Rabu, 26 Desember 2012

TNI : TIDAK ADA TEORI KONSPIRASI DALAM RUU KAMNAS

TNI: Tidak Ada Teori Konspirasi dalam RUU Kamnas
Aliansi Rakyat untuk Kemerdekaan Berserikat berunjuk rasa di Depan Gedung DPR/MPR/DPD, Senayan Jakarta, Rabu (24/10). Mereka menolak rancangan Undang-Undang Kemamanan Nasional dan rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan. KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Jihad-Defence-Indonesia - Jakarta : Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Keamanan Mayjen TNI Hartind Asrin menegaskan, pihaknya sama sekali tidak membawa kepentingan tertentu dalam menyusun Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (Kamnas). RUU tersebut mendapat banyak tentangan dari kelompok masyarakat sipil lantaran dianggap memberikan kewenangan besar bagi TNI untuk bertindak.
"Saya tegaskan, kami dari TNI, terbuka atas semua kritik dan masukan. Tidak ada kepentingan apa pun yang kami bawa, kecuali kepentingan negara," ujar Hartind, Rabu (26/12/2012), dalam diskusi di Galeri Cafe Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Ia mengatakan, keterbukaan sikap TNI dalam menyusun RUU itu dibuktikan dengan penghilangan pasal tentang penyadapan. Ia juga mengatakan, pasal tentang sanksi terhadap perancang undang-undang yang dinilai inkonsepsional yang awalnya tercantum pun sudah dihapus.
"Kalau salah mengkonsep undang-undang, tadinya di RUU ini juga dimasukkan, bisa dipidana, tapi akhirnya dihapus karena ditentang DPR. Kemhan tidak alergi akan masukan," ucap Hartind.
Hartind melanjutkan, RUU Kamnas ini diperlukan lantaran untuk menjaga keamanan nasional. Selain itu, untuk merespon adanya ancaman, Hartind menilai perlu tindakan cepat melalui gladi posko yang melibatkan Forkominda (Forum Komunikasi Intelijen Daerah). Gladi posko itu dipimpin oleh pimpinan daerah.
"Gladi posko ini juga dipimpin oleh sipil. Jadi tidak benar kalau kami menghilangkan hak sipil, justru kami menghormati itu. Jangan berpikiran, ini teori konspirasi. Tidak ada! Ini untuk kepentingan nasional," katanya.
Kementerian Pertahanan telah menyerahkan draft Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (Kamnas) yang telah direvisi ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada bulan Oktober lalu. Namun, hasil revisi draft RUU itu nyatanya masih menyisakan 44 pasal yang berbenturan dengan undang-undang yang sudah ada. Selain itu, beberapa pasal di antaranya masih dianggap melanggar hak sipil.
"RUU Kamnas dibuat dengan tergesa-gesa. Tidak ada perubahan signifikan dalam RUU ini dari 60 menjadi 55 pasal. Dari 55 pasal itu, koalisi menolak 44 pasal," ujar aktivis Imparsial, Batara Ibnu Reza, Rabu (26/12/2012) dalam diskusi di Galeri Cafe Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Batara mengatakan, keberadaan RUU Kamnas ini penting namun substansinya bisa menimbulkan banyak persoalan. Pasal-pasal yang ada di dalam RUU Kamnas dianggap berbenturan dengan undang-undang yang ada, seperti Undang-undang Pertahanan Negara.
Selain itu, definisi ancaman nasional juga belum menemukan titik temu. Di dalam draft terbaru, Kementerian Pertahanan masih memasukkan kata "dan lain-lain" dalam definisi keamanan nasional. Aksi mogok masal buruh, misalnya, bisa disebut sebagai ancaman nasional.
"Padahal itu adalah hak buruh untuk mogok," kata Batara.
RUU Kamnas, lanjutnya, seharusnya menjadi sebuah payung hukum untuk keamanan manusia. Namun, pasal-pasal di dalamnya justru mengancam HAM. Di RUU Kamnas, Presiden bisa mengerahkan pasukan TNI tanpa pertimbangan perangkat negara.
Sumber : KLIK DISINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar