Jihad-Defence-Indonesia - Dilihat dari kalibernya, jelas meriam ini tak memiliki daya getar yang diperhitungkan oleh lawan. Tapi lain halnya dalam bentuk pengabdian, Bofors 40mm punya andil yang cukup besar dalam kancah perjuangan, khususnya pada elemen armada kapal perang TNI AL dan korps artileri pertahanan udara (arhanud) TNI AD. Meriam ini pun sudah sangat kondang, kiprahnya sudah dimulai sejak perang dunia kedua sebagai sistem senjata anti serangan udara yang diandalkan pasukan sekutu. Dan, hingga kini Bofors 40mm telah diciptakan dalam banyak varian tempur.
Dalam tulisan kali ini, kami akan mengupas Bofors 40mm L/70 single barrel (laras tunggal) yang diadopsi oleh TNI AL dan TNI AD. Di lingkungan armada TNI AL, meriam anti serangan udara ini terbilang punya nilai historis yang tinggi, pasalnya Bofors 40mm L/70 menjadi senjata andalan yang terpasang pada STC (satuan tugas chusus)-9 dalam misi penysupan pasukan tempur dalam operasi Trikora di tahun 1962. STC-9 yang terdiri dari tiga MTB (motor torpedo boat) kelas Jaguar buatan Jerman Barat, pada tiap kapalnya dibekali dua pucuk Bofors 40mm L/70, yakni pada haluan dan buritan.
STC-9 dalam misi 2.000 mil menuju Irian Barat terdiri dari KRI Matjan Kumbang (606), KRI Harimau (607), dan KRI Matjan Tutul (602). Meski labelnya adalah MTB yang artinya punya senjata andalan berupa torpedo, tapi sayangnya dalam misi tersebut, tidak satu pun dari 3 kapal perang tadi yang dilengkapi torpedo, mengapa? Menurut Laksamana Sudomo dalam bukuKonsiprasi Di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul, disebutkan bahwa sejak awal memang sudah direncanakan TNI AL akan membeli MTB dari Jerman (Barat), kemudian akan dilengkapi torpedo buatan Inggris. Sebagai negara yang baru saja dikalahkan dalam perang dunia, industri strategis di Jerman saat itu terkena beragam pembatasan. Semisal boleh memproduksi MTB, tapi tidak boleh membuat torpedo.
Tentu dengan merebaknya konfrontasi dengan Belanda, sudah bisa ditebak, Indonesia kesulitan mendapatkan Torpedo dari Inggris, pasalnya Belanda adalah sekutu Inggris dalam NATO. Tapi show must go on, Laksamana Sudomo menyebutkan, “justru dengan tanpa membawa torpedo, kapal dapat dijejalkan pasukan, di luar anak buah kapal. Ditambah lagi keyakinan Sudomo, “kami juga telah memperkirakan tidak akan bertemu dengan sasaran di atas air, sehingga dalam misi ini torpedo tidak diperlukan.”
Nah, bagaimana seandainya disergap dari udara? Setiap MTB memiliki sepasang Bofors 40mm buatan Swedia, dan sepasang SMB (senapan mesin berat) kaliber 12,7mm pada sisi kiri kanan dan kiri anjungan. Menurut kalkulasi Sudomo, Bofors 40mm cukup handal untuk merontokkan pesawat terbang atau bila terpaksa harus melawan penyergapan dari laut, termasuk SMB 12,7mm.
Kiprah Bofors 40mm di Laut Arafuru
Seperti sudah banyak diulas dalam beragam lituratur, konvoi STC-9 pada 15 Januari 1962, tepatnya sekitar pukul 21.00 keberadaanya telah terdeteksi oleh pesawat intai Belanda, jenis Neptune. Dan, sejak itulah konvoi STC-9 menjadi bulan-bulanan armada destroyer Belanda. Sebuah perlawanan yang tak seimbang, konvoi STC-9 dikeroyok oleh HRMS Kortaner, HRMS Utrecht, dan HRMS Eversten. Meski kisah akhirnya sudah diketahui, dimana KRI Matjan Tutul kandas bersama Komodor Yos Sudarso dan Kapten (pelaut) Wiratno, komandan KRI Matjan Tutul. Tapi ada sisi yang menarik dari peran Bofors 40mm, inilah untuk pertama kali armada kapal perang modern TNI AL terlibat duel artileri di tengah laut.
Seperti sudah banyak diulas dalam beragam lituratur, konvoi STC-9 pada 15 Januari 1962, tepatnya sekitar pukul 21.00 keberadaanya telah terdeteksi oleh pesawat intai Belanda, jenis Neptune. Dan, sejak itulah konvoi STC-9 menjadi bulan-bulanan armada destroyer Belanda. Sebuah perlawanan yang tak seimbang, konvoi STC-9 dikeroyok oleh HRMS Kortaner, HRMS Utrecht, dan HRMS Eversten. Meski kisah akhirnya sudah diketahui, dimana KRI Matjan Tutul kandas bersama Komodor Yos Sudarso dan Kapten (pelaut) Wiratno, komandan KRI Matjan Tutul. Tapi ada sisi yang menarik dari peran Bofors 40mm, inilah untuk pertama kali armada kapal perang modern TNI AL terlibat duel artileri di tengah laut.
Dalam masa pengepungan, Yos Sudarso memerintahkan tembakkan dari kedua Bofors Matjan Tutul ke arah HRMS Eversten. Sebuah tindakan yang berani tapi sia-sia, sebab posisi sasaran berada jauh di luar jangkauan Bofors 40mm yang sejatinya hanya senjata anti serangan udara. Sebelumnya Bofors 40mm juga telah beraksi sesuai kodratnya, yakni disaat Neptune meluncurkan peluru suar dengan parasut, KRI Matjan Tutul juga memuntahkan peluru dari Bofors 40mm ke arah pesawat intai tersebut. Begitu juga dengan KRI Matjan Kumbang juga ikut melepaskan tembakan Bofors 40mm ke arah Neptune. Namun sesuai briefing , sebenarnya MTB tidak diperkenankan menembak sebelum adanya perintah dari Komandan Satgas (saat itu Kolonel) Sudomo, karena misi mereka adalah mendaratkan pasukan, bukan untuk bertempur. Sayangnya Neptune yang sejatinya ideal menjadi santapan proyektil Bofors 40mm bisa melenggang bebas dengan melepaskan beberapa flare.
Yang perlu dicatat, Bofors 40mm L/70 pada armada MTB tidak dilengkapi dengan kubah (pelindung), posisi awak pengisi amunisi benar-benar tanpa perlindungan. Memang ada plat baja sebagai Shield/perisai di bagian muka, tapi sangat terbatas dan kurang member efek perlidungan pada awak. Dan benar saja, sebuah bom meledak tepat di buritan KRI Matjan Tutul, meriam Bofors 40mm yang ada disana hancur berantakan. Kelasi Sadikin, selaku penembak meriam gugur seketika di pos nya. Sekitar 20 menit Matjan Tutul terbakar sebelum akhirnya tenggelam menjelang tengah malam. Menurut catatan sejarah, KRI Matjan Tutul tenggelam pada pukul 21.40 waktu setempat.
Bofors 40mm L/70 di Arhanud TNI AD
Belum didapat informasi sejak tahun berapa korps Arhanud TNI AD mulai mengoperasikan Bofors 40mm L/70. Ada yang menyebut meriam ini mulai melengkapi persenjataan korps baret coklat pada awal tahun 80-an. Bofors 40mm L/70 yang digunakan oleh TNI AL dan TNI AD punya karakteristik kerja yang sama. Hanya saja untuk versi arhanud, meriam dioperasikan secara towed (tarik), untuk itu meriam dilengkapi 4 roda. Hingga kini Bofors 40mm L/70 masih terus digunakan sebagai kekuatan dalam batalyon artileri pertahanan udara sedang (arhanudse) dengan sejumlah program retrofit.
Belum didapat informasi sejak tahun berapa korps Arhanud TNI AD mulai mengoperasikan Bofors 40mm L/70. Ada yang menyebut meriam ini mulai melengkapi persenjataan korps baret coklat pada awal tahun 80-an. Bofors 40mm L/70 yang digunakan oleh TNI AL dan TNI AD punya karakteristik kerja yang sama. Hanya saja untuk versi arhanud, meriam dioperasikan secara towed (tarik), untuk itu meriam dilengkapi 4 roda. Hingga kini Bofors 40mm L/70 masih terus digunakan sebagai kekuatan dalam batalyon artileri pertahanan udara sedang (arhanudse) dengan sejumlah program retrofit.
Bofors 40mm L/70 dirancang sejak akhir perang dunia kedua, dan mulai resmi dioperasikan pada tahun 1951. Sejak mulai diproduksi, Bofors 40mm mendapat predikat sebagai senjata yang laris di pasaran, ekspor meriam ini terbilang laku keras di seluruh dunia. Bahkan Inggris memproduksi Bofors 40mm berdasarkan lisensi sebanyak 1000 pucuk, dimana produksinya dipercayakan kepada Royal OrdnanceFactory. Di Inggris, Bofors 40mm L/70 dipercaya untuk memperkuat persenjataan pada resimen Royal Artilery LAA (light anti aircraft), dan beberapa resimen pertahanan udara RAF (Royal Air Force). Di tangan Inggris kemudian, meriam ini dikembangkan lebih canggih dengan integral power dan radar pengendali tembakan. Inggris sendiri mengakhiri penggunaan meriam ini pada tahun 1983, dan kemudian mempercayakan elemen pertahanan udara di kapal perangnya pada rudal Sea Cat.
Dilihat dari efek gempurnya, Bofors 40mm L/70 mampu menghantam sasaran secara efektif di udara hingga jarak 3.000 meter. Sedangkan jarak tembak maksimum secara teori dapat mencapai 12.500 meter. Dalam satu menit, awak meriam yang terlatih dapat memuntahkan 240 peluru. Untuk kecepatan luncur proyektil mencapai 1.021 meter per detik. Dalam operasionalnya, Bofors 40mm L/70 diawaki oleh 6 personel, dimana 2 orang bertidak sebagai juru tembak, dan 4 orang lainnya bertindak sebagai loader (pengisi) peluru. Salah satu kelemahan meriam ini adalah pola loading pelurunya masih manual.
Kaliber Terpopuler di Armada TNI AL
Sampai saat ini Bofors 40mm menjadi kaliber meriam yang paling banyak digunakan dalam armada kapal perang TNI AL. Mulai dari FPB-57, KCR kelas Dagger, frigat kelas Fatahilah, LPD (landing platform dock) kelas Makassar, sampai LST (landing ship tank) kelas Teluk Banten, semuanya mengadopsi unsur Bofors 40mm dengan berbagai versi yang lebih maju. Salah satunya Bofors 40mm di KCR kelas Dagger dan KRI Fatahilah sudah mengadopsi pengisian amunisi secara otomatis. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Sumber : KLIK DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar