Selasa, 14 Agustus 2012

Pelanggaran HAM Berat 1965

      Ada upaya untuk mengadili pelanggaran HAM berat tahun 1965. Komnas HAM dikabarkan telah melakukan penelitian dan telah diserahkan ke Jaksa Agung untuk dapat dipertimbangkan sebagai bahan menyelenggarakan pengadilan HAM. Mengesankan, bahwa vonis itu telah ditetapkan, tinggal siapa yang menjadi terdakwa.
Peristiwa 1965, dimulai dengan penculikan dan kemudian pembunuhan beberapa pimpinan teras TNI/Angkatan Darat. Pelakunya adalah Gerakan 30 September yang mengatakan hendak menggagalkan kup Dewan Jenderal. Setelah itu terjadi “bunuh membunuh” diantara sesama warga bangsa. Adalah benar,  bahwa yang paling banyak terbunuh adalah saudara-saudara kita anggota  atau simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia). Hal ini merupakan manifestasi dari kemarahan rakyat  terhadap PKI yang berada dibalik Gerakan 30 September, yang ternyata sebuah kudeta. Oleh karena itu, kudeta tersebut dinamakan G30S/PKI.
     Kondisi bunuh membunuh itu langsung terjadi setelah kejadian malam 30 September 1965. Di Yogyakarta, Komandan Korem Kolonel Katamso dan Kepala Staf Korem Letkol Soegiono juga diculik dan kemudian dibunuh oleh anak buahnya sendiri yang bersimpati pada G30S/PKI.
     Tetapi, pada tanggal 17 Oktober 1965, dalam perjalanan dari Yogyakarta ke Solo, kami menyaksikan mayat-mayat anggota atau simpatisan PKI bergelimpangan di sebuah sungai di Klaten. Keadaan ternyata cepat berbalik, sejalan dengan gagalnya G30S/PKI.
    Kemarahan rakyat terhadap G30S/PKI  ditumpahkan dengan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI di seluruh Indonesia. Daerah yang menderita hebat adalah  Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Betapa besar skala pembunuhan itu digambarkan dalam buku Malam Bencana 1965 yang baru terbit, dengan editor Taufik Abdullah, Sukri Abdulrachman, dan Restu Gunawan.
    Saat menggambarkan keadaan di Bali, dalam buku itu ditulis dengan judul “Neraka Dunia” di Pulau Dewata. Antara lain tertulis: ...” masyarakat di Bali ketika itu mabuk dan melakukan aksi pembunuhan terhadap warga Bali sendiri yang dicap sebagai orang-orang PKI”.
Siapa yang bertanggung jawab?
     Kalau benar akan dilakukan pengadilan HAM berat 1965, siapa yang akan menjadi tertuduh? Siapa yang harus diadili? Mungkin tidak akan semudah dibayangkan, selain berdasar pertimbangan politik. Mungkinkah pengadilan HAM  bebas dari politik?
    Generasi sekarang, perlu mewarisi nilai-nilai sejarah yang benar, yang bebas dari politik. Kalau nanti akan dilangsungkan pengadilan HAM berat tahun 1965, akan sangat bermakna sebagai pembelajaran sejarah, kalau pengadilan HAM itu bebas dari kepentingan politik.
     Apa yang terjadi pada 1965 sesungguhnya adalah suatu pembelajaran yang sangat berharga. Masyarakat yang marah terhadap PKI merupakan reaksi terhadap perilaku PKI dengan kudeta G30S/PKI-nya dan juga peristiwa-peristiwa politik sebelum itu. Bahkan, masyarakat jauh mengenang pemberontakan PKI Madiun 1948, dimana banyak ulama terbunuh atau dibunuh oleh PKI/Muso. Sebelum dibubarkan, sebagaimana  digambarkan di Bali, kemarahan masyarakat berbentuk pembunuhan terhadap siapa saja yang dianggap simpatisan PKI. Inilah yang melahirkan kondisi  “Neraka Dunia di Pulau Dewata”.
     Sayang,  pembubaran PKI itu baru terjadi enam bulan setelah G30S/PKI, yaitu setelah keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, surat perintah Presiden/Panglima tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri/Panglima TNI/Angkatan Darat. Dengan Surat Perintah itu, Pak Harto memiliki legalitas untuk membubarkan PKI. Seandainya Surat Perintah itu datang lebih awal, suasana (mungkin) akan lebih terkendali dan mengurangi kemarahan rakyat, sehingga suasana timbulnya “Neraka Dunia”  tidak perlu terjadi.
     Hal ini terbukti di Jawa barat, dimana pembunuhan terhadap anggota atau simpatisan PKI relatif kecil, karena PKI  Jawa Barat dinyatakan membubarkan diri oleh Panglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adjie. Padahal, Jawa Barat adalah daerah “anti Komunis”, dimana Masyumi memenangkan Pemilu 1955 dan keberadaan markas Divisi Siliwangi yang menumpas pemberontakan PKI/Muso pada 1948.
    Dengan gambaran seperti itu, pembunuhan terhadap anggota atau simpatisan PKI, sebagai manifestasi kemarahan rakyat terhadap PKI dapat dicegah, seandainya PKI cepat dibubarkan. Yakinkah kita, bahwa baik Bung Karno maupun Pak Harto tidak menghendaki pembunuhan massal seperti itu? Adalah kondisi politik diwaktu itu , yang menyebabkan semua itu tidak terhindarkan. Bung Karno sempat meminta HMI untuk mengirimkan  misi melerai suasana gonto-gontokan itu. Tetapi hasilnya nihil. Seandainya G30S/PKI tidak memulai gerakannya dengan pembunuhan, kemarahan rakyat pasti tidak sehebat itu. Hukum karma telah menimpa PKI meskipun para anggota PKI atau simpatisannya tidak mengetahui latar belakang apa sesungguhnya terjadi.
Penutup
     Dengan gambaran seperti itu, disinilah perlunya negara menerapkan Demokrasi dalam arti sesungguhnya, dimana peralihan kekuasaan negara dapat berlangsung dengan aman dan damai tanpa korban jiwa sama sekali. Apa yang terjadi pada 1965, kalau benar sebuah pelanggaran HAM  berat, hal itu disebabkan budaya politik sebagian masyarakat kita yang masih membenarkan segala cara untuk mencapai tujuan politik.          
     Doktrin “tujuan menghalalkan cara” yang dianut kaum Komunis, menjadi awal pelanggaran HAM berat. Pengadilan sesungguhnya sudah pernah diselenggarakan, dimana telah digelar Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) pada 1967, yang mengadili tokoh-tokoh dibalik peristiwa itu. Akankah pengadilan itu diulang kembali dengan nama Pengadilan HAM berat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar