Jihad-Defence-Indonesia - Jakarta : Komisi I DPR-RI mulai melirik tawaran penjualan kapal selam kelas kilo dari pemerintah Rusia. Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq mengatakan keinginan komisi untuk melirik tawaran kapal selam oleh pemerintah Rusia bertujuan untuk meningkatkan wilayah keamanan Indonesia terutama di wilayah laut. "Saya juga sudah bicara dengan kedutaan Rusia, bahwa Komisi I tertarik dengan tawaran kapal selam mereka untuk kelas kilo. Itu kapal selam kelas kilo. Dalam waktu dekat akan kita kirim beberapa anggota untuk meninjau," kata Mahfudz Siddiq kepada Gresnews.com di gedung parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (13/2).
Mahfudz menambahkan kapal selam yang berjenis kelas kilo itu rencananya juga akan diminta untuk ditambahkan rudal jenis sea to air. Atau rudal yang dapat ditembakkan dari laut langsung ke udara. Sehingga dengan demikian kapal selam itu dapat meningkat tugas pengawasannya dalam mengamankan perairan nasional. Kapal ini aslinya didesain punya kemampuan bertempur melawan kapal permukaan dan sesama kapal selam di perairan yang relatif dangkal. Rencananya DPR RI akan meninjau tiga kapal selam yang ditawarkan oleh pemerintah Rusia.
Kapal selam itu rencananya akan di tempatkan di beberapa titik sistem keamanan laut di Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Rencana pembelian kapal selam itu sebenarnya sudah digagas sejak lama. Namun mengingat maraknya kejahatan yang terjadi di wilayah laut belakangan ini membuat DPR RI untuk mempercepat pembelian alutsista bagi TNI Angkatan Laut (TNI-AL). Selain kapal selam, pada bulan Juni mendatang armada laut TNI akan diperkuat dengan datangnya tiga kapal perang baru yang dibeli dari Inggris. Kapal itu rencananya juga akan digunakan untuk operasi-operasi laut TNI-AL.
Sebagaimana diketahui, Indonesia baru-baru ini banyak menerima imigran gelap yang masuk melalui jalur laut. Peristiwa terbaru adalah masuknya imigran asal Timur Tengah pada 6 Februari 2014 lalu di Pantai Pangandaran Jawa Barat. Mereka masuk dengan menggunakan kapal kapsul warna oranye, yang difasilitasi oleh Australia. Terdamparnya para imigran gelap itu lantaran, pemerintah Australia menolak untuk menerima mereka.
Menyikapi hal ini, Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq mengatakan masuknya para imigran itu ke Indonesia dilatar belakangi karena tidak tegasnya sikap pemerintah Indonesia. "Berlanjutnya tindakan-tindakan Australia ini khususnya kaitan dengan imigran ini, itu karena Australia melihat sikap pemerintah Indonesia ini lembek dan tidak tegas. Sehingga mereka terus merangsek ke Indonesia dengan berbagai cara," imbuhnya.
Mahfudz mengatakan bila pemerintah mampu tegas, maka seharusnya mampu bersikap tegas dengan pemerintah Australia. Dikatakan Mahfudz, Indonesia bukanlah negara yang tergabung dalam state party dimana Indonesia dapat memberi suaka pada imigran gelap. Menurut Mahfudz, pemerintah Australia seharusnya membicarakan masalah imigran gelap ini bila ingin menyelesaikan masalah.
Pembicaraan bukan hanya dengan negara-negara asal imigran, namun juga negara-negara yang menjadi transit termasuk Indonesia. Dikatakan Mahfudz bila Australia belum mengubah kebijakan luar negerinya, dengan tetap masih menerima para imigran gelap, namun seolah menolak menjadi tidak etis dalam hubungan kawasan. "Kalau Australia ingin menyelesaikan soal imigran dan tidak ingin bermasalah dengan Indonesia ya declare saja bahwa Australia menjadi negara tertutup bagi para pencari suaka dan imigran. Jadi clear!" pungkas Ketua Komisi I DPR RI.
Mahfudz menambahkan pemerintah Indonesia juga harus tegas terkait dengan masalah imigran gelap. Menurutnya, bila tidak dapat diselesaikan secara bilateral, Pemerintah sebaiknya membawa kasus ini ke forum PBB. Mahfudz Siddiq pun mengakui, Indonesia memang menjadi negara strategis yang mudah dimasuki oleh para imigran gelap lantaran wilayahnya yang merupakan kepulauan dan sangat luas, sehingga menjadi potensi baru untuk dimasuki para imigran gelap.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin mengatakan kasus imigran gelap memang menjadi isu yang selalu dibahas dalam hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia. Selama ini penyelesaian masalah itu dapat diselesaikan dengan baik.
Namun sejak terjadi kasus penyadapan beberapa waktu lalu, menjadi pemicu terjadinya berbagai peristiwa, termasuk di buangnya kapal yang berisi imigran gelap ke Indonesia. "Australia tadinya mau duduk bersama-sama, tapi tiba-tiba terjadi penyadapan, maka kita tunjukkan you akan repot kalau merepotkan Indonesia," kata TB. Hasanuddin kepada Gresnews.com, Rabu kemarin.
Menurut TB. Hasanuddin sebagai negara berdaulat yang menghormati hukum internasional, Indonesia bisa menegakkan haknya sesuai dengan aturan yang berlaku termasuk mengusir para imigran. Terkait masalah imigran gelap, TB. Hasanuddin mengatakan solusinya harus dibicarakan secara tri partiet antara Indonesia, Australia dan UNHCR.
Juru Bicara UNHCR Adrian Edwards dalam rilisnya beberapa waktu lalu katakan pihaknya akan mempertimbangkan kebijakan atau sikap pemerintah Australia yang mendorong kapal imigran gelap ke perairan Indonesia tanpa prosedur standar perlindungan. "Karena setiap tindakan itu akan meningkatkan berbagai isu terkait Konvensi Pengungsi PBB dan hukum internasional lainnya," kata Adrian Edwards di Genewa, Swiss beberapa waktu lalu.
Jubir UNHCR itu menambahkan bahwa pihaknya mendukung dan merekomendasikan masalah imigran gelap untuk segera dibicarakan di tingkat regional antara negara-negara yang berkepentingan.
Pengamat Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan bila terbukti benar sekoci berwarna oranye sebagai tumpangan para pencari suaka kembali ke wilayah kedaulatan Indonesia dibeli dan dibiayai oleh uang pemerintah Australia, maka Australia secara nyata telah melakukan pelanggaran atas kedaulatan Indonesia. Menurutnya ada tiga alasan yang mendasari pelanggaran itu.
"Pertama dengan menggunakan uang resmi dari pemerintah Australia untuk membiayai dan membeli sekoci berarti sekoci tersebut merupakan milik pemerintah Australia, bukan milik orang perorangan atau badan hukum," kata Hikmahanto kepada Gresnews.com, Kamis (13/2).
Menurut Hikmahanto hal ini berbeda dengan kapal-kapal nelayan Indonesia yang digunakan oleh para pencari suaka ke Australia. Kapal-kapal nelayan bukanlah milik pemerintah Indonesia. Kapal-kapal tersebut adalah milik pribadi para nelayan.
Kedua, sekoci atau kapal milik Pemerintah Australia tersebut ternyata tidak memiliki surat, izin dan bendera kapal. Padahal dalam hukum laut tidak boleh ada kapal yang melakukan pelayaran internasional tanpa surat, izin dan bendera kapal.
Oleh karenanya pemerintah Australia telah melakukan pelanggaran hukum dengan membiarkan sekoci milik mereka yang ilegal melakukan pelayaran internasional. Ketiga, pemerintah Australia telah dengan sengaja memasukkan barang atau orang secara ilegal ke wilayah Indonesia. "Tidak seharusnya suatu negara memfasilitasi barang, termasuk Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), atau orang ilegal ke negara lain," kata Hikmahanto.
Didorongnya kembali para pencari suaka yang difasilitasi oleh otoritas Australia berarti pemerintah Australia telah memfasilitasi orang-orang tidak berdokumen resmi masuk ke wilayah Indonesia. Ini berbeda ketika para pencari suaka dari Indonesia masuk ke wilayah Australia. Pemerintah Indonesia sama sekali tidak memiliki keterlibatan untuk memfasilitasi mereka.
Masuknya para pencari suaka ke Australia dari Indonesia merupakan upaya pencari suaka sendiri melalui jalur tidak resmi. Oleh karenanya wajar bila Indonesia melalui Menteri Luar Negeri melakukan protes keras. Bila perlu Menlu melakukan pengusiran atas sejumlah diplomat Australia.
Guru Besar Hubungan Internasional UI itu katakan, Panglima TNI juga perlu mengerahkan armada AL dan pesawat AU untuk menjaga wilayah kedaulatan di wilayah perairan dan udara yang berbatasan dengan Australia secara intensif. "Menjaga dan menegakkan kedaulatan adalah segalanya bagi suatu bangsa dan negara. Apapun harus dilakukan tanpa ada kecuali," pungkasnya.
Mahfudz menambahkan kapal selam yang berjenis kelas kilo itu rencananya juga akan diminta untuk ditambahkan rudal jenis sea to air. Atau rudal yang dapat ditembakkan dari laut langsung ke udara. Sehingga dengan demikian kapal selam itu dapat meningkat tugas pengawasannya dalam mengamankan perairan nasional. Kapal ini aslinya didesain punya kemampuan bertempur melawan kapal permukaan dan sesama kapal selam di perairan yang relatif dangkal. Rencananya DPR RI akan meninjau tiga kapal selam yang ditawarkan oleh pemerintah Rusia.
Kapal selam itu rencananya akan di tempatkan di beberapa titik sistem keamanan laut di Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Rencana pembelian kapal selam itu sebenarnya sudah digagas sejak lama. Namun mengingat maraknya kejahatan yang terjadi di wilayah laut belakangan ini membuat DPR RI untuk mempercepat pembelian alutsista bagi TNI Angkatan Laut (TNI-AL). Selain kapal selam, pada bulan Juni mendatang armada laut TNI akan diperkuat dengan datangnya tiga kapal perang baru yang dibeli dari Inggris. Kapal itu rencananya juga akan digunakan untuk operasi-operasi laut TNI-AL.
Sebagaimana diketahui, Indonesia baru-baru ini banyak menerima imigran gelap yang masuk melalui jalur laut. Peristiwa terbaru adalah masuknya imigran asal Timur Tengah pada 6 Februari 2014 lalu di Pantai Pangandaran Jawa Barat. Mereka masuk dengan menggunakan kapal kapsul warna oranye, yang difasilitasi oleh Australia. Terdamparnya para imigran gelap itu lantaran, pemerintah Australia menolak untuk menerima mereka.
Menyikapi hal ini, Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq mengatakan masuknya para imigran itu ke Indonesia dilatar belakangi karena tidak tegasnya sikap pemerintah Indonesia. "Berlanjutnya tindakan-tindakan Australia ini khususnya kaitan dengan imigran ini, itu karena Australia melihat sikap pemerintah Indonesia ini lembek dan tidak tegas. Sehingga mereka terus merangsek ke Indonesia dengan berbagai cara," imbuhnya.
Mahfudz mengatakan bila pemerintah mampu tegas, maka seharusnya mampu bersikap tegas dengan pemerintah Australia. Dikatakan Mahfudz, Indonesia bukanlah negara yang tergabung dalam state party dimana Indonesia dapat memberi suaka pada imigran gelap. Menurut Mahfudz, pemerintah Australia seharusnya membicarakan masalah imigran gelap ini bila ingin menyelesaikan masalah.
Pembicaraan bukan hanya dengan negara-negara asal imigran, namun juga negara-negara yang menjadi transit termasuk Indonesia. Dikatakan Mahfudz bila Australia belum mengubah kebijakan luar negerinya, dengan tetap masih menerima para imigran gelap, namun seolah menolak menjadi tidak etis dalam hubungan kawasan. "Kalau Australia ingin menyelesaikan soal imigran dan tidak ingin bermasalah dengan Indonesia ya declare saja bahwa Australia menjadi negara tertutup bagi para pencari suaka dan imigran. Jadi clear!" pungkas Ketua Komisi I DPR RI.
Mahfudz menambahkan pemerintah Indonesia juga harus tegas terkait dengan masalah imigran gelap. Menurutnya, bila tidak dapat diselesaikan secara bilateral, Pemerintah sebaiknya membawa kasus ini ke forum PBB. Mahfudz Siddiq pun mengakui, Indonesia memang menjadi negara strategis yang mudah dimasuki oleh para imigran gelap lantaran wilayahnya yang merupakan kepulauan dan sangat luas, sehingga menjadi potensi baru untuk dimasuki para imigran gelap.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin mengatakan kasus imigran gelap memang menjadi isu yang selalu dibahas dalam hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia. Selama ini penyelesaian masalah itu dapat diselesaikan dengan baik.
Namun sejak terjadi kasus penyadapan beberapa waktu lalu, menjadi pemicu terjadinya berbagai peristiwa, termasuk di buangnya kapal yang berisi imigran gelap ke Indonesia. "Australia tadinya mau duduk bersama-sama, tapi tiba-tiba terjadi penyadapan, maka kita tunjukkan you akan repot kalau merepotkan Indonesia," kata TB. Hasanuddin kepada Gresnews.com, Rabu kemarin.
Menurut TB. Hasanuddin sebagai negara berdaulat yang menghormati hukum internasional, Indonesia bisa menegakkan haknya sesuai dengan aturan yang berlaku termasuk mengusir para imigran. Terkait masalah imigran gelap, TB. Hasanuddin mengatakan solusinya harus dibicarakan secara tri partiet antara Indonesia, Australia dan UNHCR.
Juru Bicara UNHCR Adrian Edwards dalam rilisnya beberapa waktu lalu katakan pihaknya akan mempertimbangkan kebijakan atau sikap pemerintah Australia yang mendorong kapal imigran gelap ke perairan Indonesia tanpa prosedur standar perlindungan. "Karena setiap tindakan itu akan meningkatkan berbagai isu terkait Konvensi Pengungsi PBB dan hukum internasional lainnya," kata Adrian Edwards di Genewa, Swiss beberapa waktu lalu.
Jubir UNHCR itu menambahkan bahwa pihaknya mendukung dan merekomendasikan masalah imigran gelap untuk segera dibicarakan di tingkat regional antara negara-negara yang berkepentingan.
Pengamat Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan bila terbukti benar sekoci berwarna oranye sebagai tumpangan para pencari suaka kembali ke wilayah kedaulatan Indonesia dibeli dan dibiayai oleh uang pemerintah Australia, maka Australia secara nyata telah melakukan pelanggaran atas kedaulatan Indonesia. Menurutnya ada tiga alasan yang mendasari pelanggaran itu.
"Pertama dengan menggunakan uang resmi dari pemerintah Australia untuk membiayai dan membeli sekoci berarti sekoci tersebut merupakan milik pemerintah Australia, bukan milik orang perorangan atau badan hukum," kata Hikmahanto kepada Gresnews.com, Kamis (13/2).
Menurut Hikmahanto hal ini berbeda dengan kapal-kapal nelayan Indonesia yang digunakan oleh para pencari suaka ke Australia. Kapal-kapal nelayan bukanlah milik pemerintah Indonesia. Kapal-kapal tersebut adalah milik pribadi para nelayan.
Kedua, sekoci atau kapal milik Pemerintah Australia tersebut ternyata tidak memiliki surat, izin dan bendera kapal. Padahal dalam hukum laut tidak boleh ada kapal yang melakukan pelayaran internasional tanpa surat, izin dan bendera kapal.
Oleh karenanya pemerintah Australia telah melakukan pelanggaran hukum dengan membiarkan sekoci milik mereka yang ilegal melakukan pelayaran internasional. Ketiga, pemerintah Australia telah dengan sengaja memasukkan barang atau orang secara ilegal ke wilayah Indonesia. "Tidak seharusnya suatu negara memfasilitasi barang, termasuk Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), atau orang ilegal ke negara lain," kata Hikmahanto.
Didorongnya kembali para pencari suaka yang difasilitasi oleh otoritas Australia berarti pemerintah Australia telah memfasilitasi orang-orang tidak berdokumen resmi masuk ke wilayah Indonesia. Ini berbeda ketika para pencari suaka dari Indonesia masuk ke wilayah Australia. Pemerintah Indonesia sama sekali tidak memiliki keterlibatan untuk memfasilitasi mereka.
Masuknya para pencari suaka ke Australia dari Indonesia merupakan upaya pencari suaka sendiri melalui jalur tidak resmi. Oleh karenanya wajar bila Indonesia melalui Menteri Luar Negeri melakukan protes keras. Bila perlu Menlu melakukan pengusiran atas sejumlah diplomat Australia.
Guru Besar Hubungan Internasional UI itu katakan, Panglima TNI juga perlu mengerahkan armada AL dan pesawat AU untuk menjaga wilayah kedaulatan di wilayah perairan dan udara yang berbatasan dengan Australia secara intensif. "Menjaga dan menegakkan kedaulatan adalah segalanya bagi suatu bangsa dan negara. Apapun harus dilakukan tanpa ada kecuali," pungkasnya.
Sumber : KLIK DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar