BANDUNG-(J-D-I) :Media Indonesia dalam editorialnya hari ini menyoroti kebangkitan teknologi nasional. Penguasaan teknologi berperan dalam membentuk martabat sebuah bangsa. Semakin tinggi dan canggih teknologi dapat dikuasai sebuah bangsa, kian tinggi pula martabat yang diraih bangsa itu dalam peradaban. Sebaliknya, jika sebuah bangsa hanya mampu menguasai teknologi dalam skala dan level yang rendah, martabat dan derajat bangsa itu di mata dunia juga tidak dapat dibanggakan.
Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) ke-17, yang kemarin diperingati dengan upacara bendera di Bandung, menegaskan betapa martabat bangsa Indonesia di bidang teknologi belum mencapai level membanggakan. Bahkan, dalam beberapa hal, penguasaan teknologi bangsa ini justru semakin memprihatinkan.
Pencetus Hakteknas, mantan Presiden BJ Habibie yang memberikan sambutan dalam upacara itu, mengingatkan bahwa pada 10 Agustus 17 tahun lalu, Indonesia sudah mampu melahirkan pesawat buatan dalam negeri, N250. Namun, hari ini, 17 tahun kemudian, pesawat itu tidak ada lagi. Bahkan pabrik pembuatnya, PT Dirgantara Indonesia, berada dalam kondisi terpuruk.
Kita pun akhirnya menggantungkan industri penerbangan kita kepada teknologi asing. Ketika pasar penumpang pesawat kita tumbuh seperti saat ini, kita harus mengimpor pesawat komersial karena industri pembuatan pesawat yang bisa memenuhi kebutuhan itu di dalam negeri justru berhenti beroperasi.
Ironi itu tidak hanya di bidang penerbangan. Di bidang otomotif, pasar kita bertambah besar, tetapi hingga hari ini kita belum mampu memenuhi kebutuhan itu dengan mobil atau bahkan sepeda motor produksi sendiri. Masih banyak fenomena lain yang dapat diketengahkan untuk menegaskan betapa di bidang penguasaan teknologi, kita tidak semakin mandiri, tetapi justru semakin tergantung.
Secara umum, kita lebih banyak menjual bahan mentah hasil sumber daya alam dengan harga murah. Bahan-bahan mentah itu lebih banyak diolah negara lain dengan penguasaan teknologi lebih baik dan kembali ke negeri kita sebagai produk dengan harga yang jauh lebih mahal. Itulah bentuk lain dari penjajahan yang terus kita kutuk, tetapi tidak mampu kita lepaskan dari kehidupan kita sehari-hari.
Hakteknas mengingatkan kita bahwa kondisi itu tidak boleh dibiarkan. Kita mesti bangkit kembali dan mandiri di bidang teknologi sehingga kemandirian dan kebangkitan di bidang lain pun dapat kita raih. Yang dibutuhkan ialah kesungguhan dan keberpihakan yang konsisten dari pemerintah. Sudah saatnya kita membuktikan kepada dunia bahwa di bidang teknologi kita juga mampu menjadi bangsa yang canggih dan bermartabat.
Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) ke-17, yang kemarin diperingati dengan upacara bendera di Bandung, menegaskan betapa martabat bangsa Indonesia di bidang teknologi belum mencapai level membanggakan. Bahkan, dalam beberapa hal, penguasaan teknologi bangsa ini justru semakin memprihatinkan.
Pencetus Hakteknas, mantan Presiden BJ Habibie yang memberikan sambutan dalam upacara itu, mengingatkan bahwa pada 10 Agustus 17 tahun lalu, Indonesia sudah mampu melahirkan pesawat buatan dalam negeri, N250. Namun, hari ini, 17 tahun kemudian, pesawat itu tidak ada lagi. Bahkan pabrik pembuatnya, PT Dirgantara Indonesia, berada dalam kondisi terpuruk.
Kita pun akhirnya menggantungkan industri penerbangan kita kepada teknologi asing. Ketika pasar penumpang pesawat kita tumbuh seperti saat ini, kita harus mengimpor pesawat komersial karena industri pembuatan pesawat yang bisa memenuhi kebutuhan itu di dalam negeri justru berhenti beroperasi.
Ironi itu tidak hanya di bidang penerbangan. Di bidang otomotif, pasar kita bertambah besar, tetapi hingga hari ini kita belum mampu memenuhi kebutuhan itu dengan mobil atau bahkan sepeda motor produksi sendiri. Masih banyak fenomena lain yang dapat diketengahkan untuk menegaskan betapa di bidang penguasaan teknologi, kita tidak semakin mandiri, tetapi justru semakin tergantung.
Secara umum, kita lebih banyak menjual bahan mentah hasil sumber daya alam dengan harga murah. Bahan-bahan mentah itu lebih banyak diolah negara lain dengan penguasaan teknologi lebih baik dan kembali ke negeri kita sebagai produk dengan harga yang jauh lebih mahal. Itulah bentuk lain dari penjajahan yang terus kita kutuk, tetapi tidak mampu kita lepaskan dari kehidupan kita sehari-hari.
Hakteknas mengingatkan kita bahwa kondisi itu tidak boleh dibiarkan. Kita mesti bangkit kembali dan mandiri di bidang teknologi sehingga kemandirian dan kebangkitan di bidang lain pun dapat kita raih. Yang dibutuhkan ialah kesungguhan dan keberpihakan yang konsisten dari pemerintah. Sudah saatnya kita membuktikan kepada dunia bahwa di bidang teknologi kita juga mampu menjadi bangsa yang canggih dan bermartabat.
Sementara itu, tenaga ahli PT Dirgantara Indonesia dan BPPT akan dilibatkan dalam mewujudkan kembali visi pesawat komersial N-250. Mimpi agar Indonesia mampu memproduksi pesawat komersial sendiri ternyata masih hidup dalam diri mantan Presiden BJ Habibie. Habibie ingin agar visi yang sempat menjadi kenyataan 17 tahun lalu, tapi kandas, itu kembali dapat diwujudkan.Seusai memberikan sambutan dalam upacara memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional ke-17 di Bandung, kemarin, Habibie menegaskan ia mengambil inisiatif untuk meneruskan program pesawat terbang N-250.
Perusahaan milik mantan Kepala Bursa Efek Jakarta Eri Firmansyah, PT Eagle Cabin, dan perusahaan milik dua anak Habibie, Ilham dan Thareq Habibie, PT il Thabie, akan mendanai program itu. Kedua perusahaan bergabung dalam bendera PT Radio Aviation Industry (RAI).
"Saya duduk di dewan komisaris, tetapi juga terjun langsung bagaimana mengembangkan teknologi pesawat," kata Habibie tentang perusahaan yang 51% sahamnya dimiliki Ilham dan Thareq serta 49% oleh Eri itu.
Habibie menambahkan kedua pihak dijadwalkan menandatangani kerja sama untuk memproduksi pesawat sipil komersial di kediaman Habibie, Patra Kuningan, Jakarta Selatan, hari ini.
"PT RAI sebagai perusahaan swasta akan memakai jasa PT Dirgantara Indonesia dan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), termasuk uji desain, mesin, dan sebagainya akan dilakukan di laboratorium BPPT di Puspiptek, Serpong," kata Habibie.
Tenaga ahli dari PT Dirgantara Indonesia dan BPPT, tambah Habibie, juga akan dibutuhkan dalam mengembangkan pesawat komersial tersebut. "Namun, kelak pesawat itu bukan milik keluarga Habibie, tapi milik rakyat Indonesia," tegasnya.
Kepala BPPT Marzan Aziz Iskandar membenarkan bahwa SDM dan laboratorium BPPT akan dipakai PT RAI. "Jasa teknologi dan laboratorium uji desain, mesin, dan lainnya untuk pesawat sudah akan dipakai untuk uji N-250."
Pertumbuhan
Perusahaan milik mantan Kepala Bursa Efek Jakarta Eri Firmansyah, PT Eagle Cabin, dan perusahaan milik dua anak Habibie, Ilham dan Thareq Habibie, PT il Thabie, akan mendanai program itu. Kedua perusahaan bergabung dalam bendera PT Radio Aviation Industry (RAI).
"Saya duduk di dewan komisaris, tetapi juga terjun langsung bagaimana mengembangkan teknologi pesawat," kata Habibie tentang perusahaan yang 51% sahamnya dimiliki Ilham dan Thareq serta 49% oleh Eri itu.
Habibie menambahkan kedua pihak dijadwalkan menandatangani kerja sama untuk memproduksi pesawat sipil komersial di kediaman Habibie, Patra Kuningan, Jakarta Selatan, hari ini.
"PT RAI sebagai perusahaan swasta akan memakai jasa PT Dirgantara Indonesia dan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), termasuk uji desain, mesin, dan sebagainya akan dilakukan di laboratorium BPPT di Puspiptek, Serpong," kata Habibie.
Tenaga ahli dari PT Dirgantara Indonesia dan BPPT, tambah Habibie, juga akan dibutuhkan dalam mengembangkan pesawat komersial tersebut. "Namun, kelak pesawat itu bukan milik keluarga Habibie, tapi milik rakyat Indonesia," tegasnya.
Kepala BPPT Marzan Aziz Iskandar membenarkan bahwa SDM dan laboratorium BPPT akan dipakai PT RAI. "Jasa teknologi dan laboratorium uji desain, mesin, dan lainnya untuk pesawat sudah akan dipakai untuk uji N-250."
Pertumbuhan
Menurut Habibie, Indonesia memiliki aset SDM dan teknologi yang cukup besar. Selain itu, jumlah konsumen jasa penerbangan juga tumbuh 10% hingga 15% setiap tahun. "Ini pasar terbuka yang besar, dan jarak wilayah Indonesia cukup jauh. Jadi, kita ingin menghubungkan jarak wilayah itu dengan pesawat buatan Indonesia," kata Habibie.
Program N-250 dirintis sejak Habibie menjadi Menteri Riset dan Teknologi pada era 1980-an saat pemerintahan Presiden Soeharto. Ketika itu, ia memprediksi pesawat jet memang masih akan dibutuhkan. Namun, kebutuhan pesawat baling-baling seperti N-250 akan semakin meningkat untuk melayani kota-kota dengan bandara perintis dan landasan pacu pendek.
Sayangnya, visi itu kandas akibat krisis moneter 1997. Pemerintah pun ikut memperburuk situasi dengan menghapus Keppres No 1/1980 tentang keharusan pemerintah memakai produksi pesawat dalam negeri. Namun, Habibie tidak menyerah. Ia kembali untuk mewujudkan impian yang kandas 17 tahun lalu.
Sumber : Irib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar