Jamdesign - Shutterstock
KOMPAS.com — Israel menolak tuduhan bahwa merekalah yang berada di balik serangan cyberdari virus mata-mata, Flame. Para ahli keamanan teknologi informasi pun mengatakan, masih terlalu dini menyebut siapa dalang di balik Flame.
Area penyebaran program jahat Flame melingkupi negara-negara tertentu di Timur Tengah, paling banyak di Iran. Flame menyerang berbagai sektor industri di Iran, tetapi yang paling serius adalah industri minyak.
Tudingan kepada Israel datang ketika pejabat pertahanan teknologi informasi Iran menyebut, Flame memiliki ciri yang mirip dengan program jahat yang pernah dilepas oleh Israel.
Ditambah lagi pernyataan yang dilontarkan oleh Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Urusan Strategis Israel, Moshe Yaalon, yang tidak mengakui, tetapi juga tak membantah dugaan itu. ”Israel diberkati dengan teknologi tinggi dan kami bangga dengan teknologi yang membuka semua kemungkinan bagi kami,” ujar Yaalon dalam wawancara dengan radio tentara Israel.
"Saya membayangkan bahwa semua orang melihat ancaman nuklir Iran sebagai salah satu hal serius. Tidak hanya Israel, tetapi seluruh dunia Barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat, kemungkinan akan mengambil langkah-langkah, termasuk ini (virus), untuk merugikan proyek nuklir Iran," tambah Yaalon.
Juru bicara Pemerintah Israel kemudian meluruskan apa yang dikatakan Yaalon. "Dalam wawancara itu, tidak ada bagian bahwa menteri mengatakan atau menyiratkan bahwa Israel bertanggung jawab atas virus tersebut," ungkap juru bicara tersebut kepada BBC.
Spekulasi lain menghubungkan Flame dengan Amerika Serikat (AS). Seorang sumber anonim dari kalangan pejabat AS mengatakan kepada NBC News bahwa Negeri Paman Sam berada di balik serangan itu.
Perusahaan keamanan internet Kaspersky Labs, yang telah diminta meneliti Flame, mengatakan bahwa butuh waktu berbulan-bulan atau malah bertahun-tahun untuk membuktikan asal-muasal Flame.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyatakan bahwa Flame merupakan program jahat paling seius saat ini, yang digunakan untuk alat spionase dan sabotase perang cyberantarnegara.
Namun, beberapa pihak menilai peringatan yang diberikan PBB itu berlebihan. "Kita selalu melihat bahwa, setiap kali ditemukan program jahat baru, itu selalu dicap sebagai yang paling serius," ucap peneliti keamanan Amerika Serikat, Marcus Carey.
Area penyebaran program jahat Flame melingkupi negara-negara tertentu di Timur Tengah, paling banyak di Iran. Flame menyerang berbagai sektor industri di Iran, tetapi yang paling serius adalah industri minyak.
Tudingan kepada Israel datang ketika pejabat pertahanan teknologi informasi Iran menyebut, Flame memiliki ciri yang mirip dengan program jahat yang pernah dilepas oleh Israel.
Ditambah lagi pernyataan yang dilontarkan oleh Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Urusan Strategis Israel, Moshe Yaalon, yang tidak mengakui, tetapi juga tak membantah dugaan itu. ”Israel diberkati dengan teknologi tinggi dan kami bangga dengan teknologi yang membuka semua kemungkinan bagi kami,” ujar Yaalon dalam wawancara dengan radio tentara Israel.
"Saya membayangkan bahwa semua orang melihat ancaman nuklir Iran sebagai salah satu hal serius. Tidak hanya Israel, tetapi seluruh dunia Barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat, kemungkinan akan mengambil langkah-langkah, termasuk ini (virus), untuk merugikan proyek nuklir Iran," tambah Yaalon.
Juru bicara Pemerintah Israel kemudian meluruskan apa yang dikatakan Yaalon. "Dalam wawancara itu, tidak ada bagian bahwa menteri mengatakan atau menyiratkan bahwa Israel bertanggung jawab atas virus tersebut," ungkap juru bicara tersebut kepada BBC.
Spekulasi lain menghubungkan Flame dengan Amerika Serikat (AS). Seorang sumber anonim dari kalangan pejabat AS mengatakan kepada NBC News bahwa Negeri Paman Sam berada di balik serangan itu.
Perusahaan keamanan internet Kaspersky Labs, yang telah diminta meneliti Flame, mengatakan bahwa butuh waktu berbulan-bulan atau malah bertahun-tahun untuk membuktikan asal-muasal Flame.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyatakan bahwa Flame merupakan program jahat paling seius saat ini, yang digunakan untuk alat spionase dan sabotase perang cyberantarnegara.
Namun, beberapa pihak menilai peringatan yang diberikan PBB itu berlebihan. "Kita selalu melihat bahwa, setiap kali ditemukan program jahat baru, itu selalu dicap sebagai yang paling serius," ucap peneliti keamanan Amerika Serikat, Marcus Carey.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar