Personel TNI-AL saat membidik target udara dengan rudal Mistral SHORAD dari atas frigat Van Speijk |
Jihad-Defence-Indonesia - Jakarta : Unggulnya aspek rudal anti kapal nyatanya tidak sejalan dengan elemen rudal anti serangan udara (SAM/surface to air missile) pada kapal perang permukaan Republik Indonesia (KRI) TNI-AL. Alasannya masih sangat sedikit Kapal Perang atas air TNI-AL yang dibekali SAM, dan itu pun tidak semua SAM melengkapi armada kapal perang, sebagai contoh Kapal Cepat Rudal (KCR) kelas Clurit dan FPB-57 yang tak dibekali SAM. Kualitas SAM di kapal perang TNI AL juga masih terbatas dalam terminologi SHORAD (Short Range Air Defence), dalam hal ini di dominasi keluarga rudal Mistral. Versi paling maju yang ditempatkan pada frigat kelas SIGMA, dimana Mistral dipasang dengan peluncur terpadu berpengendali otomatis Tetral. Sedangkan model yang dioperasikan secara manual, Simbad diadopsi untuk menggantikan Sea Cat pada frigat kelas Van Speijk.
Menyadari kapal perang bakal menjadi bulan-bulanan dalam pertempuran laut, aspek pertahanan udara mutlak dipersiapkan secara terpadu. Selain SAM, keberadaan kanon reaksi cepat juga sangat berperan, seperti kanon OTO Melara dan Bofors 57 mm MK.2. Tapi kanon dengan kaliber menengah punya kelemahan dari sisi kecepatan tembak, jumlah proyektil yang diumbar kurang ideal untuk menghadang laju rudal anti kapal. Untuk itu diperkukan sistem CIWS, berupa pertahanan titik berbasis kanon super reaksi cepat dengan kaliber 20 – 30 mm. Dengan sistem sensor pemandu tembakan canggih, kanon CIWS dapat memuntahkan sampai 5.000 proyektil dalam satu menit (AK-630 buatan Rusia). Selain handal menghadang terjangan rudal dan jet tempur, CIWS juga mampu melibas terjangan torpedo yang mengarah ke lambung kapal.
Phalanx CIWS 20 mm buatan Amerika Serikat, punya jangkauan efektif 3.600 meter dan kapasitas amunisi 1.550 peluru. Kecepatan tembak 4.500 proyektil per menit. |
Sampai saat ini Indonesia masih tertinggal dalam mengoperasikan kanon CIWS, satu-satunya CIWS yang ada adalah tipe AK-230 buatan Rusia yang terpasang pada korvet Parchim. Dengan mengandalkan dua laras, AK-230 30 mm yang dirancang pada era Perang Dingin ini dapat memuntahkan 1.000 proyektil per menitnya. Performanya tentu sudah tak sebanding dengan CIWS masa kini, dan muntahan 1.000 per menit belum cukup ideal untuk mengamankan kapal perang dari serbuan rudal yang berkecepatan supersonic. Lepas dari proteksi CIWS dan rudal SAM SHORAD, umumnya kapal frigat dan korvet juga dilengkapi sistem penangkisan pasif, wujudnya berupa pengecohan lewat chaff atau flare. Tapi tetap penangkisan pasif adalah pilihan terakhir, dan kurang menjamin pertahanan udara pada kapal.
TNI-AL sendiri menyadari kebutuhan akan sista CIWS, untuk menghadang laju rudal harus dipersiapkan kanon multi laras model Gatling agar laras tidak terlampau panas dalam pengoperasian. Dalam proyeksi pengadaan KCR generasi baru, seperti KRI Clurit, KRI Kujang , dan KRI Klewang, semuanya sudah dipersiapkan platform untuk mendukung CIWS. Contohnya paling nyata adalah KRI Klewang yang baru-baru ini terbakar habis, kapal berdesain trimaran ini siap diintegrasikan dengan CIWS berikut sistem kendali senjata dengan teknologi CSIC dan CPMIEC dari Cina. Dudukan kanon CIWS pun sudah disiapkan di atas anjungan, untuk kandidat disebut-sebut Type 730 buatan Cina. Type 730 mampu memuntahkan 5.800 proyektil per menit dengan jarak tembak efektif 3.000 meter. Kanon dengan 7 laras ini kabarnya telah dipesan 3 unit oleh Mabes TNI.
Type 730 30 mm buatan Cina, jangkauan efektif 3.000 meter dan kecepatan tembak 5.800 proyektil per menit. |
Besar kemungkinan Type 730 yang akan datang ke Indonesia bakal dipasang pada korvet kelas SIGMA, pasalnya kapal perang tercanggih TNI-AL ini hanya mengandalkan kanon OTO Melara Super Rapid, kanon Vektor G12 20 mm, dan rudal Mistral untuk elemen pertahanan udara, hadirnya CIWS mutlak diperkukan untuk jenis kapal perang utama TNI-AL ini. Pengadaan korvet nasional yang akan diterima TNI AL pada tahun 2016 juga sudah menyetujui kelengkapan CIWS sebagai senjata standar, salah satunya pengadaan PKR (Perusak Kawal Rudal) 10514 yang nantinya akan diterima TNI-AL dengan mengadopsi Phalanx buatan Amerika Serikat atau Goalkeeper buatan Belanda. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Sumber Referensi : KLIK DISINI
Menhan dan panglima TNI, DPR, dan Presiden serta KASAL jng puas diri dng bnyknya armada kapal perang, krn bnyk kapal perang yg dimiliki baik dr sisi usia banyak yg tua, yg barupun bahan material yg digunakan utk bangun kapal perang tdk berkualitas, lalu senjatanya banyak yg harus diganti krn tdk dpt mengalahkan kemampuan pesawat tempur saat ini.saran saya krn indonesia adl negara kepulauan dng wilayah pulau2 dan laut yg sangat luas utk diawasi shg adalah masuk akal jika indonesia mengadakan kapal perang dan kapal patroli sampai berjumlah 1.000- 1.200 unit dng kemampuan yg berkualitas dan dilengkapi dng alutsista yg berkualitas tinggi dalam melakukan patroli, dan di dlm melakukan upaya utk mengatasi serangan udara dr pesawat tempur negara lain dan di dlm melakukan upaya utk mengatasi serangan dr kapal permukaan negara lain serta di dlm melakukan upaya utk mengatasi atau melumpuhkan kapal selam dr negara lawan.
BalasHapus