilayah ZEE itu? Tidak. Apakah sipil mampu membelikan berapa banyak kapal cepat. Saya baru bicara kapal cepat saja ini, belum kapal perang, pesawat tempur, radar sesuai untuk melindungi 5,2 juta kilometer. Itu pekerjaan rumahnya sipil. Sekarang saya balik, hitungan hari ini, anggaran belanja tentara mulai kemarin Rp 7,7 triliun untuk 2012/2013. Anggaran ini tidak ada artinya dibandingkan anggaran untuk pemilihan umum.

Anda tahu tahu berapa dana untuk pemilu? Dalam lima tahun itu Rp 35 triliun, dalam setahun sekitar Rp 7 triliun. Pertanyaannya saya balik, apakah itu melalui komisi untuk mengeluarkan dana pemilu? Tidak. Terus melalui apa? Pertanyaannya, sipil kita tidak memenuhi komitmen mereka sendiri terhadap profesionalisme militer.

Jadi sekarang saya balik pertanyaannya, kalau Komisi Nasional Hak Asasi bilang undang-undang ini berpeluang melanggar hak asasi, HAM yang mana? Saya manusia bukan? Kalau saya dianggap manusia kenapa hak saya dilanggar, kenapa uang negara bisa keluar sampai Rp 35 triliun untuk menghasilkan para koruptor, bupati dan segala macamnya. Ingat, 60 persen bupati kita itu statusnya koruptor atau berkasus, tapi tidak membangun TNI dengan Rp 7 triliun per tahun.

Kenapa pemerintah tidak menjelaskan tujuan RUU Kamnas itu seperti Anda jelaskan tadi?

Pemerintah dalam hal ini berfungsi sebagai apa dulu. Lembaga Swadaya Masyarakat Imparsial, Kontras uangnya dari mana coba? Jadi kita meski lihat, ini akan dilemahkan terus. Tanpa undang-undang ini, negara ini seperti tanpa navigasi tadi, tanpa punya peta terbang. Itu baru dari hak asasi manusia.

Kita bicara apa saja kekhawatiran lainnya, karena kekhawatiran itulah yang bikin selama ini macet. Selain HAM, polisi khawatir undang-undang ini akan mengurangi fungsi mereka. Iya, memang harus dikurangi. Polisi kita hari ini sudah kebanyakan tugas, sudah ngaco tugasnya.

Saya balik lagi, dengan kita memecah tugas pertahanan dan keamanan. Kalau kita sederhanakan, TNI pengamanan ke luar dan polisi pengamanan ke dalam. Sekarang saya tanya, apakah ini berarti dalam ZEE yang 200 mil laut, saya melihat itu bagian dalam kedaulatan kita. Jadi sekarang, polisi apa harus bangun sampai punya segala macam sampai kapal cepat, sementara Angkatan Laut tidak punya. Polisi punya Datasemen Khusus 88 yang canggih, TNI punya Komando Cadangan Strategis (Kostrad) yang senjatanya di bawah Densus 88.

Terus seperti apa Anda melihat perjalanan rancangan undang-undang ini? 


Saya melihat begini, siapa pun menganggap undang-undang ini tidak perlu, dalam rangka melemahkan negara. Bayangkan, kita sekarang menjadi negara tidak normal. Satu-satunya negara tanpa undang-undang pertahanan keamanan nasional. Sekali lagi namanya harus undang-undang pertahanan keamanan nasional.

Undang-undang TNI kita turunannya Undang-undang nomor 22. Induknya saja sudah salah, menurut saya. Semua itu lahir dari konsep 1998 sampai saat ini. Sekarang pertanyaannya, undang-undangnya dianggap bertabrakan dengan undang-undang lain. Apakah kita harus berpacu pada undang-undang sudah keluar tetapi tidak sesuai Undang-undang Pertahanan Keamanan atau kita balik, Undang-undang Pertahanan Keamanan harusnya membetulkan undang-undang dianggap salah.

Kalau sekarang bertentangan dengan undang-undang lama barang kali yang salah adalah undang-undang lama. Saya mau kita balik ke undang-undang dasar 1945 dulu.

Anda tahu kejadian di Lampung kemarin. Itu kan gila, ini juga bagian dari pertahan keamanan. Mengeluarkan undang-undang otonomi daerah, lalu mendorong dengan cepat dalam 1,5 tahun setelah otonomi daerah terjadi. Ditambah ide gila undang-undang tentang putra daerah. Itu melahirkan kebhinekaan kita yang dibangun oleh Soekarno pecah langsung berantakan. Anda bayangin saja, kejadian orang Bali dibunuh di Lampung, bupati malah ke mana? Saya bantu cari bupatinya sekarang, dia lagi di Jatinangor. Bukannya di tempat, eh malah keluar. Mau saya lempar itu orang. Akhirnya menghasilkan putra daerah karbitan, saya tidak mereka bilang jelek, mereka punya gelar macam-macam dan itu terjadi.

Selain itu, undang-undang itu (Undang-undang nomor 22 tentang Otonomi Daerah) melahirkan kroni, kerajaan-kerajaan kecil, kita lihat Banten, kalau kita urut dari bupati sampai gubernur bersaudara semua. Jadi saya bilang, ini kita berurusan dengan hal-hal seperti ini. Belum lagi dengan undang-undang provinsi kepulauan.

Kita negara kepulauan disatukan oleh Dekalarasi Juanda, kemudian menerapkan United Nations Convention On The Law of The Sea (UNCLOS). Dengan menerapkan undang-undang provinsi kepulauan, kita itu negara dalam negara. Saya contohkan, saya ke Belitung, gubernurnya bilang, “Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah luas lautnya sekian, kemudian batas pulau terluar Pulau A dan Pulau B, sampai seterusnya.” Kemudian dia turun panggung, datang bupati Bangka, dia bilang Kabupaten Bangka seluas sekian, dengan pulau terluar pulau ini dan itu. Saya bilang ini gila, ini kacau-balau dipecah-pecah. Nah undang-undang pertahanan dan keamanan harus meluruskan ini semua.

Ada kekhawatiran saya ingat dengan adanya undang-undang ini. Presiden sejak BJ Habibie, sudah bisa dipecat sebenarnya tanpa harus demontrasi atau lainnya. Dengan hanya satu pasal saja, yakni tidak melakukan perintah undang-undang mendirikan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional. Itu undang-undang terhadap presiden. Jadi sekarang, kalau malah terbalik berpikirnya, dengan adanya Dewan Pertahanan Keamanan Nasional dianggap membahayakan negara. Kalau saya jadi presiden akan ngomong, “Tanpa itu gue bisa turun.”

Selanjutnya, kenapa tidak terjadi sinergitas antar departemen atau kementerian. Coba kita jujur, laut diurus oleh berapa departemen? Ada 13 departemen. Jadi kita tidak usah diserang orang, antara Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), TNI, Polri, Badan Koordinasi Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakorkamla), apapun namanya itu akan berkelahi duluan. Jadi, sebenarnya kuncinya ada pada Dewan Pertahanan Keamanan Nasional.

Analoginya seperti ini. Buku putih pertahanan itu turun kepada TNI, terus turun ke Mabes, terus turun ke operasional. Buku putih pertahanan itu dari mana? Buku itu harus lahir dari Presiden bersama Dewan Pertahanan Keamanan Nasional. Nah, itu diramaikan dalam undang undang-undang ini. Terus jangankan nama, intinya saja tidak mengerti. Kalau presiden tanpa ini, bagaimana mengkoordinir semua itu. Karena dalam Dewan Pertahanan Keamanan Nasional itulah sebenarnya terjadi, ada Kementerian Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri saling bersinergi.

Hari ini, titik pandang Marty Natalegawa terhadap kebijakan pertahanan tentunya ada. Luar negeri ini sangat erat, demikian juga dengan kebijakan Kementerian Pertahanan tidak sinkron dengan Kementerian Luar Negeri. Padahal kalau melihat di negara mana pun, Amerika Serikat, Inggris, atau tidak usah jauh-jauh, Malaysia, Singapura, dan Australia itu dalam Dewan Pertahanan Keamanan Nasional mereka ada sinkronisasi dalam dua bagian itu. Jadi sekarang saya menganggap buku pertahanan kita sekarang ini turunnya dari langit karena dikeluarkan Kementerian Pertahanan.

Biodata

Nama: Connie Rahakundini Bakrie

Pekerjaan:


Pengajar Ilmu Politik, di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia

Direktur Eksekutif Institute for Defense and Security Studies

Pendidikan:

S-1, S-2, dan kandidat Doktor, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia

Executive Course di Asia Pacific Security Studies (APCSS), Honolulu Hawaii, Amerika Serikat (2008 -2009)

International Humanitarian Law Advances Proffesional Training, di Universitas Harvard (2009)

Peneliti tamu di INSS (Institute of National Security Studies), Tel Aviv, Israel (2009-sekarang)

CCSD Chevening Fellow, Universitas Birmingham, Inggris (January-April 2010)

Anggota Sea Lanes of Communication and Choke Poinst (Sloc)- (Sejak 2010)

Fu Shing Kang War Academy, NDC 106, R.O.C (Maret-April 2011)

The Future Leaders Programme Batch III IDEAS , MIT Cambridge, Amerika Serikat (2011- 2012)

WAWANCARA DENGAN CONNIE R. BAKRIE SOAL PERTAHANAN (BAGIAN 2)

Israel contoh paling bagus soal sistem pertahanan negara


Jihad-Defence-Indonesia - JAKARTA : Dalam salah satu pasal Rancangan Undang-undang Keamanan nasional menyebutkan akan adanya pasal tentang wajib militer bagi warga negara Indonesia. Beleid itu jelas menuai protes dan kecaman dari berbagai pihak. Salah satu alasan kecaman terehadap wajib militer adalah sebagai militerisasi terhadap sipil.

Connie Rahakundini Bakrie, pengajar di Fakultas Ilmu Politik dan Sosial Universitas Indonesia sekaligus analis pertahanan militer, justru menganggap pendapat itu cara berpikir salah. Dia beralasan banyak yang gerah dengan Front pembela islam dan partai-partai memiliki laskar. "Terus kenapa negara akan menerapkan wajib militer untuk menjadi tentara cadangan pada protes?" kata Connie balik bertanya.

Dia menyebut Israel sebagai contoh paling bagus roal sistem pertahanan negara. Negara Zionis ini juga menerapkan wajib militer terhadap lelaki dan perempuan berusia minimal 18 tahun. Masa wajib militer buat lelaki tiga tahun dan dua tahun buat perempuan. 

Berikut penuturannya kepada Islahuddin dari merdeka.com saat ditemui di sebuah kafe di Mal Pondok Indah 2, Jakarta Selatan, Kamis (1/11) siang.

Bagaimana Anda melihat mereka yang protes terhadap Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional?

Pertama yang dilihat dari mereka, siapa mendanai. Kedua, memenangkan peperangan tanpa perang bisa terjadi dengan opini. Kenapa sekarang ramai ditakutkan akan mengkebiri undang-undang keterbukaan informasi publik. Bukankah yang ditakutkan adalah tidak ada lagi kebebasan berpendapat?

Sekarang saya balik, kita sekarang itu kebebasannya sudah keterlaluan. Di Amerika Serikat atau Israel, kalau sudah bicara anggaran pertahanan, partai yang jumlahnya sama dengan kita hampir 43 partai dan punya Komisi I seperti di DPR, tapi begitu mencapai angka belanja pertahanan, 43 partai itu akan tutup mulut, karena satu yang dilihat kepentingan nasional. Di Indonesia sekarang, banyak partai, kebanyakan ingin tahu, kemudian pers bocor juga. Yang ada sekarang saling makan dengan lainnya. Itu yang saya bilang Rp 7 triliun untuk pertahanan kita keluar dengan darah dan air mata, berbeda dengan Rp 7 triliun tiap tahun untuk pemilu. Itu angka Pemilu saya gunakan dari data yang sah dari data yang ada dan bisa dipertanggung jawabkan. Saya belum bicara angka, baliho-baliho, belum bicara soal sogokan, dan lain-lain, ini baru bicara data resmi negara.

Sekarang kita bicara pemilu. Indonesia terdiri dari 439 Kabupaten. Berapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) dari semua itu, hitung? Mau partai kayak apapun juga tanpa punya uang minimum Rp 2 miliar tidak akan mendapatkan suara. Percaya saya, angka suara bisa dimainkan. Untuk mengawasi biaya suara di semua TPS itu perlu uang. Kalau partai tidak bisa mengawasi TPS, pasti suaranya akan diambil oleh yang punya uang.

Terus bagaimana dengan tentara cadangan dalam RUU Kamnas?

Ternyata benar kata Pak Syafrie dan Pak Emir, ini yang pada protes agar membaca dulu undang-undangnya. Kemudian komparasikan dengan aturan lainnya, tidak akan seheboh itu, kok. Ini terkait juga dengan melibatkan tentara cadangan atau wajib militer.

Padahal dengan belanja pertahanan kita begitu rendah, wajib militer itu salah satu solusi. Wajib militer itu masuknya dalam tentara cadangan. Itu salah satu solusi mempertahankan negara. Balik lagi ke contoh Israel. Kenapa saya contohnya Israel? Contoh paling bagus, Israel kok. Sampingkan ego-ego agama atau ego lainnya, sekarang kita bicara pertahanan negara.

Di Israel, kalau ada yang pintar sekali pasti jadi pilot tempur. Pokoknya angka tertinggi, jadi pilot tempur. Kedua, ketiga, akan sesuai urutan. Yang terakhir, berdasarkan agama tidak boleh memegang senjata, tidak boleh selain belajar agama, misalnya perempuan. Di sana ada hukum agama, perempuan tidak boleh turun keluar, harus di belakang layar. Mereka akan dijadikan ahli-ahli dapur umum dan perawat. Ini saya bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dari perempuan. Ortodoks di sana seperti Islam, tidak boleh ngapa-ngapain atau ortodoks yang ahli agama hanya boleh baca Taurat, ya sudah dibikin saja urusan untuk Taurat saja.

Biayanya paling murah. Itu diambil sejak kelas satu SMA sudah dilihat kemampuannya. Kalau itu bisa, kenapa khawatir akan terjadi militerisasi pada sipil? Bukankah itu kekhawatiran terjadi selama ini.

Sekarang saya balik, Anda khawatir dengan Front Pembela Islam (FPI). Itu lebih gila lagi. Tiba-tiba bikin laskar sendiri, kita tidak tahu ujung pangkalnya dari mana dan bergerak atas nama Tuhan. Nabi saja tidak pernah begitu. Itu berhabaya sekali, kita punya sekumpulan orang bisa menghajar siapa saja atas nama Tuhan. Padahal Tuhan tidak bisa untuk dikonfirmasi. Kenapa kita harus permisif pada FPI, kanapa harus permisif kepada partai-partai punya laskar. Kenapa? Sementara komponen cadangan negara akan ditarik sesuai standar pertahanan kemanan, kita malah komplain. Ada yang salah dari cara kita berpikir.

Bagaimana dengan komando cadangan untuk daerah, tapi RUU itu menyebut bukan bupati, gubernur pemegang komando, tapi militer setempat?

Iya itu tadi penjelasannya tentang pasukan cadangan. Sekarang badan undang-undang otonomi daerah, dulu gubernur kita itu dari tentara. Kita lihat dulu rumah Indonesia dulu. (Kemudian dia mencoret-coret dalam kertas untuk menjelaskan sebuah analogi). Kita mulai dari presiden, gubernur, bupati/wali kota, camat, lurah/kepala desa. Itu semua akan disesuaikan, kodam dengan gubernur, kodim dengan bupati, koramil dengan camat, dan seterusnya.

Di sisi lain ada polisi. Ada Kepolisian Daerah (Polda), Kepolisian Resor (Polres), dan Kepolisian Sektor (Polsek), akan sama urut. Jadi waktu itu gubernur bisa mengontrol Komando Daerah Militer (Kodam) dengan Polda. Bisa secara otomatis kalau terjadi sesuatu di daerah, bisa diatur lansung secara sinergi oleh satu keputusan derah. Sekarang, jadi jomplang karena ada yang diputus di sana sini, sudah tidak sejajar dan tidak sebangun.

Contohnya, antara gubernur dan bupati mana lebih tinggi wewenangnya? Bupati, sekarang tidak ada cerita bupati mau dipanggil oleh gubernur, tidak akan mau dia. Dia sendiri punya daerah, dipilih langsung, bahkan membuat apa saja daerahnya, entah itu mengangkut harta karun, mau menyewakan pulau, pinjam uang, untuk pembangunan daerahnya itu boleh-boleh saja.

Bukankah wajar RUU kamnas diprotes karena ada ketakutan akan kembali pada sistem Orde Lama?

Takut dan khawatir boleh-boleh saja. Tapi pertanyaannya dibalik, apakah ketakutan semu tadi terus membuat berhenti. Saya berani bilang TNI sudah merevisi total badannya langsung, pada 2000 sudah beres semuanya.

Terus bagaiamana dengan reformasi di kepolisian?

Dengan segala hormat, belum.

Apa RUU ini juga terkait masih melekatnya unsur militer dalam kepolisian?

Bukan, saya bingung, katanya polisi itu mau jadi sipil. Kenapa dia jadi militer lebih dari militer, karena kita rancu melihat pertahanan dan keamanan. Pertanyaannya sekarang saya balik, berarti kalau TNI kembali ke barak, oke, kembali ke barak. Tapi kasih pesawat tempur benar, kasih mereka untuk bertahan yang benar, kasih kapal cepat yang benar, kapal perang yang benar dan semua, jadi tidak ada lagi kejadian kasus Sipadan dan Ligitan.

Tapi masyarakat masih trauma terhadap militer?

Itu tidak akan mungkin terjadi. Yang sudah berhasil mereposisi, meredefinisi, fungsi dan peran malah tentara.

Apa militer memang tidak percaya kalau sipil yang memimpin?

Kalau saya melihat tidak. Militer kita itu patuh pada hukum. Kalau saya jadi militer tidak patuh kepada hukum, apa susahnya seorang panglima TNI menghadap seperti McArthur, saat perang Vietnam karena dananya mau diputus. Dia langsung menghadap panglimanya saat dana militernya mau diputus. Dia langsung menghadap Asin Howard. "Hei, ini tongkat komando gue. Lu putus anggaran pertahanan gue, anak buah gue mati, tidak diberikan alat utama sistem persenjataan yang lengkap, tidak tepat guna dan tidak tepat sasaran, gue mengundurkan diri." Di sini cara seperti itu tidak ada karena karena terlalu patuh. Saya pikir sudah saatnya panglima TNI itu berpikir maju.

Kita bicara HAM ya, manusiawikah kita, tentara kita di perbatasan pulau terluar ditengok setahun sekali itu sudah bagus. Jadi sekarang kita ini bicara HAM, HAMnya siapa? Saya tanya, hak-hak sipil? Saya sipil, kok saya merasa sekarang terancam. Saya merasa negara tidak peduli Indonesia dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan negara luar. Kok kita diam saja. Kok anggaran pertahanan negara kita cuma naik cuma 1,2 persen dari Produk Domestik Bruto (GDP). Kenapa tidak langsung naik seperti Israel langsung naik menjadi 7-12 persen dari GDP. Padahal, ancamannya semakin meningkat

Jangan salah, sekarang abad Asia dan kunci Asia itu adalah Indonesia. Laut Cina Selatan, ini akan dilewati Malaka dan Sunda. Makanya saat ramai pembahasan RUU itu, saya malas datang diundang berkali-kali oleh DPR, karena inti permasalahan paling penting tidak dilihat dulu. Yang dilihat hanya pelanggaran HAM, pers dibungkam, dikhawatirkan mengurangi peran polisi.
Sumber : KLIK DISINI  , KLIK DISINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar