Jihad-Defence-Indonesia - Manila : Sementara aparat Malaysia masih mengepung Desa Tanduo di Lahad Datu, Sabah, yang diduduki sekitar 100 orang yang mengaku sebagai ahli waris Kesultanan Sulu, pergerakan terpantau dari militer Filipina.
Militer Filipina menempatkan setidaknya enam kapal dan sebuah pesawat dekat perbatasan Malaysia-Filipina. Angkatan Laut menyebut, operasi yang dilakukan untuk menurunkan eskalasi ketegangan terkait pendudukan di Sabah.
Letnan Komandan Gregory Favic, juru bicara Angkatan Laut Filipina atau Philippine Navy (PN) mengaku, pihaknya mulai melakukan patroli di perbatasan pada 12 Februari 2013 lalu, segera setelah kabar pendudukan di Sabah diterima.
"Kami memiliki kapal angkatan laut di Laut Sulu, ada enam dan bahkan sebuah pesawat," kata dia seperti dilansir situs Manilla Bulletin, Kamis (21/2/2013).
Favic menegaskan, penempatan kapal militer itu bukan untuk menyulut perang atau membuat kondisi makin tegang. "Ini untuk menjaga keamanan dan stabilitas terkait situasi terakhir," kata dia.
Meski tak menjelaskan rinci, Favic mengatakan salah satu tujuan penempatan militer adalah menghalangi eksodus warga Filipina, terutama kerabat Tentara Kesultanan Sulu yang sekarang berada di Sabah.
Hingga kini pihaknya belum mendapatkan informasi terkait dugaan sejumlah orang Sulu maupun dari provinsi di dekatnya yang mencoba menyusup ke Sabah.
Favic menambahkan, patroli perbatasan tetap dilakukan di dalam wilayah teritorial Filipina, khususnya di area dekat Sulu, Basilan, dan Tawi-tawi.
Sementara jumlah orang Filipina yang melakukan pendudukan di Sabah belum dipastikan. Antara 100-300 orang. Mereka menuntut Malaysia mengakui Kesultanan Sulu sebagai pemilik Sah Sabah.
Klaim Sabah sebagai milik Filipina sempat mengemuka di masa Presiden Diosdado Macapagal. Ia mengangkat isu tersebut sebelum PBB membentuk Federasi Malaysia yang meliputi wilayah Kalimantan Utara -- yang lantas berganti nama menjadi "Sabah," pada tahun 1963.
Macapagal mengklaim wilayah tersebut "diserahkan" kepada pemerintah Filipina oleh Kesultanan Sulu, tetapi orang-orang di Sabah, dalam referendum yang diawasi PBB, memilih bergabung dengan Malaysia.
Sabah Malaysia Diklaim Ahli Waris Sultan
Filipina, Karma?
Wilayah Sabah, Malaysia, diklaim oleh sekelompok orang yang mengaku ahli waris dari Kesultanan Sulu, Filipina. Kasus yang membikin pusing pemerintahan negeri jiran, juga Pemerintah Filipina.
Kisruh diawali 12 Februari 2013 lalu, sekitar 100 orang Filipina, mengaku atas perintah Sultan Jamalul Kiram III, menyeberang ke Sabah, dari Mindanao menggunakan kapal.
Mereka menduduki Desa Tanduo di Lahad Datu. Dengan dalil sebagai ahli waris Sultan Sulu, orang-orang itu bersikukuh, Sabah adalah wilayah milik leluhur mereka. Sebuah klaim yang mengundang pertikaian dengan aparat Malaysia.
Mereka tak gentar, tak mau pergi, meski dikepung pasukan Malaysia -- angkatan darat, laut, juga udara. Polisi bersenjata senapan mesin pun memblokade jalan desa.
Orang-orang itu dalam kondisi kurang makan dan air. "Kami tidak akan mengalah, kami tidak akan meninggalkan wilayah itu. Sampai mati," kata Jamalul, seperti dimuat Al Jazeera, (21/2/2013).
Tindakan loyalis Sultan Sulu adalah bentuk protes atas perjanjian damai yang ditandatangani oleh pemerintah Filipina dan pemberontak Muslim Moro Oktober 2012 -- untuk mengakhiri 40 tahun konflik di selatan Filipina. Perjanjian itu dimediasi Malaysia.
Kesepakatan damai yang memberikan kendali besar atas Sulu pada Front Pembebasan Islam Moro (MILF), dianggap mengabaikan Kesultanan. "Saya tidak bisa mengerti apa yang pemerintah lakukan. Bukannya berpihak pada kami, orang Filipina, mereka malah condong ke Malaysia," katanya.
Jamalul mengatakan, buntut dari perjanjian itu, kini pengikutnya menuntut pengakuan dari Malaysia sebagai pemilik sah Sabah serta melakukan negosiasi ulang persyaratan sewa, yang sebelumnya dilakukan dengan perusahaan perdagangan Inggris. Atau dengan kata lain negeri jiran harus mengakui Kesultanan Sulu sebagai pemilik sah Sabah.
Ia merujuk pada sejarah era kolonial Inggris. Di mana Malaysia membayar "uang sewa Sabah" tiap tahun ke Kesultanan Sulu.
Meski bersikukuh tak mau pergi, Jamalul mengatakan, pihaknya membuka ruang negosiasi dengan Malaysia untuk menyelesaikan kebuntuan yang berpotensi mengganggu hubungan bilateral dua negara.
Diselesaikan Damai
Sementara, Menteri Dalam Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein, seperti dimuat Manila Standard Todaymengatakan, pihaknya akan melakukan segala cara untuk menyelesaikan masalah ini tanpa pertumpahan darah. Membuka ruang negosiasi untuk menemukan solusi terbaik dari kasus ini.
"Namun bukan berarti kami akan menyetujui setiap tuntutan," kata Hishammuddin kepada Bernama.
Bagi Malaysia, kedaulatan adalah harga mati.
Sementara di Filipina, seorang legislator meminta pemerintah mempertimbangkan untuk menghidupkan kembali klaim atas Sabah di tengah kebuntuan antara pemerintah Malaysia dan ahli waris Sultan Sulu.
"Namun harus diselesaikan dengan jalur "diplomatik" dan "damai"," kata perwakilan Bayan Muna, Teddy Casino seperti dimuat Inquirer News, Kamis (21/2/2013)
Ia menambahkan, klaim ahli waris Kesultanan Sulu punya dasar historis dan legal. Teddy bahkan menyebut, kelompok tersebut bertindak atas nama Filipina secara keseluruhan, "melanjutkan klaim atas Sabah". "Bukti sejarah menunjukkan, Kesultanan Sulu lebih dulu ada daripada pemerintahan negara yang saat ini ada (Malaysia dan Filipina)," kata dia.
Sejatinya ini bukan masalah baru. Klaim Filipina kali pertama muncul di masa Presiden Diosdado Macapagal, yang mengangkat isu tersebut sebelum PBB membentuk Federasi Malaysia yang meliputi wilayah Kalimantan Utara -- yang lantas berganti nama menjadi "Sabah," di tahun 1963.
Macapagal mengklaim bahwa wilayah tersebut "diserahkan" kepada pemerintah Filipina oleh Kesultanan Sulu, tetapi orang-orang di Sabah, dalam referendum yang diawasi PBB, memilih bergabung dengan Malaysia.
Karma?
Sementara seorang kolumnis Filipina, Ramob Tulfo, mengatakan, jika Malaysia ceroboh menangani ini, negeri jiran akan menghadapi permasalahan serupa yang dihadapi Filipina saat menghadapi pemberontakan kelompok muslim di tahun 1970-an hingga 1980-an.
Ia mengatakan, jika tindakan represif dilakukan atas kelompok yang menduduki Desa Tanduo di Lahat Datu, itu akan memicu balas dendam dari suku Moro, Tausogs di Sulu, dan Tawi-Tawi.
Sebaliknya, jika Malaysia kompromis, niscaya negara itu akan dianggap lemah.
Ramob Tulfo lantas menyinggung tindakan Malaysia yang diduga diam-diam mendukung pemberontakan di Filipina Selatan, dalam konflik Filipina-MILF. .
Diduga senjata yang datang dari Libya dan Timur Tengah melewati Malaysia dalam perjalanan ke markas MNLF. "Yang terjadi saat ini adalah kebalikannya, hukum karma sedang berlaku," kata dia di lamanInquirer News.
Sumber : KLIK DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar