Kamis, 06 Februari 2014

SERSAN USMAN DAN KOPRAL HARUN PAHLAWAN NASIONAL, PEJUANG SEJATI INDONESIA

Sejarah yang terlupakan !!!

Jihad-Defence-Indonesia - Jakarta : Mungkin tidak semua masyarakat Indonesia mengenal Usman dan Harun. Pahlawan Dwikora dari Korps Komando Operasi (KKO) yang sekarang bernama Korps Marinir TNI-AL, seolah-olah tenggelam diantara nama-nama pahlawan lainnya. Bahkan dalam pelajaran-pelajaran sejarah di bangku sekolah, nama keduanya jarang bahkan hampir tidak tersebutkan sama sekali, padahal jika kita melihat apa yang telah mereka lakukan adalah sebuah kisah heroik yang Tabah sampai akhir.

USMAN alias JANATIN

Tahun 1962 Janatin mengikuti pendidikan militer di Malang yang 
dilaksanakan oleh Korps Komando Angkatan Laut. Pendidikan ini dilaksanakan guna pengisian personil yang dibutuhkan dalam menghadapi Trikora. Karena itulah Korps Komando Angkatan Laut membuka Sekolah Calon Tamtama (Secatamko) angkatan ke – X.

Pendidikan dasar militer dilakasanakan di Gunung Sahari. Pendidikan Amphibi dilaksanakan di pusat latihan Pasukan Pendarat di Semampir. Pada akhir seluruh pendidikan diadakan latihan puncak di daerah Purboyo Malang selatan dalam bentuk Suroyudo. Semua pendidikan ini telah diikuti oleh Janatin sampai selesai, sehingga ia berhak memakai baret ungu.

Bulan April 1964 di Cisarua Bogor selama satu bulan, Janatin mengikuti pendidikan tambahan untuk : Inteljen, kontra inteljen, sabotase, Demolisi, gerilya, perang hutan dan lain-lain. Dengan bekal dari latihan di Cisarua ini, diharapkan dapat bergerak di daerah lawan untuk mengemban tugas nantinya.


HARUN alias TOHIR































Sama halnya dengan Usman, Harun bukanlah nama aslinya. Harun terlahir dengan nama TOHIR bin SAID tanggal 4 April 1943 di Pulau Keramat Bawean (sebuah pulau kecil di sebelah utara Surabaya). Tohir adalah anak ketiga dari Pak Mandar dengan ibu Aswiyani.

Sejak ia menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama untuk biaya hidup dan sekolah ia menjadi pelayan kapal dagang. Hal ini yang menyebabkan Tohir mengenal dan hafal daerah daratan Singapura sebab seringkali ia berhari-hari lamanya tinggal di Pelabuhan Singapura.

Masuk Angkatan Laut bulan Juni 1964, dan ditugaskan dalam Tim Brahma I di Basis II Ops A KOTI. Di sini ia bertemu dengan Usman alias Janatin bin H. Mohammad ALI dan Gani bin Aroep. Ketiga pemuda ini bergaul cukup erat, lebih-lebih setelah mereka sering ditugaskan bersama sama.

Bergabung dalam Dwikora dengan pangkat Prajurit KKO II (Prako II) Tohir mendapat gemblengan selama lima bulan, di daerah Riau daratan dan pada tanggal 1 April 1965 dinaikkan pangkatnya menjadi Kopral KKO I (Kopko I).

Selesai mendapatkan gemblengan di Riau daratan sebagai Sukarelawan Tempur bersama-sama rekan-rekan lainnya, ia dikirim ke Pulau Sambu hingga beberapa lama dalam kesatuan A KOTI Basis X. Tohir sendiri telah ke Singapura beberapa kali, dan sering mendarat ke Singapura menyamar sebagai pelayan dapur, menggunakan kapal dagang yang sering mampir ke Pulau Sambu untuk mengisi bahan bakar.

Wajah Tohir yang mirip-mirip Cina itu ternyata sangat menguntungkan dalam penyamarannya didukung dengan Bahasa Inggris, Cina dan Belanda yang dikuasai dengan lancar sangat membantu dalam kebebasannya untuk bergerak dan bergaul di tengah-tengah masyarakat Singapura yang mayoritas orang Cina


DWIKORA
Konfrontasi Indonesia - Malaysia pada tahun 1963 timbul sebagai akibat dari pernyataan sikap Indonesia yang menentang penyatuan Malaysia. memuncak. Presiden Soekarno mengeluarkan DWIKORA pada tanggal 3 Mei 1964. Kemarahan Soekarno disulut oleh tindakan profokatif dari Federasi Tanah Melayu yang menginginkan (atas ide dan persetujuaan Inggris) menggabungkan Federasi Tanah Melayu, Singapura, Brunei, Serawak dan Sabah (Borneo Utara).

Komando tersebut mendapat sambutan dari lapisan masyarakat, termasuk ABRI. Hal ini terbukti bahwa rakyat Indonesia berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai sukarelawan Dwikora sehingga mencapai jumlah 21 juta sukarelawan. Gelar pasukan sebagai upaya propaganda mulai dilakukan, mengingat persenjataan Indonesia pada waktu itu memang kuat dan termodern.


OPERASI DWIKORA
Baru saja TNI AL selesai melaksanakan tugas-tugas operasi dalam mengembalikan Irian Barat ke wilayah kekuasaan RI, timbul lagi masalah baru yang harus dihadapi oleh seluruh bangsa Indonesia, dengan dikomandokannya Dwikora oleh Presiden Sukarno.
Pasukan Sukarelawan
saat diterima oleh Oey Tjoe Tat
(menteri negara)

Penggunaan tenaga sukarelawan ini membawa dampak yang besar. Dilihat dari segi positifnya memang sangat menguntungkan, karena perang yang akan dihadapi tidak secara frontal, sehingga akan membingungkan pihak lawan. Tetapi dari segi negatif kurang menguntungkan, karena apabila sukarelawan itu tertangkap ia akan diperlakukan sebagai penjahat biasa, jadi bukan sebagai tawanan perang di lindungi oleh UU Perang.

Untuk melindungi Operasi tersebut di atas, KOTI kemudian memutuskan untuk mempergunakan tenaga-tenaga militer lebih banyak guna mendampingi sukarelawan-sukarelawan tersebut, memperkuat kekuatan Sukarelawan Indonesia di daerah musuh.

Untuk mendukung Operasi A. KKO AL mengirimkan 300 orang anggota yang terdiri dari Kopral sampai Perwira. Sebelum melaksanakan Operasi A. mereka diwajibkan mengikuti pendidikan khusus di Cisarua Bogor. Selesai latihan mereka dibagi dalam tim-tim dengan kode Kesatuan Brahma dan ditugaskan di daerah Semenanjung Malaya (Basis II) dan di Kalimantan Utara (Basis IV).

Yang dikerahkan di Semenanjung Malaya terdiri dari tim Brahma I beranggotakan 45 orang, tim Brahma II 50 orang, tim Brahma III 45 orang dan tim Brahma V 22 orang.

Semenanjung Malaya (Basis II) dibagi beberapa Sub. Basis:
  1. Sub Basis X yang berpangkalan di P. Sambu dan Rengat dengan sasaran Singapura.
  2. Sub. Basis Y dengan sasaran Johor bagian barat dan Pangkalan Tanjung Balai.
  3. Sub. Basis T yang berpangkalan di P. Sambu dengan sasaran Negeri Sembilan, Selangor dan Kuala Lumpur.
  4. Sub. Basis Z dengan sasaran Johor bagian timur.

Sedangkan Tugas Basis II:
  1. Mempersiapkan kantong gerilya di daerah lawan.
  2. Melatih gerilyawan dari dalam dan mengembalikan lagi ke daerah masing-masing.
  3. Melaksanakan demolision, sabotase pada obyek militer maupun ekonomis.
  4. Mengadakan propaganda, perang urat syarat
  5. Mengumpulkan informasi.
  6. Melakukan kontra inteljen.
Gelar Pasukan yang dilakukan KKO
sebagai tanggapan atas DWIKORA
Dalam operasi ini Usman melakukan tugas ke wilayah Basis II. A Koti, ia berangkat menuju Pulau Sambu sebagai Sub Basis dengan menggunakan kapal jenis MTB. Kemudian menggabungkan diri dengan Tim Brahma I di bawah pimpinan Kapten Paulus Subekti yang pada waktu itu menyamar dengan pangkat Letkol KKO - AL dan merangkap menjadi Komandan Basis X yang berpangkalan di Pulau Sambu Riau. Ketika Janatin (Usman) menggabungkan dengan kawan-kawannya,, ia berkenalan dengan Tohir (Harun) dan Gani bin Arup, mereka ini merupakan sahabat yang akrab dalam pergaulan. Mereka mendapat tugas yang sama untuk mengadakan sabotase di Singapura.


BERGANTI NAMA
Karena ketatnya penjagaan daerah lawan dan sukar ditembus maka satu-satunya jalan yang ditempuh ialah menyamar sebagai pedagang yang akan memasukkan barang dagangannya ke wilayah Malaysia dan Singapura. Usaha tersebut kelihatan membawa hasil yang memuaskan, karena dengan jalan ini anggota sukarelawan berhasil masuk ke daerah lawan yang kemudian dapat memperoleh petunjuk yang diperlukan untuk melakukan tindakan selanjutnya.

Dari penyamaran sebagai pedagang ini banyak diperoleh data yang penting bagi para Sukarelawan untuk melakukan kegiatan. Dengan taktik demikian para Sukarelawan telah berhasil menyusup beberapa kali ke luar masuk daerah musuh.

Untuk memasuki daerah musuh agar tidak menimbulkan kecurigaan lawan, para sukarelawan menggunakan nama samaran, nama di sini disesuaikan dengan nama-nama dimana daerah lawan yang dimasuki. Demikian Janatin mengganti namanya dengan Usman dan disambungkan dengan nama orang tuanya Haji Muhammad Ali. Sehingga nama samaran ini lengkapnya Usman bin Haji Muhammad Ali. Sedangkan Tohir menggunakan nama samaran Harun, dan lengkapnya Harun bin Said.

Dengan nama samaran ini Usman, Harun dan Gani melakukan penyusupan ke daerah Singapura untuk melakukan penyelidikan dan pengintaian tempat-tempat yang dianggap penting. Sedangkan di front belakang telah siap siaga kekuatan tempur yang setiap saat dapat digerakkan untuk memberikan pukulan terhadap lawan. Kekuatan ini terus bergerak di daerah sepanjang perbatasan untuk mendukung para Sukarelawan yang menyusup ke daerah lawan dan apabila perlu akan memberikan bantuan berupa perlindungan terhadap Sukarelawan yang dikejar oleh musuh di daerah perbatasan.


PENYUSUPAN
Tanggal 8 Maret 1965 tengah malam buta, saat air laut tenang ketiga Sukarelawan ini memasuki Singapura. Mereka mengamati tempat-tempat penting yang akan dijadikan obyek sasaran hingga larut malam. Setelah memberikan laporan singkat, mereka mengadakan pertemuan di tempat rahasia untuk melaporkan hasil pengamatan masing-masing dan kembali ke induk pasukannya, yaitu Pulau Sambu (Basis II).

Pada malam harinya mereka berkumpul kembali untuk merencanakan tugas-tugas yang haru dilaksanakan, disesuaikan dengan hasil penyelidikan mereka masing-masing. Setelah memberikan laporan singkat, mereka mengadakan perundingan tentang langkah yang akan ditempuh.

Karena belum adanya rasa kepuasan tentang penelitian singkat yang mereka lakukan, ketiga Sukarelawan di bawah Pimpinan Usman, bersepakat untuk kembali lagi ke daerah sasaran untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam. Mereka akhirnya memutuskan untuk melakukan peledakan Hotel Mac Donald, yang terletak di Orchad Road yang merupakan pusat keramaian di kota Singapura.

Siang harinya di tengah-tengah kesibukan dan keramaian kota Singapura ketiga sukarelawan bergerak menuju ke sasaran yang ditentukan, tetapi karena pada saat itu suasana belum mengijinkan akhirnya mereka menunggu waktu yang paling tepat untuk menjalankan tugas. Setelah berangsur angsur sepi, mulailah mereka menyusup untuk memasang bahan peledak seberat 12,5 kg.

Tempat Bom di pasang
Kira-kira pukul 03.07 dini hari 10 Maret 1965, terjadilah ledakan dahsyat yang berasal dari bagian bawah Hotel Mac Donald. Beberapa penghuni hotel dan toko ada yang tertimbun oleh reruntuhan sehingga mengalami luka berat dan ringan.

20 buah toko di sekitar hotel itu mengalami kerusakan berat, 24 buah kendaraan sedan hancur, 3 orang meninggal, 35 orang mengalami luka-luka berat dan ringan. Saat terjadi ledakan, orang-orang berhamburan ke luar hotel, dan di antara orang-orang yang berdesakan ingin keluar dari hotel tersebut adalah Usman.

Pada hari itu juga mereka berkumpul kembali untuk kembali ke pangkalan. Situasi menjadi sulit, seluruh aparat keamanan Singapura dikerahkan untuk mencari pelaku yang meledakkan Hotel Mac Donald. Melihat situasi demikian sulitnya, lagi pula penjagaan sangat ketat, tidak ada celah untuk bisa ditembus.
sesaat setelah Pengeboman
Kerusakan Akibat ledakan bom
korban ledakan
Sulit bagi Usman, Harun dan Gani keluar dari wilayah Singapura. Akhirnya mereka sepakat untuk menerobos penjagaan dengan menempuh jalan masing masing, Usman bersama Harun, sedangkan Gani bergerak sendiri.

Tanggal 11 Maret 1965 Usman dan anggotanya bertemu kembali. Sebelum berpisah Usman menyampaikan pesan kepada anggotanya, barang siapa yang lebih dahulu sampai ke induk pasukan, supaya melaporkan hasil tugas telah dilakukan kepada atasan.


GAGAL KEMBALI KE PANGKALAN
Usman yang bertindak sebagai pimpinan belum faham betul dengan daerah Singapura, walaupun ia sering memasuki daerah ini. Karena itu Usman meminta kepada Harun supaya mereka bersama-sama mencari jalan keluar ke pangkalan. Untuk menghindari kecurigaan, mereka berjalan saling berjauhan, seolah-olah kelihatan yang satu dengan yang lain tidak ada hubungan sama sekali.

Dengan berbagai usaha akhirnya mereka berdua dapat memasuki pelabuhan Singapura dan menaiki kapal dagang Begama yang pada waktu itu akan berlayar menuju Bangkok. Keduanya menyamar sebagai pelayan dapur.

12 Maret 1965 Kapten kapal Begama mengetahui ada dua orang yang bukan anak buahnya berada dalam kapal, lalu mengusir mereka dari kapal. mereka diacam akan dilaporkan kepada Polisi apabila tidak mau pergi dari kapal. Kapten Kapal tidak mau mengambil resiko kapalnya ditahan oleh pemerintah Singapura.

Tanggal 13 Maret 1965 Usman dan Harun meninggalkan kapal Begama dan berusaha mencari sebuah kapal agar mereka dapat bersembunyi dan keluar dari daerah Singapura. Ketika mereka sedang mencari-cari kapal, tiba-tiba tampaklah sebuah motorboat yang dikemudikan oleh seorang Cina. Mereka merebut motorboat dari pengemudinya dan dengan cekatan mereka mengambil alih kemudi, kemudian haluan diarahkan menuju ke Pulau Sambu. Namun, sebelum mereka sampai ke perbatasan peraian Singapura, motorboat yang mereka gunakan macet di tengah laut. Mereka tidak dapat lagi menghindari diri dari patroli musuh. Pukul 09.00 pagi di hari itu, Usman dan Harun tertangkap dan di bawa ke Singapura sebagai tawanan.


DIADILI
Usman dan Harun selama kurang lebih 8 bulan telah meringkuk di dalam penjara Singapura sebagai tawanan. Pada tanggal 4 Oktober 1965 Usman dan Harun di hadapkan ke depan sidang Pengadilan Mahkamah Tinggi (High Court) Singapura dengan J. Chua sebagai Hakim. Usman dan Harun dihadapkan ke Sidang Pengadilan Tinggi (High Court) Singapura dengan tuduhan:
  1. Menurut ketentuan International Security Act Usman dan Harun telah melanggar Control Area.
  2. Telah melakukan pembunuhan terhadap tiga orang.
  3. Telah menempatkan alat peledak dan menyalakannya.
Dalam proses pengadilan ini, Usman dan Harun tidak dilakukan pemeriksaan pendahuluan, sesuai dengan Emergency Crimina Trials Regulation tahun 1964. Dalam Sidang Pengadilan Tinggi (Hight Court) Usman dan Harun telah menolak semua tuduhan itu dan mereka memberi pernyataan bahwa apa yang mereka lakukan bukan kehendak sendiri, karena dalam keadaan perang. Oleh karena itu mereka meminta kepada sidang supaya mereka dilakukan sebagai tawanan perang/POW (Prisoner of War). Namun Hakim menolak permintaan mereka dengan alasan sewaktu kedua tertuduh tertangkap tidak memakai pakaian militer.

Persidangan berjalan kurang lebih dua minggu, pada tanggi 20 Oktober 1965 Sidang Pengadilan Tinggi (Hight Court) yan dipimpin oleh Hakim J. Chua memutuskan bahwa Usman da Harun telah melakukan sabotase dan mengakibatkan meninggalnya tiga orang sipil. Dengan dalih ini, kedua tertuduh dijatuhi hukuman mati.

Pada tanggal 6 Juni 1966 Usman dan Harun mengajukan naik banding ke Federal Court of Malaysia dengan Hakim yang mengadilinya: Chong Yiu, Tan Ah Tah dan J.J. Amrose. Pada tanggal 5 Oktober 1966 Federal Court of Malaysia menolak perkara naik banding Usman dan Harun. Kemudian pada tanggal 17 Februari 1967 perkara tersebut diajukan lagi ke Privy Council di London.


UPAYA DIPLOMATIS
Dalam kasus ini Pemerintah Indonesia menyediakan empat Sarjana Hukum sebagai pembela yaitu Mr. Barga dari Singapura, Noel Benyamin dari Malayasia, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja SH dari Indonesia, dan Letkol (L) Gani Djemat SH Atase ALRI di Singapura. Usaha itu gagal. Surat penolakan datang pada tanggal 21 Mei 1968.

Usaha terakhir adalah mengajukan permohonan grasi dari Presiden Singapura Yusuf bin Ishak pada tanggal 1 Juni 1968. Bersamaan dengan itu usaha penyelamatan kedua prajurit oleh Pemerintah Indonesia makin ditingkatkan. Kedutaan RI di Singapura diperintahkan untuk mempergunakan segala upaya yang mungkin dapat dijalankan guna memperoleh pengampunan. Setidak-tidaknya memperingan kedua sukarelawan Indonesia tersebut.

Pada tanggal 4 Mei 1968 Menteri Luar Negeri Adam Malik berusaha melalui Menteri Luar Negeri Singapura membantu usaha yang dilakukan KBRI. Ternyata usaha inipun mengalami kegagalan. Pada tanggal 9 Oktober 1968 Menlu Singapura menyatakan bahwa permohonan grasi atas hukuman mati Usman dan Harun ditolak oleh Presiden Singapura.

15 Oktober 1968 Presiden Suharto mengirim utusan pribadi, Brigjen TNI Tjokropanolo ke Singapura untuk menyelamatkan kedua patriot Indonesia. Pada saat itu PM Malaysia Tengku Abdulrahman juga meminta kepada Pemerintah Singapura agar mengabulkan permintaan Pemerintah Indonesia. Namun Pemerintah Singapura tetap pada pendiriannya tidak mengabulkannya. Bahkan demi untuk menjaga prinsip-prinsip tertib hukum, Singapura tetap akan melaksanakan hukuman mati terhadap dua orang KKO Usman dan Harun, yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Ok tober 1968 pukul 06.00 pagi waktu Singapura.

Permintan terakhir Presiden Suharto agar pelaksanaan hukuman terhadap kedua mereka ini dapat ditunda satu minggu untuk mempertemukan kedua terhukum dengan orang tuanya dan sanak farmilinya juga ditolak oleh Pemerintah Singapura tetap pada keputusannya, melaksanakan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun.

Waktu berjalan terus dan sampailah pada pelaksanaan hukuman, dimana Pemerintah Singapura telah memutuskan dan menentukan bahwa pelaksanaan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun tanggal 17 Oktober 1968, tepat pukul 06.00 pagi. Para pemimpin Indonesia terus berusaha untuk menyelesaikan masalah ini, sebab merupakan masalah nasional yang menyangkut perlindungan dan pem belaan warga negaranya.

Rabu sore tanggal 16 Oktober 1968, Brigjen TIN Tjokropranolo sebagai utusan pribadi Presiden Suharto datang ke penjara Changi. Dengan diantar Kuasa Usaha Republik Indonesia di Singapura Kolonel A. Ramli dan didampingi Atase Angkatan Laut Letkol (G) Gani Djemat SH, menemui Usman dan Harun pada pukul 16.00.

Sebuah pertemuan yang mengharukan tetapi membanggakan. Usman dan Harun segera mengambil sikap sempurna dan memberikan hormat serta memberikan laporan lengkap, ketika Letkol Gani Djemat SH memperkenalkan Brigjen Tjokropranolo sebagai utusan Presiden Suharto. Sikap yang demikian membuat Brigjen Tjokropranolo hampir tak dapat menguasai diri dan terasa berat untuk menyampaikan pesan. Pertemuan ini membawa suasana haru, sebagai pertemuan Bapak dan Anak yang mengantarkan perpisahan yang tak akan bertemu lagi untuk selamanya.

Pesan yang disampaikan adalah bahwa Presiden Suharto telah menyatakan mereka sebagai Pahlawan dan akan dihormati oleh seluruh rakyat Indonesia, kemudian menyampaikan salut atas jasa mereka berdua terhadap Negara.

Kolonel A. Rambli dalam kesempatan itu pula menyampaikan, bahwa Presiden Suharto mengabulkan permintaan mereka untuk dimakamkan berdampingan di Indonesia.

Sebelum berpisah Usman dan Harun dengan sikap sempurna menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Presiden RI Jenderal Suharto atas usahanya, kepada Jenderal Panggabean, kepada mahasiswa dan pelajar, Sarjana Hukum serta seluruh Rakyat Indonesia yang telah melakukan upaya untuk membebaskan mereka dari hukuman mati. Saat pertemuan berakhir, Sersan KKO Usman memberikan aba-aba, dan keduanya memberi hormat kepada para utusan. Sikap kukuh dan tabah dari Usman dan Harun tercermin dalam surat-surat yang mereka tulis pada tanggal 16 Oktober 1968.


HUKUMAN GANTUNG
Pukul 05.00 subuh kedua tawanan itu dibangunkan oleh petugas penjara, kemudian disuruh sembahyang menurut agamanya masing-masing. Setelah melakukan sembahyang Usman dan Harun dengan tangan diborgol dibawa oleh petugas ke kamar kesehatan untuk dibius. Dalam keadaan terbius dan tidak sadar masing-masing urat nadinya dipotong oleh dokter tersebut, sehingga mereka berdua lumpuh sama sekali. Lalu Usman dan Harun dibawa menuju ke tiang gantungan. Tepat pukul 06.00 pagi hari Kamis tanggal 17 Oktober 1968 eksekusi terhadap Usman dan harun dilakukan.

Pejabat penjara Changi menyampaikan berita kepada para wartawan yang mengikuti peristiwa ini, bahwa hukuman telah dilaksanakan. Berita eksekusi tersebar ke seluruh penjuru dunia


PENGHORMATAN UNTUK USMAN DAN HARUN
Bendera merah putih telah dikibarkan setengah tiang sebagai tanda berkabung. Warga Indonesia yang berada di Singapura berbondong-bondong datang membanjiri Kantor Perwakilan Indonesia dengan membawa karangan bunga sebagai tanda kehormatan terakhir terhadap kedua prajuritnya.

Pemerintah Indonesia mengirim Dr. Ghafur dengan empat pegawai Kedutaan Besar RI ke penjara Changi untuk menerima kedua jenazah untuk disemayamkan di Gedung Kedutaan Besar RI. Akan tetapi kedua jenazah belum boleh dikeluarkan dari penjara sebelum dimasukkan ke dalam peti dan menunggu perintah selanjutnya dari Pemerintah Singapura.

Setelah jenazah di masukkan ke dalam peti, Pemerintah Singapura tidak mengizinkan Bendera Merah Putih yang dikirimkan Pemerintah Indonesia untuk di selubungkan pada peti jenazah kedua Pahlawan tersebut pada saat masih di dalam penjara. Pukul 10.30 kedua jenzah baru diizinkan dibawa ke Kedutaan Besar RI

Setelah mendapatkan penghormatan terakhir dari masyarakat Indonesia di KBRI, pukul 14.00 jenazah diberangkatkan ke lapangan terbang dimana telah menunggu pesawat TNI—AU. yang akan membawa kedua jenazah tersebut ke Tanah Air.

Pada hari itu Presiden Suharto sedang berada di Pontianak meninjau daerah Kalimantan Barat yang masih mendapat gangguan dari gerombolan PGRS dan Paraku. Saat mendengar kabar bahwa Pemerintah Singapura telah melaksanakan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun, maka Presiden Suharto langsung mengeluarkan pernyataan bahwa Usman dan Harun dari KKO-AL diangkat sebagai Pahlawan Nasional.

17 Oktober 1968 Pukul 14.35 pesawat TNI—AU yang khusus dikirim dari Jakarta meninggalkan lapangan terbang Changi membawa kedua jenazah yang telah diselimuti oleh dua buah bendera Merah Putih yang dibawa dari Jakarta. Setibanya di Kemayoran, kedua jenazah Pahlawan itu diterima oleh Panglima Angkatan Laut Laksamana TNI R. Muljadi dan disemayamkan di Aula Hankam Jalan Merdeka Barat sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Upacara Penyambutan Jenazah Usman dan Harun
Sepanjang jalan antara Kemayoran, Merdeka Barat penuh berjejal manusia yang ingin melihat kedatangan kedua Pahlawannya, Pahlawan yang membela kejayaan Negara, Bangsa dan Tanah Air.

Malam harinya, penghormatan terakhir diberikan oleh pejabat-pejabat Pemerintah, baik militer maupun sipil. Jenderal TNI Nasution melakukan sembahyang dan beliau menunggui jenazah Usman dan Harun sampai larut malam.

Tepat pukul 13.00 siang, sesudah sembahyang Jum'at, kedua jenazah diberangkatkan dari Aula Hankam menuju ke tempat peristirahatan yang terakhir. Jalan yang dilalui iringan ini dimulai Jalan Merdeka Barat, Jalan M.H. Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Gatot Subroto, Jalan Pasar Minggu dan akhirnya sampai Kalibata.

Turut mengiringi dan mengantar kedua jenazah selain keluarga Usman dan Harun, adalah para Menteri Kabinet Pembangunan, Laksamana R. Muljadi, Letjen Kartakusumah, Para Perwira Tinggi ABRI, Korps Diplomatik, Ormas dan Orpol, dan tidak ketinggalan para pemuda dan pelajar serta masyarakat.

Bertindak sebagai Inspektur Upacara adalah Letjen Sarbini. Atas nama Pemerintah Letjen Sarbini menyerahkan kedua jasad Pahlawan ini kepada Ibu Pertiwi dan dengan diiringi doa semoga arwahnya dapat diberikan tempat yang layak sesuai dengan amal bhaktinya. Dengan didahului tembakan salvo oleh pasukan khusus dari keempat angkatan, peti jenazah diturunkan dengan perlahan-lahan ke liang lahat.

Pemerintah telah menaikkan pangkat mereka satu tingkat lebih tinggi yaitu Usman alias Janatin bin Haji Muhammad Ali menjadi Sersan Anumerta KKO dan Harun alias Tohir bin Mandar menjadi Kopral Anumerta KKO. Sebagai penghargaan Pemerintah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Sakti dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional.


SURAT TERAKHIR USMAN



Dihaturkan :
Bunda ni Haji Mochamad Ali
Tawangsari.


Dengan ini anaknda kabarkan bahwa hingga sepeninggal surat ini tetap mendo'akan Bunda, Mas Choenem, Mas Matori, Mas Chalim, Ju Rochajah, Ju Rodiijah + Tur dan keluarga semua para sepuh Lamongan dan Purbalingga Laren Bumiayu.


Berhubung rayuan memohon ampun kepada Pemerintah Republik Singapura tidak dapat dikabulkan maka perlu ananda menghaturkan berita duka kepangkuan Bunda dan keluarga semua di sini bahwa pelaksanaan hukuman mati ke atas ananda telah diputuskan pada 17 Oktober 1968 Hari Kamis Radjab 1388.


Sebab itu sangat besar harapan anaknda dalam menghaturkan sudjud di hadapan bunda, Mas Choenem, Mas Madun, Mas Chalim, Jur Rochajah, Ju Khodijaht Turijah para sepuh lainnya dari Purbolingga Laren Bumiayu Tawangsari dan Jatisaba sudi kiranya mengickhlaskan mohon ampun dan maaf atas semua kesalahan yang anaknda sengaja maupun yang tidak anaknda sengaja.


Anaknda di sana tetap memohonkan keampunan dosa kesalahan Bunda saudara semua di sana dan mengihtiarkan sepenuh-penuhnya pengampunan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.


Anaknda harap dengan tersiarnya kabar yang menyedihkan ini tidak akan menyebabkan akibat yang tidak menyenangkan bahkan sebaliknya ikhlas dan bersukurlah sebanyak-banyaknya rasa karunia Tuhan yang telah menentukan nasib anaknda sedemikian mustinya.


Sekali lagi anaknda mohon ampun dan maaf atas kesalahan dan dosa anaknda kepangkuan Bunda Mas Choenem, Mas Matori, Mas Chalim, Ju Rochajah, Ju Pualidi , Rodijah, Turiah dan keluarga Tawangsari Lamongan Jatisaba Purbolingga Laren Bumiayu.


Anaknda,
Ttd.
(Osman bin Hadji Ali)


SURAT TERAKHIR HARUN


Dihaturkan

Yang Mulia Ibundaku
Aswiani Binti Bang.
yang diingati siang dan malam.




Dengan segala hormat.


Ibundaku yang dikasihi, surat ini berupa surat terakhir dari ananda Tohir. Ibunda sewaktu ananda menulis suat ini hanya tinggal beberapa waktu saja ananda dapat melihat dunia yang fana ini, pada tanggal 14 Oktober 196 rayuan ampun perkara ananda kepada Presiden Singapura telah ditolak jadi mulai dari hari ini Ananda hanya tinggal menunggu hukuman yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 1968. 


Hukuman yang akan diterima oleh ananda adalah hukuman digantung sampai mati, di sini ananda harap kepada Ibunda supaya bersabar karena setiap kematian manusia yang menentukan ialah Tuhan Yang Maha Kuasa dan setiap manusia yang ada di dalam dunia ini tetap akan kembali kepada Illahi.


Mohon Ibunda ampunilah segala dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan ananda selama ini sudilah Ibundaku menerima ampun dan salam sembah sujud dari ananda yang terakhir ini, tolong sampaikan salam kasih mesra ananda kepada seisi kaum keluarga ananda tutup surat ini dengan ucapan terima kasih dan Selamat Tinggal untuk selama-lamanya, 


amin.


Hormat ananda, 


Ttd. 
Harun Said Tohir Mahadar
Jangan dibalas lagi

Sumber : KLIK DISINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar