Rabu, 20 Juni 2012

Peperangan Kapal Selam di Kepulauan Nusantara

Memperhatikan konfigurasi geografis negara Republik Indonesia yang dikelilingi oleh lautan dan letaknya berada pada posisi silang antara dua benua maupun dua samudera menjadikan sebagian besar wilayah serta batas terluar negara Indonesia adalah laut,  dimana merupakan jalur lalu lintas pelayaran yang penting bagi negara-negara di kawasan regional maupun internasional.  Dari kondisi ini maka dapat dipastikan bahwa ancaman dari luar akan lebih dominan datang dari arah laut  dengan melalui jalur-jalur pendekat seperti selat-selat yang memiliki nilai strategis (strategic straits) atau daerah corong-corong strategis (choke points control).
Oleh karena itu, secara logis media laut merupakan center of grafity dari pertahanan Indonesia yang intinya mewujudkan pengendalian laut (sea control) secara utuh.


Berubahnya peta kekuatan dunia dari bipolar menjadi multipolar akan menggeser kemungkinan terjadinya konflik, dari yang bersifat global menjadi konflik yang bersifat regional. Hal ini juga berpengaruh pada perubahan bentuk perang laut  dari yang bersifat  terbuka di laut lepas  menjadi perang terbatas di suatu kawasan tertentu dekat dengan pulau atau daratan (litorral warfare). Dengan terjadinya perubahan bentuk dan sifat perang dimasa mendatang maka akan merubah pula postur pertahanan maupun pola operasi angkatan laut negara-negara adi daya dan negara-negara di kawasan regional.

Keragaman dan perbedaan karakteristik geografis wilayah perairan kepulauan Indonesia merupakan aset bangsa yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan nasional. Dalam konteks pertahanan negara, pemanfaatan konstelasi dan karakteristik negara kepulauan diwujudkan dalam bentuk konsep peperangan yang memanfaatkan kondisi geografis dan hidro-oseanografis negara kepulauan (archipelagic warfare).

Dengan kondisi perairan Indonesia yang merupakan perairan tropis  akan sangat menguntungkan bagi kapal selam dalam  melaksanakan operasi tempur, mengingat kondisi perairan tersebut berpengaruh sangat buruk pada pendeteksian sonar (poor sonar condition) terutama bagi sonar aktif  yang sering digunakan oleh kapal-kapal permukaan.   Kondisi perairan tropis memiliki kadar garam (salinity) yang cukup tinggi, pengaruh “afternoon effect”  yang lebih besar, organisme, dan biota laut yang lebih banyak dan pengaruh kontur dasar laut yang beragam membuat kemampuan pendeteksian sonar relatif buruk terutama bagi kapal permukaan.   Hal ini harus dapat dimanfaatkan oleh unsur-unsur kapal selam dalam melaksanakan operasi tempurnya dengan merancang suatu konsep operasi tempur khusus dalam pemanfaatan konstelasi geografis dan hidro-oseanografis perairan Nusantara. Untuk dapat memanfaatkan kondisi  geografis dan  hidro-oseanografis ini,  maka harus diperoleh data-data yang cukup akurat dari badan-badan survey maupun penelitian bawah laut yang mendukung operasi tempur kapal selam.

Jika data-data tersebut dapat diperoleh maka akan dapat diciptakan suatu pola atau bentuk operasi tempur kapal selam di atau dari bawah permukaan laut yang tepat dalam mengantisipasi setiap ancaman militer asing yang mungkin timbul. Pola operasi tempur kapal selam tersebut harus bersifat efektif dan efisien dimana dapat meminimalkan keterbatasan-keterbatasan serta memanfaatkan kelebihan-kelebihan yang ada.
Sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh ahli strategi Cina klasik  “Sun Tzu”  dalam bukunya yang terkenal  The Art Of War  berkaitan dengan pemanfaatan kondisi alam dalam peperangan atau pertempuran  :
“ Muncullah pada posisi-posisi yang menyebabkan musuh harus terpaksa tergesa-gesa bertahan, dan bergeraklah cepat-cepat ke tempat dimana kamu tidak diperkirakan muncul ”  (Sun Tzu).

link: http://wira96.multiply.com/journal/item/1/Peperangan_Kapal_Selam_di_Kepulauan_Nusantara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar