Selasa, 19 Juni 2012

LVTP/AAV-7

Semua marinir di dunia adalah saudara. Setidaknya itulah pakem yang berlaku di kalangan pasukan dua alam ini. Memang, rata-rata marinir selalu ketiban tugas terberat, namun selalu dihadapkan dengan anggaran minim.

Tahan Banting, Tahan Uji


Bicara soal kendaraan amfibi, mungkin sebagian dari kita masih awam dengan bentuk kendaraan yang satu ini. Mungkin yang terlintas di pikiran, “Kalau sudah ada perahu, buat apa membuat tank yang bisa berenang, toh akhirnya juga cuma dipakai mendaratkan pasukan?” Sebagai pasukan reguler namun berkemampuan khusus dwimatra, kendaraan amfibi adalah suatu keniscayaan. Jika marinir bisa berenang, maka kendaraan mereka harus bisa juga. Sebagai pasukan yang unik, kalau tidak boleh dikatakan khusus, maka marinir tentu harus mendapatkan kendaraan yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Bagaimana tidak khusus, Korp Marinir AS adalah satu-satunya cabang kekuatan yang memiliki infanteri, kapal induk, helikopter, dan pesawat tempurnya sendiri. Dengan keterbatasan yang ada, sudah tentu Marinir AS harus memilih kendaraan yang efektif tapi juga efisien.

Kalau melongok pada dinasti traktor amfibi dari AS yang sudah mencapai generasinya yang kelima, maka kita akan bisa melihat filosofi kesederhanaan marinir. Tidak ada optik canggih yang bisa menembus cuaca buruk, tidak ada persenjataan super dengan munisi pintar yang bisa diarahkan dengan laser. Kenyamanan apalagi, jika tank Abrams memiliki suspensi yang lebih nyaman dari sebuah sedan, boro-boro AAV-7. Awak dan penumpangnya harus duduk di kursi besi yang busanya tipis. Lapisan bajanya juga cuma 5 cm, mungkin hanya lebih unggul sedikit dibandingkan dengan dengan up-armored Humvee (jika belum ditambah EAAK). Namun di balik semua itu, ada satu filosofi yang terus bertahan: get the job done. Jika kendaraan tersebut bisa mengantarkan marinir dengan selamat dan cepat sampai ke pantai, dan mendukung setiap personel saat bertempur sampai meraih kemenangan, maka itu cukup. Tidak heran bila AAV-7 bisa bertahan lama, sementara AD AS sudah beralih sampai 3 kendaraan, mulai dari M113, M2 Bradley, dan terakhir Stryker. Malah Stryker sendiri masih menuai kontroversi walaupun memakan biaya pengembangan sampai jutaan dolar. Marinir lebih memilih menyempurnakan tunggangannya dibandingkan membuang uang untuk kendaraan yang sama sekali belum teruji.

Kalau boleh menarik persamaan sedikit jauh, hal yang sama juga akan kita temui di Indonesia. TNI boleh minim dana untuk persenjataan, namun di antara semua, Korp Marinir yang sebenarnya paling menderita. Padahal dalam setiap konflik, mulai Dwikora, Tim-tim, sampai Aceh, merekalah yang diperintahkan membuka jalan. Semuanya itu dilakukan dengan kendaraan yang sudah semakin menua. Dari dulu sampai sekarang, hanya BTR-50P yang selalu jadi andalan. Maka tidak heran ketika operasi maupun latihan amfibi dilaksanakan, bisa jatuh korban. Aceh dan pantai Banongan sudah menjadi saksi, gugurnya putra-putra terbaik bangsa karena rentanya alutsista. Jika menyimak perintah Presiden SBY untuk tidak menggunakan peralatan tua, memang ada benarnya. Namun kalau marinir sudah tidak punya alternatif lain, apa mau dikata?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar