Sabtu, 11 Agustus 2012

Wiratama : Sepenggal Kisah Perebutan Jembatan


Yonif 712 / Wiratama
angan membayangkan operasi pemulihan keamanan di Aceh seperti perang antara Amerika Serikat dan Irak yang merupakan perang konvensional. Operasi di Aceh ini adalah pertempuran melawan gerilya yang sporadis, yang tidak terduga kapan terjadinya. Biasanya pertempuran berlangsung jika pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) memukul pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau dihadang oleh gerilyawan GAM dalam suatu patroli.

Salah satu kisah pertempuran yang cukup berkesan di hati prajurit TNI adalah perebutan sebuah jembatan yang melintasi Krueng (Sungai) Tingkeum di Desa Darul Aman, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, sekitar 50 kilometer ke arah barat Kota Lhok Seumawe, Rabu (21/5). Daerah tersebut dikenal sebagai basis pertahanan GAM. Wilayah itu menjadi tanggung jawab Detasemen Pemukul (Denkul) 1 Batalyon 712 / Wiratama Manado, Sulawesi Utara, pimpinan Letkol Hipdizar.

Namun, sayangnya wartawan tidak berkesempatan meliput langsung jalannya pertempuran tersebut. Meskipun demikian, perebutan jembatan itu terus menjadi bahan cerita para prajurit selama dua hari wartawan berada di Markas Denkul 1 di Desa Matanggeulumpang, Peusangan.

"Coba kalau wartawan datang kemarin, bisa langsung melihat langsung. Itu pertempuran terbesar sejak kami enam bulan bertugas di sini," tutur Hipdizar hari Kamis lalu.
Jembatan di Desa Darul Aman itu panjangnya sekitar 500 meter dan berkonstruksi baja. Jembatan itu sangat strategis untuk menuju ke pedalaman Bireuen termasuk ke Desa Pante Raya yang merupakan basis GAM. Di tempat tersebut pernah dirayakan milad ke-26 GAM pada 22 Desember 2002. Oleh karena itu, perebutan jembatan menjadi penting bagi TNI untuk dapat menembus pertahanan GAM.

Jembatan tersebut sudah sejak beberapa hari sebelumnya diincar TNI untuk direbut. Namun, tampaknya GAM juga mati-matian mempertahankan jembatannya. Sejumlah bom rakitan diletakkan di sekitar penyambung wilayah itu. Selain itu, sejumlah pohon kelapa pun dirobohkan guna menghalangi orang yang menuju jembatan tersebut. Sekitar 100 meter ke arah selatan jembatan, jalan telah digali selebar tiga meter dengan dalam sekitar dua meter.

Untuk menembus jembatan itu sempat terpikir untuk menggunakan bantuan helikopter karena begitu gencarnya tembakan dari arah seberang. Namun, Denkul 1 tetap berusaha menggunakan kekuatan yang ada. Salah satu yang membuat mereka berhasil menembus jembatan itu adalah penggunaan dua truk Reo yang dilapisi baja antipeluru.

"Truk Reo ini sudah dikenal ditakuti oleh GAM," ujar Prajurit Kepala Ong Lee, pengemudi salah satu truk Reo, membanggakan truk yang dikemudikannya. Itu diketahuinya dari pembicaraan radio panggil handie talkie (HT) GAM yang frekuensinya ditangkap oleh Denkul 1, di mana GAM membatalkan penghadangan jika truk Reo ini lewat di basis GAM.

Warna kedua truk milik Komando Daerah Militer (Kodam) VII/Wirabuana, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) ini juga lain dari mobil/truk standar TNI yang biasanya hijau polos. Warna dua truk Reo ini loreng hijau, putih, hitam.

Sambil melaju kencang di jembatan, tembakan melalui senapan mesin SMR yang dioperasikan Kopral Dua (Kopda) S Mongkow dan Kopda ABD Haris terus diarahkan ke arah depan. "Selain tembakan, granat-granat yang dilontarkan dengan grenade launching machine (GLM) meledak di kiri kanan truk. Tetapi saya terus melaju ke depan," ujar Ong Lee.

Yonif 712 / Wiratama
Tidak mudah untuk menembus pertahanan GAM itu. "Apalagi SMR saya sempat macet tiga kali. Buat tentara, hal yang paling mengkhawatirkan adalah jika senjata macet. Namun, teman saya membantu dengan tembakan senapan mesin minimi, sambil saya memperbaiki SMR," kata Mongkow. Maklum SMR tersebut sudah berumur 29 tahun, sedangkan gerilyawan GAM umumnya menggunakan AK-47 versi baru. Pukul 11.00, akhirnya jembatan itu dapat dikuasai dan TNI membuat pos di rumah-rumah kosong dan sekolah yang dibakar.

Tingkat kesulitan perang gerilya memang lebih tinggi dibanding perang konvensional. Dalam konteks ini, berbaurnya GAM dengan masyarakat adalah kesulitan yang mesti dipecahkan. Apalagi di wilayah Denkul 1 itu GAM telah menarik Kartu Tanda Penduduk (KTP) masyarakat sehingga antara GAM dan masyarakat sulit diidentifikasi.

Intel GAM yang dikenal sebagai cantoi yang berada di mana-mana-termasuk duduk-duduk di kedai sekitar pos TNI-juga menyulitkan TNI. "Baru kami mengikat tali sepatu, mereka sudah tahu kami akan jalan dan menyebarkan rencana itu melalui HT. Malah kadang orang yang mentraktir di kedai bertemu di lapangan ketika bertempur," ujar seorang prajurit.

Belum lagi persoalan bahasa karena umumnya masyarakat berkomunikasi dengan bahasa Aceh. "Kami sudah biasa kalau bertanya ke masyarakat yang dijawab dengan hana teupu (tidak tahu)," ujar Perwira Seksi Operasi Denkul 1 Lettu Wiryanto. Istilah hana teupu itu sudah menjadi istilah yang populer di kalangan prajurit.

Lain halnya pertempuran di Desa Lancuk, Kecamatan Jeumpa, Bireuen, TNI/Polri memang mampu masuk ke wilayah basis-basis GAM, tetapi agak kesulitan untuk menembaki anggota GAM. Hal yang sama terlihat di Desa Teupin Jalo, Kecamatan Samalanga. Masalahnya, anggota GAM yang bertempur tidak begitu melayani ketika TNI/Polri melepaskan tembakan. Kalaupun GAM melayani serangan TNI/Polri, sifatnya hanya kalau mereka terdesak untuk membela diri dan sekaligus melarikan diri. Bahkan, anggota GAM sendiri sudah menggabungkan dirinya dengan warga setempat tanpa menggunakan atribut seragam militernya.

Tidak jarang keluar dari mulut personel pasukan TNI/Polri bahwa GAM pengecut karena tidak berani bertempur secara kesatria menunjukkan jati dirinya. Ketika terjadi pertempuran, biasanya GAM hanya mau melayani sekali-sekali saja. Kalaupun ada serangan balik dari GAM, sifatnya hanya sebagai serangan psikis. Seolah-olah GAM masih kuat dan berani bertempur.

Padahal setiap kali TNI/Polri merangsek ke basis-basis pertahanan GAM, tak ada perlawanan yang berarti. Anggota GAM terlihat justru mundur dan melarikan diri.

Begitulah kesulitan yang terjadi di lapangan. Entah kapan perang gerilya itu akan membuahkan hasil di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam. (BUR/SMN/B03/JOS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar