Selasa, 11 Desember 2012

SATELIT KHUSUS MILITER, SUDAH BUTUHKAN TNI KITA ?


Sebuah Satelit Mengorbit (foto electronics.howstuffworks.com)
Oleh: Abdul Majid.

Beberapa waktu lalu muncul sebuah topik menarik mengenai alutsista TNI. Adalah Laksma TNI (purn) Eddy Tumengkol, seorang mantan penerbang senior TNI-AL dan mantan Atase Pertahanan RI di AS dan Australia. Ucapan beliau mengenai “TNI lebih butuh satelit daripada tank atau kapal selam”, menghiasi beberapa media cetak dan online. Memang, topik ini seakan tenggelam dengan hadirnya berita-berita pengadaan Alutsista TNI lainnya yang di gembor-gemborkan media seperti hibah F-16 dari AS, MBT Leopard II dari Jerman, UAV dari Israel, Sukhoi Su-30Mk2 dari Rusia, kapal selam Changbogo Class dari Korea Selatan, dan pembelian-pembelian Alutsista lainnya. Tapi topik mengenai kebutuhan satelit ini tentu menarik untuk dibahas. Sudah perlukah Indonesia dalam hal ini TNI memiliki satelit militer sendiri? Satelit militer jenis apa yang cocok untuk kita operasikan? Apakah kita sudah memiliki kemampuan untuk membuatnya sendiri? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kita perlu merumuskan pertimbangan-pertimbangan yang ada.

Teknologi Satelit

Penggunaan Teknologi satelit dalam militer memiliki banyak fungsi. Fungsi komunikasi, fungsi pengintaian, fungsi penyadapan, dan sebagainya. Namun yang paling esensial adalah fungsi komunikasi. Fungsi komunikasi sendiri dapat dibagi menjadi beberapa bentuk. Komunikasi bentuk suara misalnya, merupakan media yang cukup aman dalam berkomunikasi dibandingkan dengan media lain, misalnya radio. Selain aman, cakupannya pun jelas jauh lebih luas. Fungsi lainnya teknologi komunikasi pada satelit dalam bentuk transfer data, video, dan lain sebagainya. Dengan fungsi ini, seorang jendral dapat melihat apa yang dilihat anak buahnya dalam sebuah operasi militer. Dia bisa mengarahkan, memberi arahan kepada anak buahnya secara realtime. Contoh lainnya misalkan sebuah pesawat tempur dapat berbagi data lawan dengan Alutsista lain, seperti kapal selam, kapal permukaan, pesawat AWACS, pesawat pengintai tanpa awak, maupun dengan pasukan di darat. Dengan berbagi data antar Alutsista tersebut, dapat dengan jelas dipastikan mana kawan dan mana lawan, kemudian posisinya dimana, dan siapa yang akan mengeksekusi lawan dapat terkoordinir dengan baik. Sasaran yang harus dihancurkan dapat dihancurkan dengan efektif dan efisien (tidak overkilled). Kondisi diatas hanya dapat terlaksana jika komunikasi dalam suatu angkatan bersenjata terkoordinir dan terencana dengan baik.Teknologi komunikasi satelit adalah salah satu medianya. Konsep pengoptimalan teknologi satelit semacam ini bukanlah hanya berupa konsep diatas kertas saja, namun sudah mulai diadopsi negara-negara maju. Kita bisa melihat ketika terjadi operasi penyergapan Osama Bin Laden beberapa waktu lalu. Presiden Obama sebagai Panglima tertinggi AB AS dapat melihat secara realtime target apa yang sedang dihadapi oleh pasukannya yaitu dari pasukan elit Navy SEAL DEVGRU atau biasa disebut SEAL Team 6. Sehingga ketika personel dari Navy SEAL mengkonfirmasi bahwa Osama Bin Laden tewas tertembak, maka saat itu juga Presiden Obama mengetahuinya.

Situation room White House ketika penyergapan Osama Bin Laden (foto outontheporch)

Mengingat pentingnya teknologi satelit, terutama dalam komunikasi, maka perlunya kita memandang bahwa kebutuhan teknologi satelit sejajar dengan kebutuhan akan Alutsista yang selam ini seakan di”dewakan” dalam pengembangan angkatan bersenjata.

Kebutuhan TNI

Sampai saat ini, TNI hanya menggunakan teknologi satelit dalam bentuk menyewa transponder milik sipil, yaitu PT Telkom. Frekuensi yang digunakan adalah frekuensi C-Band. Dalam beberapa sumber, disebutkan teknologi C-Band yang digunakan oleh TNI masih belum bersifat “all weather proof”, yang sebenarnya kurang mendukung kebutuhan militer yang membutuhkan komunikasi handal di segala cuaca.

Satelit Telkom 2 (foto idreamofsatellite)

Penggunaan teknologi satelit di TNI juga belum berfungsi maksimal. Terbukti dengan pernyataan Laksma Achmad Taufiqurrahman, Komandan Guspurla Koarmabar. Dalam pernyataannya yang dikutip oleh jurnas.com, saat ini baru akan diupayakan pembangunan Komando dan Pengendalian (Kodal) yang berbasis teknologi satelit menggantikan teknologi radio yang saat ini digunakan. Beliau juga menyatakan bahwa kondisi Kodal TNI khususnya TNI-AL saat ini masih terbatas dimana belum tersambung ke kapal. Itu artinya sampai saat ini kemampuan Komando dan Pengendalian kita terbilang lemah, sebab untuk antar perangkat dalam satu matra saja kita belum terkoneksi dengan baik. Misalkan saja ada kapal perang asing yang melanggar kedaulatan negara kita, kita tentu sulit berbuat banyak, karena keputusan untuk menembak kapal perang asing tersebut ada di petinggi militer, sedangkan untuk berkoordinasi dengan petinggi militer di ibukota sulit. Contoh di atas baru di tingkat matra laut, belum di matra yang lain, angkatan udara misalnya, bagaimana kita harus menunggu hampir 5-6 jam untuk menerbangkan F-16 ke pulau Bawean untuk mencegat penerbangan F-18 AS. Hal ini tentu riskan. Kita butuh teknologi yang dapat menghubungkan operator dilapangan dengan pengambil keputusan, sehingga suatu kasus dapat dieksekusi dengan cepat dan efisien. Disinilah komunikasi satelit berbicara. Kita memang sudah menggunakan teknologi komuikasi satelit untuk militer, tapi faktanya belum optimal. Kita harus memiliki sistem dimana antar perangkat yang ada dapat terintegrasi dengan baik, kemudian apa yang didapat dari perangkat itu dapat diketahui pengambil keputusan dan operator perangkat-perangkat yang kita miliki dapat mengeksekusinya. Lepas dari itu, kita juga harus memiliki satelit khusus militer sendiri tanpa berhubungan dengan sipil. Sebab faktanya satelit yang digunakan TNI saat ini sendiri, milik PT Telkom, meskipun pemegang saham PT Telkom adalah Pemerintah Indonesia dengan 51,19%, tapi didalamnya terdapat kepemilikan asing sebesar 45,58%. Dengan adanya kepemilikan asing di Telkom, maka kepentingan-kepentingan asing dapat menjadi obstacle bagi kepentingan pertahanan dan keamanan Indonesia dan TNI pada khususnya. Pihak asing yang memiliki saham di telkom dapat menempatkan “telinganya” untuk mendengarkan komunikasi-komunikasi rahasia ditubuh militer Indonesia. Ancaman seperti inilah yang akan terus mengganggu kita jika kita terus menyewa satelit komersial tanpa memilikinya dalam fungsi militer. Oleh karena itu, kepemilikan satelit militer secara mandiri adalah harga yang harus dibayar.

Kepemilikan Satelit untuk Militer Negara-Negara Tetangga 

Dalam mengkaji kebutuhan satelit untuk militer ini, kita juga perlu memandang kemampuan tetangga-tetangga Indonesia dalam penggunaan satelit militer. Singapura misalnya, dikabarkan memiliki satelit mata-mata untuk kepentingan intelijen buatan Israel. Harganya pun bukan main mahalnya, 1 miliar dolar. Kita tentu berpikir tidak mungkin singapura mengeluarkan 1 miliar dolar jika mereka tidak memiliki kebutuhan yang besar akan satelit. Kita tidak tahu satelit ini digunakan untuk operasi intelijen yang seperti apa, dimana, dan kapan. Namun rasa-rasanya, sebagai negara yang memandang tetangga-tetangga disekitarnya sebagai salah satu ancaman, kita patut curiga satelit itu diarahkan ke Indonesia. Negara Asean lainnya belum ada yang memiliki satelit seperti yang Singapura miliki, namun melihat perkembangan di Singapura, rasanya hal ini menambah dorongan bagi Indonesia untuk memiliki teknologi satelit, meskipun bukan sebagai fungsi pengintaian seperti Singapura, tetapi dalam komunikasi, agar kita tidak tertinggal dalam kemajuan teknologi satelit militer yang berkembang pesat.

Kriteria Satelit untuk TNI

Dengan memandang kebutuhan TNI, satelit yang dibutuhkan tidaklah harus memiliki transponder sebanyak satelit komersial. Jika Palapa D memiliki 40 Transponder, untuk TNI mungkin hanya sekitar 10 transponder. Kemudian untuk tipe orbitnya, terdapat beberapa pilihan:
  1. LEO (Low Earth Orbit) yang memiliki ketinggian sekitar 600Km.
  2. MEO (Middle Earth Orbit) yang memiliki ketinggian sekitar 5000Km.
  3. Geo (Geostasioner) yang memiliki ketinggian sekitar 36000Km.

Perbandingan orbit GEO,MEO dan LEO (foto ffden-2.phys.uaf.edu)

Dari ketiga nya, orbit GEO lah yang paling menguntungkan, apalagi posisi Indonesia yang berada tepat di khatulistiwa mendukung untuk itu. Dengan menggunakan orbit GEO, maka satelit akan berputar sama dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan rotasi bumi, dengan begitu dapat dikatakan posisinya tetap. Dengan begitu perangkat-perangkat yang ada di darat akan terkoneksi 24 jam sehari, tanpa terkendala tidak adanya satelit yang berada diatas Indonesia. Beda dengan orbit lain yang kecepatannya lebih cepat dari kecepatan rotasi bumi. Sehingga perlu beberapa satelit agar setidaknya ada satelit yang berada di atas Indonesia. Kekurangan dari satelit dengan orbit GEO adalah orbitnya yang padat, sehingga menjadi rebutan sejumlah negara dan biaya yang cukup mahal, satelit Palapa D milik Indosat misalnya, menghabiskan biaya 200 juta dolar. Itu baru biaya untuk satelit dan peluncurannnya saja, belum termasuk stasiun bumi, instalasi perangkat di Alutsista TNI, dan lainnya  yang harus dihitung ketika kita mengoperasikan sendiri satelit militer. Sedangkan jika kita menggunakan orbit LEO dan MEO, memang biaya nya akan lebih murah, untuk orbit LEO misalnya, dibutuhkan kira-kira 20 Milyar Rupiah untuk satelit dan peluncurannya, namun paling tidak dibutuhkan 20 satelit yang membentuk suatu konstelasi, hal ini karena kecepatan satelit dalam mengelilingi bumi lebih cepat dari kecepatan rotasi bumi, sehingga dibutuhkan banyak satelit agar setidaknya ada 1-2 satelit yang standby beroperasi di atas Indonesia. Dengan begitu maka koneksi ke darat tidak terputus. Kelemahan lain dari satelit yang beroperasi di orbit LEO dan MEO adalah umurnya yang tidak sepanjang satelit di orbit GEO. Karena satelit yang berada di orbit LEO dan MEO umumnya lebih kecil dibandingkan dengan satelit yang berada di orbit GEO, maka kapasitas baterai/bahan bakar pun lebih kecil, yang berimbas pada umurnya yang lebih pendek. Jika satelit orbit GEO seperti satelit Palapa D dirancang dapat beroperasi 15 tahun, maka satelit-satelit yang memiliki orbit LEO dan MEO umumnya dirancang hanya memiliki umur 2-4 tahun. Dengan begitu, maka perlu penggantian satelit tiap periode tertentu yang lebih cepat dibandingkan periode penggantian satelit di orbit GEO.

Kemudian dari aspek lainnya, satelit yang nantinya dimiliki TNI harus bisa menjembatani segala macam bentuk device/perangkat yang ada. Dari mulai Markas Besar hingga pasukan di lapangan. Jika perangkat yang ada di Markas Besar maupun di Alutsista seperti KRI maupun Pesawat Tempur umumnya berbentuk besar dan kompleks, lain halnya pasukan yang berada dilapangan/darat. Mereka umumnya menggunakan peralatan komunikasi yang ringkas dan mobile. Padahal satelit di orbit GEO umumnya harus memiliki terminal yang berukuran besar, seperti gambar berikut ini:

Perbandingan Satelit dan Terminalnya (foto idreamofsatellite)

Oleh sebab itu, satelit yang dimiliki TNI hendaknya memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan perangkat yang kompleks yang terdapat di KRI/Markas/Pesawat maupun perangkat komunikasi mobile yang dibawa pasukan di lapangan. Teknologi semacam ini sebelumnya bukanlah teknologi baru, ada beberapa satelit yang memiliki kemampuan ini, seperti satelit AceS atau yang memiliki nama lain satelit Garuda-1. Satelit ini memiliki kemampuan dapat berhubungan dengan terminal berbentuk Handphone. Namun satelit dengan teknologi ini juga memiliki kelemahan, yaitu karena memiliki antena yang besar, maka amat riskan terhadap gangguan/kerusakan yang terjadi ketika sudah berada di orbit.

Satelit AceS dan Terminalnya yang berukuran kecil (foto idreamofsatellite)

Untuk itu perlu diadakan studi secara mendalam dan lebih lanjut mengenai satelit yang benar-benar dibutuhkan oleh TNI dengan mempertimbangkan segala aspek yang ada. Dari aspek teknologi, kebutuhan yang ada, harga, dan aspek-aspek lainnya. Sehingga satelit yang nantinya dimiliki dapat berguna secara maksimal.
Kemampuan untuk membuat satelit ini sendiri
Menilik sejarah per-satelitan di Indonesia, kita harus melihat lagi saat Indonesia mengoperasikan satelit pertama kalinya, yaitu pada tahun 1976. Saat itu satelit yang dinamakan Satelit Palapa, berfungsi sebagai satelit komunikasi. Menjadikan suatu obyek vital bagi sistem komunikasi Indonesia yang wilayah terpisah-pisah oleh lautan. Sampai saat ini, sudah sebanyak 14 satelit Palapa yang diluncurkan. Yang terakhir adalah Palapa D yang diluncurkan tahun 2009 lalu untuk menggantikan Palapa C2. Satelit Palapa dikendalikan oleh stasiun bumi di Jatiluhur, Jawa Barat. Satelit Palapa dioperasikan oleh PT. Indosat Tbk. Selain satelit Palapa, terdapat satelit Telkom yang salah satu transpondernya disewa TNI, dioperasikan PT Telkom.

Satelit Pertama Milik Indonesia, Palapa A-1 (foto space.skyrocket.de)
Satelit Indonesia lainnya yaitu Lapan-TUBSat, satelit mikro yang dibuat berdasarkan kerja sama antara Lapan (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional) dan TU (Technische Universität) Berlin. Satelit ini diluncurkan pada tahun 2007. Fungsi satelit adalah sebagai alat pemantauan dengan bawaan (payload) 2 buah kamera. Memang kamera yang dibawa belum beresolusi tinggi, tapi sudah cukup baik untuk pemantauan permukaan bumi. Satelit buatan Indonesia berikutnya adalah Lapan A-2. Satelit ini dikembangkan dari pengalaman yang Lapan dapatkan ketika membuat satelit Lapan-TUBSat bersama TU Berlin. Satelit ini murni dibuat di Indonesia, meskipun banyak komponen-komponen didalamnya masih impor. Satelit ini memiliki muatan kamera yang kemampuannya setingkat lebih maju dibandingkan kamera yang ada dalam satelit Lapan-TUBSat, sehingga diharapkan hasil pemantauan permukaan bumi yang didapat lebih baik dibandingkan pendahulunya. Muatan lainnya yaitu AIS (Automatic Identification System), perangkat ini adalah alat pendeteksi kapal di lautan. Alat ini akan terhubung dengan pemancarnya yang ada di kapal-kapal besar (yang memiliki bobot lebih dari 300ton dan merupakan keharusan internasional). AIS dapat mendeteksi hingga 2000 kapal dalam wilayah yang memiliki radius 100km. AISbukanlah radar, ia tidak bisa mendeteksi kapal jika kapal tersebut tidak memiliki atau tidak mengaktifkan pemancarnya. Satelit-satelit yang dibuat Lapan masih berukuran Mikro yang memiliki bobot kurang dari 100kg, masih jauh dibandingkan satelit Palapa yang memiliki bobot diatas 3000Kg.

Satelit Lapan A-2(kiri) dan Satelit Iinusat (kanan) (foto: lapan.go.id dan inspire.or.id)

Selain oleh Lapan, pengembangan satelit secara mandiri di Indonesia juga dilakukan oleh gabungan beberapa Universitas di Indonesia yang tergabung dalam proyek bernama IiNUSAT (Indonesian Inter-University Satellite). Universitas yang terlibat yaitu UGM Yogyakarta,UI, ITS Surabaya, ITB Bandung, IT Telkom Bandung, dan PENS Surabaya. Selain Universitas yang sudah disebutkan, Lapan juga ikut terlibat dalam pengembangan proyek ini. Proyek ini dibiayai oleh DIKTI, Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan (Kemendikbud). Langkah awal dari program ini adalah membuat sebuah Nano-Satellite dengan berat 15 Kg. Misi dari Nano-Satellite adalah sebagai alat komunikasi darurat ketika terjadi bencana. Pengerjaannya sendiri dibagi-bagi tiap universitas, ada yang mengerjakan muatannya (Payload), komunikasinya, sistem kontrol nya, dan lain-lainya. Diharapkan Nano-Satellite ini dapat diluncurkan sekitar tahun 2013-2014 dengan menggunakan roket PSLV milik India. Kemudian langkah selanjutnya adalah diharapkan setiap universitas dapat meluncurkan satelit-satelitnya sendiri, yang mana nantinya akan membentuk sebuah konstelasi satelit universitas-universitas Indonesia.
Kesimpulan
Kebutuhan akan satelit yang dikhususkan untuk kebutuhan militer pada saat ini sebenarnya sudah bersifat mendesak/urgent. Untuk itu perlu diadakan pengadaan untuk satelit militer ini. Memandang keadaan terkini mengenai kemampuan untuk merancang dan mengembangkan satelit sendiri di Indonesia yang belum bisa dikatakan “maju”, maka nampaknya kita harus melirik dari luar. Kenapa? Memang kita sudah berhasil membuat satelit sendiri, namun itu masih dalam tahap riset/rekayasa belum masuk ke tahap komersial. Untuk tingkat militer yang mengharuskan kemampuan diatas kemampuan rata-rata satelit komersial, kemampuan kita belum mencapai level tersebut. Solusi yang mungkin dapat kita lakukan adalah kita membeli dari luar, namun dengan syarat adanya ToT atau Transfer of Technology. Mereka-mereka yang terlibat dalam pengembangan satelit di Indonesia baik di universitas-universitas, maupun di Lapan dapat lebih bertambah pengetahuannya mengenai teknologi satelit. Memang mungkin pengadaan satelit+ToT ini mungkin akan lebih mahal jika dibandingkan jika kita menerima dalam bentuk jadi. Tapi dengan manfaat yang akan didapat nantinya, ToT bukanlah suatu hal yang sia-sia. Memang selain biaya yang lebih besar, negara penjual kadang enggan memberikan ToT dengan alasan sensitivitas teknologi yang ada. Namun sebenarnya banyak pilihan saat ini, misalnya jika Amerika tidak mau, masih ada Rusia maupun negara-negara eropa. Kalaupun mereka juga belum mau memberikan ToT, masih ada negara lain yang lebih terbuka, India dan China misalnya, kedua negara itu dapat dilirik. Harapannya, selain kebutuhan akan satelit militer akan terpenuhi, kedepan ahli-ahli satelit maupun dosen maupun mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang terlibat akan menjadikan Indonesia menjadi mandiri dibidang satelit, bukan hanya dibidang sipil/komersil, tetapi juga dalam bidang satelit militer. Bukan mustahil nantinya satelit militer kita nantinya adalah muatan buatan dalam negeri. Semoga.

Referensi : 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar