Jumat, 08 Maret 2013

RATIFIKASI STATUTA MAHKAMAH INTERNASIONAL, INDONESIA TUNDUK PADA NEGARA EROPA DAN DIRONGRONG



Pengadilan Kriminal Internasional (Foto: Dok.PBB)
Pengadilan Kriminal Internasional (Foto: Dok.PBB)


Jihad-Defence-Indonesia - JAKARTA : Wamenkumham Denny Indrayana berada di Belanda dengan salah satu agenda untuk menjajaki Indonesia meratifikasi Statuta Roma yang merupakan dasar pendirian bagi Mahkamah Kejahatan Internasional atau International Criminal Court (ICC). Menjadi pertanyaan apakah sudah saatnya Indonesia meratifikasi Statuta Roma.

"Banyak pihak di Indonesia yang menganggap ICC sebgai pengadilan internasional pelanggaran HAM. Ini merupakan mispersepsi karena ICC bukanlah pengadilan internasional untuk pelanggaran HAM. Padahal tidak demikian," menurut pengamat Hikhmahanto Juwono, dalam keterangan tertulis yang diterima Okezone, Kamis (7/3/2013).

"ICC adalah pengadilan internasional untuk kejahatan internasional yang di Indonesia diistilahkan sebagai pelanggaran HAM Berat. Mungkin karena ada istilah pelanggaran HAM maka banyak yang mengira bahwa lembaga ini merupakan pengadilan pelanggaran HAM," lanjutnya.

Indonesia sudah lama didesak oleh negara-negara Eropa, termasuk Belanda, untuk meratifikasi Statuta Roma. Akhirnya upaya dari negara-negara Eropa tersebut akan terwujud saat Presiden mengajukan RUU Pengesahan Statuta Roma ke DPR.

"Bila akhirnya tahun ini Indonesia meratifikasi maka akan muncul kesan Indonesia tunduk pada desakan luar negeri. Kedaulatan Indonesia seolah mudah dirongrong. Kalaulah Indonesia hendak meratifikasi Statuta Roma hendaknya ditentukan oleh Indonesia sendiri tanpa desakan negara lain," tuturnya.

Indonesia juga seharusnya tidak terkesima seolah dengan meratifikasi Statuta Roma maka kejahatan internasional tidak akan ada lagi.

Sebagaimana diketahui oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) perbuatan heroik oleh tentaranya bisa jadi dianggap suatu kejahatan internasional oleh negara lain. Tidak heran bila pada masa pemerintahan Bush AS menarik diri dari penandatanganan Statuta Roma.

"Pada saat inipun dibawah Presiden Obama yang berasal dari partai yang sangat getol menyuarakan HAM, Statuta Roma belum diratifikasi. Seharusnya negara-negara Eropa perlu mendesak AS dan bukan Indonesia. Ini mengingat di Indonesia telah ada Pengadilan HAM yang memiliki yurisdiksi mengadili pelaku kejahatan internasional," tegasnya.

Saat ini aparat Kepolisian dan TNI kerap tidak banyak berbuat dalam menghadapi konflik horizontal karena khawatir atas tuduhan pelanggaran HAM Berat. Bila Indonesia telah meratifikasi Statuta Roma bukannya tidak mungkin aparat Kepolisian dan TNI semakin tidak mengambil tindakan.

Bahkan generasi muda akan menjauh untuk masuk menjadi anggota TNI dan Polri karena mereka tidak menginginkan menjadi pesakitan atas tuduhan pelanggaran HAM Berat bila berada di wilayah konflik.

Terakhir, tidak seharusnya Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan ratifikasi terhadap Statuta Roma karena keinginannya untuk meninggalkan kenangan atau legacy sebelum mengakhiri masa jabatannya. Keikutsertaan Indonesia dalam ICC mempunyai dampak yang luas, politik, finansial bahkan percaturan politik internasional.

"Secara politik, timing untuk meratifikasi kurang tepat. Hal ini karena ada tokoh yang menjadi calon Presiden di tahun 2014 yang seolah menjadi target untuk dijegal pencalonannya meski perkara yang ditangani oleh ICC tidak berlaku retroaktif," menurutnya.

Indonesia akan terbebani secara finansial karena harus menyumbang bagi kegiatan ICC meski tidak ada perkara yang terkait dengan Indonesia. 

Secara politik internasional, kemungkinan besar Indonesia akan diminta oleh AS untuk menandatangani perjanjian Tidak Menyerahkan Tentaranya ke ICC atau yang dikenal dengan istilah Non-Surrender Agreement. AS sangat khawatir bila tentaranya yg sedang berada di negara peratifikasi ICC akan menyerahkan tentaranya ke ICC.

Sumber : KLIK DISINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar