Jihad-Defence-Indonesia - Di dunia ini hanya ada 112 unit pesawat F-86 Avon Sabre, 23 di antaranya berada di Indonesia pasca dihibahkannya jenis pesawat ini kepada TNI AU pada awal tahun 1973. Keduapuluh tiga pesawat datang dalam program yang disebut Garuda Bangkit yaitu mendatangkan 18 unit pesawat F-86 Avon Sabre datang pada tahun 1973 dalam dua gelombang pengiriman dan lima unit F-86 datang pada medio 1976 dari TUDM (Tentara Udara Diraja Malaysia) yang tadinya dioperasikan oleh Skadron Udara-11 bermarkas diButterworth.
MIG Killer
F-86 Sabre adalah pesawat legendaris, terkenal sejak Perang Korea dan mendapat sebutan MiG-Killer karena berhasil merontokkan 792 pesawat MiG15 dalam 900 kali pertempuran udara dan “hanya” kehilangan 78 unit. Bila ini benar maka kill ratio pesawat F-86 terhadap MiG-15 adalah 10 : 1, angka yang fantastic. Meskipun dokumen Rusia menyebut bahwa mereka berhasil merontokkan 650 Sabre di udara dan diakui Amerika “hanya” 224 pesawat, terpenting bahwa pesawat F-86 Sabre memang dirancang sebagai pesawat tempur untuk keunggulan di udara.
Berakhirnya Perang Dunia II hampir tidak ada perlombaan senjata, semua pihak masih menyesal perbuatan masing-masing selama perang. Sementara itu dunia penerbangan makin maju sebagai dampak pengalaman selama perang, sehingga nantinya tercipta sebuah pesawat tempur yang kecil, lincah, tidak boros bahan bakar, dioperasikan seorang pilot dan mampu menyergap musuh dengan kecepatan tinggi. Pihak Barat dalam hal ini Amerika menelurkan pesawat yang disebut F-86 Sabre dan pihak Timur dalam hal ini Rusia menghasilkan pesawat yang disebut MiG-15. Sepasang `anak kembar” inilah yang nanti akan bertemu dalam duel udara di atas Korea.
Edgar Schmued berhasil merancang pesawat yang dipersyaratkan oleh AU AS, maka :ahirlah pesawat F-86 Sabre yang terbang perdana pada tanggal 1 Oktober 1947. Pesawat lincah yang ditenagai dengan mesin jet trial dan hanya diawaki seorang Pilot ini mampu melesat terbang mendekati kecepatan suara dengan struktur yang telah dirancang untuk penerbangan supersonik Untuk itulah ekor pesawat telah mengadopsi rancang bangun mutakhir serta adanya horizontal stabilizer yang mempunyai satu kesatuan – bertolak belakang dengan stabilizer pesawat terdahulu. Dengan penemuan baru ini masalah kontrol dapat teratasi dan pesawat dapat terbang melebihi kecepatan suara, karena pilot saat menggerakkan stick control semua bagian stabilizer akan bergerak. Namun teknologi permesinan belum mampu mengatasi, sehingga pesawat F-86 hanya dapat terbang supersonik dengan cara terbang dive pada sudut antara 70 hingga 90 derajat mengarah ke bawah.
Tiga prototipe telah dibuat untuk uji terbang statis dan dinamis, sayang pesawat pertama jatuh terbakar setelah terbang 241 kali. Sedang prototipe kedua dan ketiga terus diuji coba hingga tahun 1953 agar mendapat pesawat yang diinginkan para pilot yaitu sebuah pesawat tempur kecil, lincah dan bertenaga. Setelah dilaksanakan serangkaian uji terbang akhirnya tercipta pesawat yang diberi registrasi F-86 dengan enam senjata kaliber 12,7 mm (Browning M3 .50 inci) masing-masing dengan 300 butir peluru. Meskipun masih dilengkapi dengan alat bidik manual (manual ranging computing gun sight) jenis Mark-18, pesawat yang mmpu terbang pada ketinggian 35.000 kaki ini merupakan pesawat terhebat di zamannya. Tidak heran banyak angkatan udara ingin memiliki pesawat ini. Bahkan beberapa negara ingin memproduksinya. Antara lain adalah pabrikan Commonwealth Aircraft Corporations di Fisherman’s Bend, Melbourne, Australia, mendapat lisensi yang nanti hasil produksinya diberi label F-86 Avon Sabre (diproduksi 112 unit). Sedang Kanada dengan label CL‑13 Sabre (diproduksi 1.813 unit) dan Amerika tetap memakai label North American F-86 Sabre.
Efek Perang Korea
Dampak Perang Korea, permintaan pesawat F-86 dari luar negeri melesat tajam. Negara pertama yang berhasil mendapatkannya adalah Taiwan. Sebanyak 160 unit F-86F-1-NA dikirim ke Taiwan periode 1954 hingga 1956. Belakangan pada tahun 1958 dikirim lagi 320 unit F-86 dan tujuh unit tipe RF-86F dari surplus AU AS dan 135 unit lagi yang kesemuanya di upgrade menjadi F-86F-40. Tahun 1954 Kongres Amerika menyetujui pengiriman pesawat jenis ini ke Jepang guna membangun pasukan bela diri Jepang yang kemampuannya dikebiri akibat kalah perang. Awalnya terkirim68 unit T-33 dan 54 unit F-86 Sabre, belakangan dikirim lagi 135 unit dimana sebagian dirakit oleh Mitsubishi. Kemampuan merakit inilah nantinya menjadikan Mitsubishi mampu membuat sendiri 300 unit F-86F di bawah pengawasan Amerika. Hingga tahun 1957 tulang punggung kekuatan udara Nihun Koku Jeitei ditopang oleh F-86F Sabre.
Saking lakunya pesawat ini, beberapa negara termasuk Indonesia hanya mendapat pesawat bekas pakai. Indonesia mendapat dari Australia dan Malaysia padahal Malaysia sendiri mendapat pesawat bekas dari Australia. Negara penerima pesawat F-86 bekas pakai lainnya adalah Venezuela yang mendapat bekas dari Argentina dan juga Jerman; Saudi Arabia dan Portugal dari Norwegia; Bangladesh dari Pakistan; dan Tunisia dari Amerika. Selain tampil sebagai pesawat andal dalam medan perang, pesawat yang lincah ini juga dipakai sebagai pesawat andalan tim aerobatik angkatan udara di antaranya Thunderbirds (USAF), Golden Eagle (Canada), Black Panther, Red Diamonds, Black Diamonds, 78 Wing Sabre Team, 3 Squadron Team dan Markerman (Australia), Blue Impuls (Jepang) dan tentunya TNI AU dengan tim aerobatik yang dinamakan Spirit-78. Kesemua tim aerobatik memanfaatkan kelincahan F-86 dan kemampuan manuver pada ketinggian rendah yang dapat disajikan secara spektakuler. Kemampuan untuk terbang invertel selama 12 detik juga merupakan salah satu sajian semua tim aerobatik yang mengunakan pesawat ini.
Kekuatan udara Indonesia
Pesawat F-86 Avon Sabre yang dioperasikan TNI AU sejak tahun 1973 akhirnya dikandangkan pasca tragedi jatuhnya pesawat TS-8620 dengan menewaskan pilotnya yaitu Mayor Pnb Budiardjo Soerono. Peristiwa tanggal 30 Oktober 1980 ini menutup lembar sejarah keperkasaan sang Sabre yang sempat menjadi perangkat tim aerobatik Spirit-78 di masa jayanya. Kemampuan sang Sabre masih dapat ditampilkan para pilot muda pimpinan Mayor Budiardjo saat mengikuti hari ABRI tanggal 5 Oktober 1980 di Jagorawi dengan menampilkan manuver yang spektakuler, lebih spektakuler lagi karena semua anggota tim adalah para pilot siswa konversi yang belum menyelesaikan pendidikan. Berkat leader yang baik para siswa mampu mengikuti manuver yang sulit sambil fly pass, antara lain dengan melakukan trill in roll, wing over dan clover leaf in box. Meskipun hanya dengan empat pesawat, “penampilan terakhir” F-86 di hadapan publik ini memancing decak kagum.
Kini kita masih dapat melihat sisa-sisa pesawat F-86 Avon Sabre yang dulunya dioperasikan di Skadron Udara 14 menggantikan keberadaan pesawat MiG-21 yang dikandangkan tahun 1966. Sejumlah pesawat F-86 registrasi TNI AU kini masih dapat dilihat di museum di Indonesia dan juga yang dijadikan monumen (lihat boks). Sedang sisanya semua diborong ke Amerika oleh perusahaan Aero Trader yang memenangkan tender pembelian pesawat F-86 (bekas) pada tahun 1989. Pesawat-pesawat tersebut saat ini tersimpan di Ocotillo, Wells. Meskipun cuma dioperasikan selama tujuh tahun (1973 -1980) pesawat ini telah mengubah cars pandang pilot tempur Indonesia dalam mengelola serta merawat sebuah skadron udara.
Diawali dengan pengiriman sejumlah teknisi ke Australia pada tanggal 30 Mei 1972 maka operasi bersandi Garuda Bangkit secara resmi diberlakukan. Operasi ini dipimpin oleh Pangkohanudnas (Marsekal Muda TNI Iskandar) guna menerima satu skadron plus pesawat bekas pakai yaitu F-86 Avon Sabre. Selanjutnya gelombang kedua diberangkatkan dan terakhir 12 pilot menutup pengiriman personel TNI AU ke Australia. Mereka belajar di Williamstown RAAF Base, Sydney, tempat dimana skadron Sabre berada.
Sayang dua pilot dikembalikan dan tidak dapat menyelesaikan pendidikan. Hal ini disebabkan karena pilot yang dikirim adalah mantan pilot MiG yang telah tujuh tahun tidak terbang di pesawat tempur, meskipun sebelumnya telah diterbangkan lagi dengan pesawat L-29 di Indonesia untuk mengembalikan feeling sebagai pilot tempur. Lagi pula pesawat F-86 memang tidak ada yang bertempat duduk ganda sehingga harus langsung terbang solo. Namun begitu sesuai dengan silabus pendidikan RAAF para pilot hams terbang dulu di pesawat jet dual control type Aermachi milik RAAF yang dipakai sebagai pesawat OCU. Pola yang sama nantinya diterapkan buat pendidikan pilot Sabre di Indonesia, mereka harus terbang dan selesai mengikuti pelatihan dengan pesawat T-33 yang dipakai sebagai pesawat pre-Sabre transition.
Para teknisi TNI AU kembali ke Indonesia dalam dua gelombang. Gelombang pertama terdiri dari 64 teknisi dan gelombang kedua terdiri dari 49 teknisi diangkut dengan pesawat C-130 milik RAAF. Pendaratan para teknisi di Lanuma Iswahyudi akhir Desember 1972 sebagai persiapan kedatangan pesawat dan persiapan gelar skadron tempur. Untuk itu Lanuma Iswahyudi dipersiapkan dan dilengkapi dengan peralatan layaknya pangkalan operasional dengan dibangunnya fasilitas pengisian bahan bakar, renovasi tower beserta alat komunikasi, overlay landasan, dipasangnya barrier barricade, dibangun laboratorium minyak dan dibangun fasilitas perumahan bagi para teknisi Australia termasuk pembangunan mess yang kini dikenal dengan sebutan Wisma Cumulus di Sarangan.
Dalam keterbatasan prasarana ke 10 pilot Indonesia dapat terbang dengan pesawat F-86 Sabre dan menyelesaikan pendidikan tepat waktu. Akhirnya pada awal tahun 1973 dibagi dalam dua gelombang diadakan feri pesawat dengan rute Williamstown – Darwin – Denpasar – Iswahyudi. Untuk rute Denpasar ke Iswahyudi, beberapa pilot TNI AU menerbangkan pesawatnya sendiri. Terjadi kecelakaan ketika pesawat yang diterbangkan Lettu Pnb Budiardjo keluar landasan saat proses lepas landas. Pesawat registrasi F-8606 ini rusak cukup parah dan dikirim kembali ke Australia. Belakangan pesawat yang aslinya berregistrasi A94-952 (serial number CAC-199) dikirim ke Warbird Aviation Museum sebagai alat peraga pelatihan teknisi avionik. Nantinya pihak RAAF mengganti pesawat yang kecelakaan ini dengan pesawat registrasi A94-370 yang oleh TNI AU diberi registrasi F-8617 dan datang pada bulan November 1973.
Titik Balik
Kedatangan pesawat F-86 di Indonesia seolah merupakan titik awal kebangkitan skadron tempur, selain kemampuan kombatan sebagai pilot tempur diperkenalkan pula cara mengoperasikan, mendidik pilot dan teknisi serta penyusunan silabus dan persiapan briefing bagi siapapun yang akan memulai tugas di skadron udara. Saat itu para instruktur dari RAAF mengajarkan pengelolaan skadron mulai dari pelaksanaan morning briefing yang diikuti semua personel yang terlibat kegiatan, adanya weekly forum dan bold face check bagi pilot dan teknisi yang secara rutin dilakukan. Metode ini hingga kini tetap diberlakukan dan diadopsi oleh semua skadron di TNI AU!
Pembuatan Standard Operating Procedure, pembagian Training Area, kesiapan SAR termasuk ketersediaan pesawat heli saat training dan pembuatan Air Weapon Range juga limbah dari sentuhan personel RAAF yang bertugas mendampingi para perwira TNI AU selama satu tahun dalam mempersiapkan sebuah skadron udara. Dengan kelengkapan fasilitas latihan untuk skadron udara maka Lanuma Iswahyudi ditetapkan sebagai pangkalan model – atau model pangkalan buat TNI AU yang akan membangun dan mengembangkan sebuah pangkalan udara. Nantinya semua pangkalan yang ada akan meniru Lanuma Iswahyudi. Termasuk pangkalan yang dikembangkan kemudian yaitu Medan, Pekanbaru, Makassar dan Kupang.
Sayang kemampuan pemukul F-86 yang dioperasikan di Skadron Udara-14 tidak dapat dipergunakan dalam operasi Seroja yang digelar di Timor Timur medio Desember 1975. Berapa jam sebelum F-86 berangkat ke Bacau keluar perintah untuk membatalkan operasi udara yang telah dipersiapkan lama, dan akhirnya Operasi Cakar Garuda dibebankan pada Skadron Udara dengan pesawat T-33. Meskipun operasi Cakar Garuda terlambat beberapa bulan menunggu proses untuk mempersenjatai pesawat T-33, namun operasi udara dapat berjalan dengan baik sambil menunggu kedatangan peawat OV-10F yang baru datang pada akhir tahun 1976.
Memang pesawat F-86 tidak terlibat operasi bersenjata yang digelar TNI, namun kehadiran pesawat Sabre telah mengangkat nama TNI AU saat tampil dalam demo udara di Senayan tanggal 5 Oktober 1978. Dengan hanya persiapan selama dua bulan Skadron Udara -14 berhasil menampilkan sebuah tim aerobatik dengan 12 manuver yang spektakuler. Penampilan yang dilengkapi dengan smoke trail apa adanya dengan mengisi salah satu tangki pesawat dengan oh jenis 0M-11 sehingga asap berwarna putih dapat tersajikan. Padahal untuk mengoperasikan asap ini salah satu. switch di pesawat yaitu landing gears light switch telah diubah fungsinya dari untuk menyalakan lampu landing gears menjadi untuk menyalakan dan mematikan asap putih. Apresiasi buat tim Dislitbangau yang telah menciptakan alat ini meskipun satu pesawat yaitu F-8606 menjadi rusak flaps akibat korosi saat dicobakan asap berwarna dengan menambahkan konsentrat pada bahan bakar pesawat.
Masuk museum
Selama tujuh tahun dioperasikan, 38 pilot tempur TNI AU telah menerbangkan pesawat ini dan menyandang predikat pilot kombatan. Pilot kombatan yang hebat karena untuk terbang dengan pesawat ini sang siswa harus terbang solo sejak awal – karena memang pesawat ini tidak ada jenis dual control. Dari 38 pilot tempur hanya satu yang meninggal di pesawat (Mayor Pnb Budiardjo Soerono) sementara tiga pilot telah menggunakan kursi lontar dan selamat. Keempat pesawat yang mengalami kecelakaan dalam waktu terpisah tersebut semua hancur. Sisa pesawat Sabre kini masih dapat dilihat satu di Museum Dirgantara Mandala, satu di Wingdiktekal Lanud Husein Sastranegara sebagai alat peraga dan delapan menjadi monumen di berbagai kota. Dua dikembalikan ke Australia dan sisanya sebanyak tujuh unit dibeli oleh sebuah perusahaan Amerika bernama Aero Trader pada tahun 1989 dan dionggokkan di Actolio Wells sebagai besi tua (fdp).
Referensi : SEJARAH PERANG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar