Jihad-Defence-Indonesia - Jakarta : Undang Undang Pertahanan Negara Pasal 3 Ayat 2 menegaskan bahwa pertahanan negara disusun dengan mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Untuk itu, penyusunan format strategi pertahanan harus memperhatikan kondisi Indonesia sebagai negara maritim serta keberadaan situasi pulau-pulau Indonesia. Apabila memperhatikan pasal tersebut, maka eksistensi peran Angkatan Laut dapat dikatakan menjadi simpul kekuatan pertahanan yang vital.
Indonesia memiliki wilayah laut yang luas dengan ribuan pulau. Sebab itu, kemampuan untuk dapat menggelar pasukan pendarat (Korps Marinir) dan TNI AD dengan cepat ke suatu wilayah yang terancam merupakan suatu tuntutan. Memang kecepatan itu bisa diatasi melalui udara, tetapi masalahnya tidak semua pulau di Indonesia memiliki lapangan udara, yang bisa didarati pesawat angkut besar. Sehingga keberadaan alutsista angkatan laut berupa kapal perang merupakan syarat mutlak.
Terkait gelar pasukan secara cepat ke wilayah perbatasan, memang paling efektif menggunakan jalur pesawat, semacam pesawat angkut berat tipe C-130 Hercules, dari segi jangkauan pesawat tersebut cukup menunjang, tapi guna memobilisasi pasukan reaksi cepat dalam jumlah personel yang memadai, jumlah armada Hercules TNI AU saat ini masih kurang ideal dalam hal kapasitas gelar pasukan. PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) yang merupakan unsur lintas udara hanya bisa digerakan ke satu titik konflik dalam skema transport lewat udara dengan kekuatan setingkat satu batalyon.
Sebenarnya ada satu moda transportasi gelar pasukan yang juga dipandang cepat, efektif dan efisien, yakni pesawat terbang amfibi. Dengan kontur geografis sebagai negara kepulauan, jelas sangat ideal bila TNI AL atau pun TNI AU mengoperasikan pesawat amfibi. Manfaat pesawat jenis ini sangat besar, tak hanya mudah untuk memobilisasi pasukan, pesawat amfibi sangat pas untuk mendukung peran intai laut dan akses tanggap bencana. Mengenai potensi pesawat amfibi di Indonesia akan dibahas lebih lanjut pada tulisan berikutnya.
Kapal perang juga sangat diperlukan dalam mengamankan perbatasan dan pulau-pulau terdepan. Kapal perang TNI AL (KRI) yang berpatroli juga tidak bisa bergerak tanpa koordinasi dan kerjasama dengan patroli udara pesawat TNI AU. Kemampuan deteksi yang baik lewat udara oleh TNI AU dalam pengawasan (surveillance) wilayah perairan, terutama di perbatasan, akan membuat KRI yang melaksanakan patroli lebih efektif. Dengan dasar informasi dari patroli udara TNI AU, KRI dapat bergerak cepat menuju daerah-daerah rawan yang dimasuki pihak asing secara illegal, seperti antara lain kegiatanillegal fishing, illegal logging, trafficking, smuggling atau imigran gelap serta kemungkinan pihak asing yang berniat mengganggu kedaulatan dan keutuhan NKRI.
Untuk itu, perencanaan pembangunan TNI AL ke depan harus mengacu kepada konsep Capability-Based Planning, yaitu pembangunan kekuatan AL yang berorientasi pada pengembangan kemampuan. Sebab, perkembangan lingkungan strategis menghadirkan situasi ketidakpastian sehingga pengembangan harus fokus pada kemampuan apa yang diperlukan untuk menjawab tantangan yang serba tidak pasti itu. TNI AL harus memiliki kemampuan sebagai kombatan, fasilitator bagi deploitasi pasukan darat (TNI AD), dan penjaga keamanan sekaligus penegak hukum di lautan. Untuk itu, pembangunan alutsista dan SDM TNI AL harus bisa menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
Menurut situs wikipedia.org, jumlah kapal perang TNI AL hingga tahun 2009 mencapai 148 unit, belum termasuk 317 unit kapal patroli yang panjangnya kurang dari 36 meter, atau biasa disebut KAL atau kapal angkatan laut.
Dari segi kuantitas, memang tampak besar jumlah kapal perang yang dimiliki TNI AL, bahkan jumlah kapal perang Indonesia adalah yang terbanyak di kawasan Asia Tenggara. Tapi jumlah tersebut tentu tak semuanya operasional secara bersamaan, bila ada yang beroperasi maka ada unit lain yang masuk dok untuk perbaikan dan lain-lain.
KRI Makassar, salah satu LPD andalan TNI AL |
Kekuatan pertahanan negara pada intinya harus integral dan sinergis sehingga disyaratkan adanya dukungan di antara matra darat, laut, dan udara. Prinsipnya, postur pertahanan terdiri dari tiga elemen yaitu kekuatan, kemampuan, dan gelar pasukan. Sehingga setiap pembicaraan tentang postur militer sebagai institusi pertahanan selalu dikaitkan dengan struktur apa yang harus dipunyai, bagaimana kemampuan yang harus dimiliki, dan di mana kekuatan militer tersebut dapat diproyeksikan atau digelar.
Sumber : KLIK DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar