Tidak
banyak dari kita yang menyadari bahwa proklamasi yang disuarakan pada
17 Agustus 1945 lekat dan terbungkus dengan seni. Justru sebaliknya
banyak dari kita yang mengendapkan kesan bahwa prokalmasi sama dan
sebangun dengan asap mesiu, bambu runcing, tentara pelajar, pekik
merdeka, laskar-laskar perjuangan atau pertempuran bersenjata.
Ya
jelas, kalau sedang lagi berjuang membela sebuah prinsip penting, tidak
ada tempat lain selain berjuang dengan kekuatan seadanya. Kalau perlu
dengan ayunan tangan pun tak menjadi soal atau kekuatan senjata. Yang
penting berjuang secara fisik. Memikirkan yang lain, maaf saja, tidak
ada tempat untuk dilakukan. Apakah benar proklamasi 17 Agustus 1945
seperti itu?... Jawabannya cukup lima huruf: TIDAK. Mungkin hanya
Indonesia negara satu-satunya di dunia yang getol mengurusi hal-hal
berkaitan dengan seni ketika sedang perang revolusi. Kalau kita
membayangkan revolusi di Afrika, pasti terbayang akan pembantaian suku,
pertumpahan darah dan kematian. Bagaimana dengan di Amerika Latin?...
Sama saja. Yang terdengar hanya perang gerilya melawan penguasa. Gerilya
berasal dari bahasa Spanyol, /guerra/ yang artinya perang dan
diadaptasi ke bahasa Inggri menjadi /guerilla/ atau gerilya dalam bahasa
Indonesia. Di belahan dunia manapun begitu, kalau lagi perang, ya
perang!. Mengurusi yang lain, seperti kesenian, menjadi urusan kesekian.
Nanti saja kalau sudah selesai revolusinya.
Nah, Indonesia justru sebaliknya,
beda negara-negara lain. Proklamasi 17 Agustus 1945 seperti sudah
dipersiapkan tata seninya jauh sebelum negeri ini lahir. Apa yang
dibicarakan Soekarno pertama kali mendarat di Jakarta di Pelabuhan Pasar
Ikan pada 1942 ?... Setelah dia dibuang bertahun-tahun di Ende, Flores,
lalu ke Bengkulu, lalu melanglang keliling Sumatera dan akhirnya
terdampar di Palembang, dan pulang berlayar dengan perahu kecil ke
Jakarta?... Dia hanya membicarakan masalah model jas dengan
penjemputnya, yang juga bekas iparnya, Anwar Tjokroaminoto. Bukan
strategi perjuangan. Lalu apa yang dilakukan pemerintah negeri ini yang
baru berusia 4 bulan, ketika keadaan Jakarta sedang genting melinting
dengan kacau balau menghalau apapun?... Pameran lukisan!
Beberapa pelukis seperti Affandi,
Basuki Abdullah, Sudjojono, Mochtar Subianto, Raden Ali, Kartono Judoko
dan seniman lainnya, mengadakan pameran di gedung Sekolah Tinggi Tabib
Jakarta. Pameran itu dibuka oleh Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin dan
dihadiri pembukaannya oleh Presiden Soekarno yang gila seni beserta
istri, Wakil Presiden Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir serta beberapa
menteri, termasuk Sir Philip Christison, seorang juru runding dari
Inggris. Semua itu tak lepas dari intelijensi para pendiri negara ini
yang punya wawasan luas, termasuk menyentuh dunia seni dan penampilan.
Lihat saja, mana ada penampilan modis mereka yang kelihatan jelek dan
kumuh, meski untuk memikirkan pangan saja sangat susah saat itu. Mereka
semua terlihat ganteng, necis, parlente dan sedikti modis dengan pakaian
dan penampilan a la kadarnya. Bandingkan dengan tokoh-tokoh asing…
Hmmm… jauuuuh. Paman Ho Chi Minh, terlihat seperti opa-opa tua ompong
berpakaian lusuh. Churchill yang perlente mirip gentong besar yang bisa
berjalan. Mao seperti tukang obat yang baru keluar hutan mencari ramuan
dari tanaman. Castro mirip tentara dekil yang jarang mandi dan berdandan
dengan brewok seperti hutan lindung. Nehru bagaikan mannequin. Beda
dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir atau Amir Sjarifuddin yang terlihat
bersih, intelek dan good-looking dengan penampilannya. Penampilan tokoh
dan pendiri bangsa-bangsa lain di manapun sangat jelas mewakili apa yang
mereka perjuangkan. Melihat para pria berkumpul memakai kaffiyeh
(penutup kapal untuk pria Arab), pasti mereka sedang membicakan Yasser
Arafat, tokoh Palestina. Atau topi hijau dengan bintang merah yang
dipakai oleh Tentara Merah (ABRI-nya Cina), pasti itu gaya Mao Tse-tung,
serta Fidel Castro dengan topi militer warna hijau khasnya atau tokoh
Prancis Charles de Gaulle dengan topi mirip kaleng. Juga seorang Nehru
dari India dengan peci putihnya. Bagaimana dengan Indonesia?...
Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah sulit dipisahkan dengan visual peci
hitam yang bertengger di atas kepala beberapa pentolan pendiri negeri
ini, seperi Soekarno dan Hatta. Saat masa revolusi ketika orang melihat
ada tokoh berpeci, pasti yang dibicarakan tentang proklamasi. Tentang
kemerdekaan. Tentang tanggal 17 Agustus 1945. Terutama pada diri
Soekarno dan juga Hatta. Sang dua sejoli. Sejak kapan peci hitam menjadi
ciri khas proklamasi?... Ya sejak 17 Agustus 1945!.
Sampai
tanggal 17 Agustus 1966, hari 17an terakhir Soekarno, dia selalu
memakai peci hitam bergaya khas ketika bertindak sebagai pusat perhatian
di podium perayaan 17 Agustus. Hanya menjelang akhir hayatnya, rakyat
Indonesia baru bisa melihat Soekarno asli tanpa peci hitam. Saat dia tak
punya kekuasaan lagi dan mulai sakit-sakitan. Peci Hitam Soekarno
Ketika selesai menjalani pembuangan di Bengkulu bersama keluarga dan
para pembantunya tahun 1942, Soekarno terpaksa berkeliling Sumatera
dengan kondisi yang melelahkan dan menyebalkan.
Pakaiannya
lusuh dengan peci hitam yang pendek terlihat kurang tampan dan
proporsional, ditambah lagi jarang mandi karena dia dan keluarganya
melakukan perjalanan jauh itu (kadang mengendarai dokar) dengan penuh
ketakutan atas gangguan dari tentara Jepang, yang sedang menderita
kekalahan oleh pihak Sekutu. Dari Bengkulu melalui jalan darat menuju
kota Painan (kota pesisir kearah tenggara Padang), lalu ke Bukittingi
dan berkeliling ke Payakumbuh dan akhirnya menemui sahabatnya, yang juga
memimpin sebuah pesantren terkenal, Darul Funun al Abbasiyah, di desa
Padang Japang, Guguk, Kabupaten Lima Puluh Koto, Sumatera Barat.
Kala
itu Soekarno bukan siapa-siapa dan belum menjadi presiden. “Kamu harus
berhati-hati terhadap kaum komunis dan sekuler yang akan menghancurkan
bangsa ini”, kata pemimpin pesantren sambil menatap Soekarno yang sedang
membetulkan sebuah peci hitam tinggi. Peci tersebut memang baru saja
diberikan oleh Syech Abbas Abdullah, pemimpin pesantren itu ketika
melihat penampilan Soekarno kurang oke dengan peci lamanya yang lebih
pendek.
Peci itu memang pas dan serasi dengan visual wajah Soekarno. Pas margopas!.
Peci
lamanya mana?... Di tinggal di pesantren Syech Abbas Abdullah, yang
juga menyarankan agar kelak Indonesia merdeka dan Soekarno menjadi
pemimpinnya, Indonesia harus berdasarkan ketuhanan. “Peci ini kuberikan supaya kamu menyadari bahwa bangsa Indonesia ini mayoritas umat Islam”,
ujar sang syech kepada calon pemimpin bangsa terbesar umat Islamnya di
jagat. Lengkap dan pantas sudah penampilan baru Soekarno.
Dia terlihat lebih ganteng dan siap
memimpin negeri ini dengan penampilan khasnya tiada dua di dunia: peci
hitam tinggi pemberian Syech Abbas Abdullah. Tapi nanti duluuu… Sang
tuan rumah juga menyarankan agar penampilan baru Soekarno diimbangi
dengan martabatnya yang handsome juga. Menurut penerawangannya, gigi
taring Soekarno sebelah kanan itu dempet. Artinya? “Biasanya orang
bergigi begitu bersifat rimbang mata atau mudah jatuh cintah kepada
wanita”, ramal Syech Abbas Abdullah. Akhirnya, peci hitam itu menjadi
ciri khas visual proklamasi dan perjuangannnya di tahun-tahun kemudian.
Peci itu menjadi benda seni yang memwakilkan sebuah sosok yang memiliki
andil dengan proklamasi. Di kemudian hari bahkan menjadi ciri khas orang
Indonesia. Hatta yang tak biasa berpeci selama sekolah di Eropa,
akhirnya mengikuti Soekarno berpeci pada saat-saat tugas kenegaraan dan
hingga sekarang diikuti menjadi bagian penting dari busana resmi
presiden-presiden Indonesia. Proklamasi 17 Agustus 1945 telah
dikumandang, lalu dipertahankan dengan berdarah-darah dan akhirnya diisi
dengan susah payah, selalu diwakili dengan visual pelakunya yang
berpeci hitam. Ketika Soekarno membacakan naskah proklamasi, ikut
upacara keagamaan di Gereja Mormon, berziarah ke makam Abdul Qadir
Jailani serta makam George Washington, berpidato di Kongres Amerika
Serikat, rapat umum di Stadion Lenin, Moskow, berdiskusi di Balai Rakyat
Beijing dengan Mao, sowan berkali-kali ke Kaisar Hirohito, hampir
pingsan di La Paz, Bolivia, ditangkap dan dibuang Belanda ke Prapat,
bersembahyang di mesjid Leningrad (Petersburg), berpesta dengan Marilyn
Monroe, naik sepeda di Kobenhavn, Denmark, merokok bareng Nehru di
India, diskusi dengan Juan Peron di Buenos Aires, serta ngobrol dengan
Elvis Presley di Hawaii, peci hitam itu selalu ada dan memvisualkan
keindonesiaan yang makin melekat. Tidak terbayang bila Soekarno melepas
peci hitamnya setelah dibuang dari Bengkulu, karena pendek dan lusuh
bentuknya. Untungnya hal ini tidak terjadi, karena jasa Syech Abbas
Abdullah. Dia menjadi stylist proklamasi tanpa disadari. Hal-hal sepele
sebelum dan sesudah proklamasi 17 Agustus 1945, memang selalu
diperhatikan terutama masalah seni dan penampilan untuk memancarkan
kekuatan visual yang dominan.
Indonesia
tanpa Soekarno tidak terbayangkan seperti apa. Soekarno tanpa peci
hitam tinggi, juga tak bisa dibayangkan. Seperti yang dinubuatkan Syech
Abbas Abdullah, negara Indonesia akan selalu memikirkan penampilan tanpa
esensi. Bangsa Indonesia memang tak mengenal dan kurang suka dengan
kekuatan riset. Senangnya bereksperiman sesaat dan improvisasi tanpa
rencana. Mirip seperti seni, yang kaya improvisasi. Bukankah naskah
proklamasi kemerdekaan ini ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta di
atas sebuah piano?...
SUMBER:
1. Majalah Gatra, 9 Juni 2001, “Peci Tinggi Panglima Jihad” .
2.
Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, “Kronik
Revolusi Indonesia” (Jilid I 1945), Kepustakaan Populer Gramedia
bekerjasama dengan Yayasan dikarya IKAPI dan The Ford Foundation,
Jakarta, 1999. (ISK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar