Turki memutuskan membawa kasus penembakan pesawat militer F-4 Phantom miliknya oleh Suriah ke forum Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Langkah itu diambil berdasarkan hak Turki sesuai Pasal 4 Traktat Atlantik Utara yang ditandatangani di Washington DC, AS, 4 April 1949.
Dalam pasal itu disebutkan, semua anggota NATO akan membahas bersama respons yang akan diambil apabila ada salah satu anggota yang merasa integritas teritorial, kemerdekaan politik, atau keamanannya terancam. Turki adalah salah satu anggota kunci NATO sejak 18 Februari 1952.
NATO akan menggelar pertemuan darurat di markas besarnya di Brussels, Belgia, Selasa (26/6) ini, untuk menentukan respons yang tepat terhadap insiden tersebut. Pertemuan ini membuka kemungkinan adanya intervensi militer NATO terhadap Suriah untuk menghentikan gelombang kekerasan yang telah menewaskan lebih dari 15.000 orang sejak demonstrasi anti-pemerintah pecah, Maret 2011.
Secara terbuka, beberapa menteri luar negeri (menlu) negara anggota NATO telah menolak intervensi militer sebagai reaksi yang tepat terhadap insiden penembakan itu. ”Intervensi militer di Suriah tak akan dibahas. Ini bukan masalah pertimbangan Pemerintah Belanda, tetapi itu juga menjadi sikap dalam konteks NATO,” tutur Menlu Belanda Uri Rosenthal.
Namun, bukan berarti peluang untuk itu sama sekali tertutup. Pasal 5 Traktat Atlantik Utara membuka kemungkinan respons militer bersama jika salah satu anggota diserang musuh. Pasal tersebut menyatakan, serangan bersenjata terhadap salah satu anggota akan dianggap sebagai serangan terhadap seluruh NATO dan reaksi militer bersama dimungkinkan jika dipandang perlu.
Respons militer
Dalam pasal selanjutnya dijabarkan, yang bisa dikategorikan sebagai serangan adalah serangan langsung terhadap wilayah negara anggota atau salah satu kekuatan militernya, seperti kapal perang dan pesawat tempur, selama serangan itu terjadi di wilayah negara anggota atau wilayah internasional di Laut Tengah dan Samudra Atlantik Utara.
Dalam wawancara dengan stasiun televisi TRT Turki, Menlu Turki Ahmet Davutoglu menegaskan, pesawat Phantom Turki ditembak di wilayah udara internasional yang berjarak 24 km dari garis pantai Suriah. Pesawat itu juga tak bersenjata karena merupakan pesawat pengintai (tipe RF-4E Phantom II, varian pengintai dari F-4) dan ditembak tanpa peringatan lebih dulu.
Huseyin Bagci, profesor hubungan internasional dari Middle East Technical University di Ankara, mengatakan, sekarang pertanyaannya tinggal apakah penembakan pesawat itu akan dikategorikan sebagai serangan terhadap Turki. ”Jika itu diinterpretasikan sebagai serangan terhadap Turki, debat mengenai penggunaan Pasal 5 akan mengemuka,” ungkapnya kepada kantor berita Agence France-Presse.
Jika Pasal 5 ini diterapkan, serangan militer sepihak terhadap Suriah bisa dilakukan dengan dalih aksi membela diri. Dalam konteks NATO, respons militer itu bisa dilakukan tanpa mandat dari Dewan Keamanan PBB. Pasal 5 hanya mengatur, setiap serangan militer seperti itu harus dilaporkan ke Dewan Keamanan (DK) PBB.
Selama ini, beberapa pihak menduga NATO akan melakukan intervensi militer ala Libya untuk menurunkan paksa Presiden Suriah Bashar al-Assad. Beberapa negara Arab bahkan mendorong intervensi militer ini segera dilakukan.
Namun, langkah ke arah aksi yang lebih tegas terhadap Suriah telah dihalang-halangi Rusia dan China. Dua negara itu telah dua kali memveto rancangan resolusi DK PBB yang memuat ancaman sanksi terhadap rezim Assad.
Dalam pasal itu disebutkan, semua anggota NATO akan membahas bersama respons yang akan diambil apabila ada salah satu anggota yang merasa integritas teritorial, kemerdekaan politik, atau keamanannya terancam. Turki adalah salah satu anggota kunci NATO sejak 18 Februari 1952.
NATO akan menggelar pertemuan darurat di markas besarnya di Brussels, Belgia, Selasa (26/6) ini, untuk menentukan respons yang tepat terhadap insiden tersebut. Pertemuan ini membuka kemungkinan adanya intervensi militer NATO terhadap Suriah untuk menghentikan gelombang kekerasan yang telah menewaskan lebih dari 15.000 orang sejak demonstrasi anti-pemerintah pecah, Maret 2011.
Secara terbuka, beberapa menteri luar negeri (menlu) negara anggota NATO telah menolak intervensi militer sebagai reaksi yang tepat terhadap insiden penembakan itu. ”Intervensi militer di Suriah tak akan dibahas. Ini bukan masalah pertimbangan Pemerintah Belanda, tetapi itu juga menjadi sikap dalam konteks NATO,” tutur Menlu Belanda Uri Rosenthal.
Namun, bukan berarti peluang untuk itu sama sekali tertutup. Pasal 5 Traktat Atlantik Utara membuka kemungkinan respons militer bersama jika salah satu anggota diserang musuh. Pasal tersebut menyatakan, serangan bersenjata terhadap salah satu anggota akan dianggap sebagai serangan terhadap seluruh NATO dan reaksi militer bersama dimungkinkan jika dipandang perlu.
Respons militer
Dalam pasal selanjutnya dijabarkan, yang bisa dikategorikan sebagai serangan adalah serangan langsung terhadap wilayah negara anggota atau salah satu kekuatan militernya, seperti kapal perang dan pesawat tempur, selama serangan itu terjadi di wilayah negara anggota atau wilayah internasional di Laut Tengah dan Samudra Atlantik Utara.
Dalam wawancara dengan stasiun televisi TRT Turki, Menlu Turki Ahmet Davutoglu menegaskan, pesawat Phantom Turki ditembak di wilayah udara internasional yang berjarak 24 km dari garis pantai Suriah. Pesawat itu juga tak bersenjata karena merupakan pesawat pengintai (tipe RF-4E Phantom II, varian pengintai dari F-4) dan ditembak tanpa peringatan lebih dulu.
Huseyin Bagci, profesor hubungan internasional dari Middle East Technical University di Ankara, mengatakan, sekarang pertanyaannya tinggal apakah penembakan pesawat itu akan dikategorikan sebagai serangan terhadap Turki. ”Jika itu diinterpretasikan sebagai serangan terhadap Turki, debat mengenai penggunaan Pasal 5 akan mengemuka,” ungkapnya kepada kantor berita Agence France-Presse.
Jika Pasal 5 ini diterapkan, serangan militer sepihak terhadap Suriah bisa dilakukan dengan dalih aksi membela diri. Dalam konteks NATO, respons militer itu bisa dilakukan tanpa mandat dari Dewan Keamanan PBB. Pasal 5 hanya mengatur, setiap serangan militer seperti itu harus dilaporkan ke Dewan Keamanan (DK) PBB.
Selama ini, beberapa pihak menduga NATO akan melakukan intervensi militer ala Libya untuk menurunkan paksa Presiden Suriah Bashar al-Assad. Beberapa negara Arab bahkan mendorong intervensi militer ini segera dilakukan.
Namun, langkah ke arah aksi yang lebih tegas terhadap Suriah telah dihalang-halangi Rusia dan China. Dua negara itu telah dua kali memveto rancangan resolusi DK PBB yang memuat ancaman sanksi terhadap rezim Assad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar